REVOLUSI
Oleh: Reza Nufa
Copyright © 2011 by Reza Nurul Fajri
Penerbit:
-
Desain sampul:
Reza Nufa
Diterbitkan melalui:
-
3
Ucapan Terima Kasih
Alhamdulillah, dengan izin dari-Mu, Yang Maha
Kuasa; Pemberi jalan kepada para pejuang mimpi, akhirnya
kisah ini mampu terhampar dengan lancar tanpa hambatan.
Alhamdulillah.
Terima kasih untuk keluargaku; rumah hati yang
luar biasa! Khususnya, kedua orangtua tercinta, yang tidak
pernah membebaniku untuk menjadi mereka, bahkan
melepasku agar jadi sahabat dunia.
Aulia Zharfani, Rheza Aditya, kak Rina dan
Puput, terima kasih sudah meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya untuk memperbaiki cerita sederhana ini. Kritik
dan masukan dari kalian sangat membangun. Maaf, sudah
merepotkan.
Terima kasih kepada lingkunganku, yang mengajari
banyak hal, termasuk ilmu pencurian, hingga aku kenali
keburukan dan mampu menuliskannya sebagai perkara
yang harus dihindari.
Terima kasih, kepada semua yang berani jujur dan
ikhlas menghargai setiap pendapat. Terima kasih.
4
5
Daftar Isi
Bab 1 | Brum brum 7
Bab 2 | Malu 19
Bab 3 | Hati Bocah 27
Bab 4 | SIM 33
Bab 5 | Kalah 39
Bab 6 | Tersentuh 51
Bab 7 | Kesempatan 61
Bab 8 | Sembuh 71
Bab 9 | Sidang 85
Bab 10 | Berkorban 93
Bab 11 | Antar Aku 101
Bab 12 | Menolak 119
Bab 13 | Tanpa Teman 123
Bab 14 | Ayah dan Ibu 131
Bab 15 | Di mana dia? 137
Bab 16 | Penerimaan 145
Bab 17 | Kecewa 151
Bab 18 | Mereka Siapa? 165
Bab 19 | Yang Lemah 175
Bab 20 | Ketakutan 185
Bab 21 | Markas 197
Bab 22 | Darah 205
Bab 23 | Batas Akhir 225
6
Bab 24 | Berkumpul 227
Bab 25 | “Pergi” 239
Bab 26 | Cintaku 243
Bab 27 | Guruku 249
7
BAB 1
Brum Brum
Jakarta, 15 Februari 2012
“Keadaan perpolitikan makin bergejolak. Pada hari
Kamis yang lalu beberapa petinggi Polri berhasil diungkap
keterlibatannya dalam kasus mafia pajak. KPK yang
awalnya diragukan, perlahan mulai mengungkap kasus
ini...”
Televisi masih dipenuhi berita-berita perpolitikan
Indonesia. Berita tersebut sampai ke telinga masyarakat,
seakan menjadi ajang demokrasi, padahal racun yang
menyakitkan semua lini bangsa ini. Di tempat lain, di
bangsa ini, bencana terus-menerus datang. Mengakibatkan
harga pangan mulai naik karena banyak ladang pertanian
yang hancur.
“Kapan beresnya negara ini? Pemimpinnya tidak
bertanggung jawab.” Celoteh seorang lelaki tua yang
menonton berita itu di televisi. Dia duduk di ruang tengah
rumahnya, di sebuah sofa panjang berwarna abu-abu.
Kegelisahan menaungi banyak orang, termasuk
lelaki itu. Bangsa ini semakin hari semakin tak tentu arah.
Orang-orang yang baik semakin tertekan, yang jahat justru
8
penuh keleluasaan. Bencana menjadi terdengar biasa di
televisi. Setiap hari ada berita tentang gempa, longsor,
banjir, pembunuhan, bunuh diri, sedangkan pemimpin
bangsa terkesan cuek karena sibuk menjaga tahta. Sekalinya
dia melongok bencana, dia bergaya layaknya “Tuan
Tanah”, lengkap dengan protokoler yang berjejer.
“Ayah, aku berangkat,” seorang gadis lewat begitu
saja di belakang sofa. Dia bergegas keluar rumah dan
menuju garasi.
“Brum.. Bruum..” Dia menghidupkan motornya.
“Ayah, aku berangkaat!” Teriaknya dari luar rumah
tertutupi derum motor.
Tanpa berlama-lama, dia langsung melesat
menunggangi kuda besinya. Pagi di Jakarta memang harus
dimulai dengan cepat, terutama jika berhubungan dengan
lalu lintas di jalanan. Kemacetan yang menggila, gersang
yang menyengat, akan didapati lebih parah jika tidak
berangkat lebih pagi.
Gadis ini bernama Andira. Hari-harinya berjalan
biasa layaknya anak muda Jakarta, kampus dan rumah
menjadi tempat mengisi waktu—sesekali pergi ke tempat
keramaian seperti tempat perbelanjaan.
Sifatnya yang lembut sering terbalut oleh
tampilannya yang tomboy. Mengecoh. Apalagi jika dia
sudah mengendarai motornya, lengkap dengan helm hitam,
jaket denim yang maskulin dan sepatu Converse warna abuabu.
Dengan tampilannya seperti itu, pasti sukar untuk
mengira dia perempuan yang sangat cantik dan lembut.
9
Bagi Andira, gejolak politik bukanlah urusannya.
Dia sama sekali tidak tertarik meskipun hampir setiap hari
dia mendengar berita itu. Lain halnya dengan sang ayah
yang merupakan perwira TNI. Ayahnya tidak pernah
melewatkan berita tentang politik, bahkan Ayahnya itu
sering terlihat memarahi televisi. Iya, memarahi televisi
karena begitu kesalnya pada berita yang disajikan.
Pak Herman, ayah Dira yang garang. Kegiatannya
hampir selalu di depan televisi. Terlebih setelah dia tidak
aktif lagi di TNI. Namun dia adalah sosok ayah yang
lembut, meski seringkali disalahartikan sebagai “galak” oleh
anaknya, Dira. Ayah yang sangat tegas, bahkan kerap kali
tidak ramah pada tamu yang datang. Dira sering kali kesal
karena alasan yang terakhir itu, karena hal itu dia terkenal
sebagai cewek sangar di kampusnya, padahal, yang sangar
bukanlah dia, melainkan ayahnya.
Hari ini baru hari ketiga memasuki semester genap,
tapi sudah ada empat unit bus berjejer di depan kampus.
Ramai riuh para mahasiswa yang tumpah ke jalanan. Begitu
lantang lidah mereka berteriak. Begitu kuat tangan mereka
mengibarkan panji kebanggaan, menjunjung tinggi spanduk
berisi kritikan. Mereka hendak berangkat berdemo.
Dira menerobos kerumunan itu perlahan,
“Bruumm.. bruumm..” Dira mengeraskan suara
motornya hingga kerumunan itu memberi jalan.
“Diraaa!!” Suara teriakan dari kejauhan. Padahal
Dira baru saja sampai di parkiran.
10
Ternyata itu Novi, teman kuliah Dira. Novi berlari
mendekati Dira. “Ra, ayo cepet ikut aku!” Ajak Novi
dengan napas yang masih tergopoh.
Dira tetap santai, dia sudah menyelidik apa yang
ingin Novi katakan. Dia membuka helmnya perlahan, “ada
apa, Nov?” Tanyanya.
“Itu lho, si ketua BEM lagi orasi!”
“Lagi?”Dira heran.
Fajar adalah Ketua BEM Fakultas. Novi sangat
mengidolakan Fajar, cowok paling cool dan paling
berpengaruh se-fakultas. Selain Novi, ada ratusan kaum
hawa lain yang mengidolakan Fajar. Wajahnya yang
tampan, tak kalah pamor dengan otaknya yang pintar.
Hingga Fajar dikenal sebagai seorang yang sempurna
sebagai seorang idola.
“Iya, ayo kita ke sana! Jangan sampe ketinggalan,”
sambungnya sambil menarik tangan Dira.
“Iya iyaa. Sabar, Nov!”
Mereka bergegas masuk ke dalam kampus. Novi
menarik Dira hingga naik ke lantai 4. Mereka sangat
tergesa. Tiba di depan sebuah ruangan, Novi membuka
pintunya dengan kasar. Baru saja mereka masuk beberapa
langkah, ada banyak mata yang seketika memandang
mereka. Ruangan itu penuh oleh Mahasiswa yang tengah
belajar. Novi nyengir kuda menyembunyikan rasa malunya
yang sangat besar, “Maaf,” ucapnya, lalu menutup kembali
pintu itu dengan pelan. Mahasiswa yang ada di dalam
ruangan itu nyatanya memang sedang serius belajar,
lengkap dengan seorang dosen berwajah garang di depan
11
kelas. Mereka hanya diam melihat tingkah aneh Novi dan
Dira.
Sedikit malu masih tersisa dari kejadian itu, namun
tanpa kapok, Novi kembali membuka sebuah pintu. Hal
yang sama pun terjadi. Kembali, di balik pintu yang dia
buka itu ada banyak mahasiswa yang sedang belajar. Kali
ini sedikit berbeda dengan yang sebelumnya; riuh terdengar
orang-orang di dalam ruangan itu menyoraki Novi dan
Dira. Novi kembali bersikap cuek bebek, sedang Dira
menutup wajahnya karena malu.
“Novii! Pelan-pelan!” Ucap Dira.
Novi mengacuhkan perkataan itu. Tangan kirinya
masih menarik Dira, menyeretnya kemana pun dia pergi.
Tanpa takut salah lagi, dan masih dalam keadaan berlarilari,
Novi kembali membuka pintu sebuah ruangan. “Yes!
Akhirnya!” Ujar Novi ceria, dia mendapati ruangan yang
kosong, sangat tepat. Itulah yang dia cari.
Tiap ruangan kelas memiliki jendela besar yang
mengarah ke halaman depan kampus. Dari jendela besar itu
mereka mengintip si Ketua BEM yang sedang berorasi,
memberi semangat kepada temannya yang akan mengikuti
‘aksi’. Kebiasaan ini pasti dilakukan Andira dan Novi jika
Fajar sedang ikut langsung dalam demonstrasi. Begitu
mempesonanya lelaki itu hingga mampu menghipnotis
Novi. Sedangkan Dira sudah mulai malas dengan rutinitas
itu karena sudah terlalu sering, dan mulai merasa bosan.
“Keren bangeeet. Aku mau deh jadi ceweknya dia,”
ucap Novi dengan napas yang masih terengah-engah.
12
“Iya, aku tahu. Tapi aku capek!” Ceplos Dira tak
kalah memburu nafasnya.
“Gampang, nanti aku beliin minum. Hehe.”
Selama ini Novi dan Dira hanya memperhatikan
Fajar, seperti itu. Mereka tidak pernah berkenalan langsung
dengan Fajar. Melihat seperti itu sudah cukup
menyenangkan bagi Novi. Mengidolakan itu memang
berbeda dengan menginginkan. Idola tidak harus dimiliki,
pikirnya.
“Nov, kalau emang kamu suka sama dia, kenapa
nggak kamu kejar? Dari dulu kita cuma ngeliatin doang.”
Novi terdiam sejenak, “kayaknya aku memang
nggak mau jadi ceweknya dia deh, Ra.” Dia menghela
napas. Kenyataan Fajar yang merupakan ketua BEM
Fakultas, membuat Novi ragu untuk berharap lebih besar.
Novi terdiam cukup lama, “eh tapi, Ra, dia itu kan cerdas,
keren, menurut kamu aku pantes gak kalau jadi ceweknya
dia? Jawab yang serius lho...” Sambungnya.
“Wah aku nggak tahu, Nov. Pantes gak pantes itu
kan ukurannya dari hati, Nov, bukan fisik atau kelebihan,
kekurangan ... Kalau kalian saling mencintai, ya, hubungan
itu pantes.” Jelas Dira.
“Eh, kok bisa bijak begitu? Kata-kata dari mana
tuh?”
“Nemu di Twitter. Haha,” Dira tertawa lepas.
“Tapi kayaknya lebih baik jadi fansnya aja deh!”
Novi tersenyum.
13
“Iyaaa silahkan deh jadi apa juga.. Tapi, aku yang
capek! Huaaaaahh!! Tiap hari nongkrongin dia...” Dira
berontak dalam hatinya.
***
“Tid.. tiid.. tiid..”
Sahut-menyahut klakson kendaraan. Sore itu
kemacetan kembali terjadi. Tidak bosan-bosannya warga
Jakarta menghadapi semua kebisingan ini. Tidak takuttakutnya
mereka menghadapi debu-debu yang bertebaran
penuh racun dan kotoran itu.
Di trotoar, di samping jalan yang bertepatan
dengan persimpangan, beberapa orang polisi lalu lintas
terlihat mengatur para pengguna jalan. Seorang diantaranya
masih terlihat bersemangat meski jalanan sore itu begitu
bising dan berdebu. Dalam dirinya, dia sembunyikan penat
yang menyelimuti. Dia ingin terlihat tenang di antara
ketidaktenangan para pengguna jalan. Dia ingin bersikap
ramah meski disambar oleh tidak ramahnya keadaan
sekitar.
“Tok.. tok.. tok..”
Dia mengetuk body angkot yang berhenti terlalu
lama. Angkot itu sedang mencari penumpang, namun
berhenti di tempat yang salah, yaitu di bahu jalan yang
sedang macet parah. Kemacetan sedang terjadi dan banyak
orang yang sedang tergesa-gesa. Terdengar klakson
bersahutan, berisik, tidak ada indahnya sama sekali. Satu
saja angkot berhenti terlalu lama, maka lalu lintas akan
tersendat dan menciptakan kemacetan seperti ini, bahkan
bisa lebih parah.
14
“Pak! Jalan, Pak!” Tegurnya pada pengemudi
Angkot itu.
Polisi muda ini bernama Irham. Hari-hari
dijalaninya sebaik mungkin, tanpa keluhan, tanpa berontak
pada keadaan, meski berat. Hari ini dia baru saja
dipindahtugaskan -lagi- oleh atasannya. Tempat tugasnya
yang sekarang ternyata lebih ramai. Begitulah kenyataan
menjadi polisi berpangkat rendah, harus siap ditempatkan
di mana pun.
***
Jam 04.15 Sore.
Hari-hari pertamanya di tempat kerja yang baru ini
sangat melelahkan. Kini waktunya untuk pulang. Jika tadi
dia adalah petugas yang mengurai kemacetan, maka
sekarang gilirannya menjadi bagian dari kemacetan.
Menjadi pengendara di jalanan yang penuh persaingan.
Itulah satu hal yang membedakan polisi dan pengguna
jalan. Polisi masih merasakan kemacetan di atas kendaraan,
sedang pengguna jalan tidak pernah merasakan jadi polisi
yang mengurai kemacetan di persimpangan jalan.
Hari ini kembali berisi kegilaan, dalam artian,
jalanan tidak memberi jeda untuk mengistirahatkan
matanya. Kadang hatinya meracau karena geram akan
keadaan, namun lidahnya tetap diam.
Tiap kali akan pulang, pikirannya mulai tenang.
Waktu istirahat akan segera datang menyuguhkan kasur
empuk, berita malam, dan sebuah buku untuk dibaca. Atau
bahkan membuat sebuah puisi yang indah sebagai penutup
malam.
15
***
“Bagaimana kabarmu, Ham?” Tanya seorang di
ujung telepon.
“Baik, Bu, alhamdulillah. Orang rumah bagaimana
kabarnya?”
“Alhamdulillah, semua di sini sehat.”
“Hari ini aku dipindah lagi, Bu. Tapi masih di
daerah Jakarta.” Ucap Irham.
“Serius ya kerjanya. Jangan lupa jaga kesehatan
juga.”
“Iya, Bu, terima kasih.”
“Ya sudah, selamat istirahat. Maaf kalau ibu
mengganggu waktu istirahatmu.”
“Ibu juga jaga kesehatan.”
Obrolan itu akhirnya selesai, Irham menghela
napas panjang. Obrolan dengan orangtuanya selalu
mencipta kelu di lidahnya, bermacam perasaan bertumpuk.
Ada rindu, malu, takut, khawatir, bercampur mencipta
kesulitan dalam menyusun kata. Terlebih lagi menghadapi
kenyataan bahwa orangtuanya membiayai dia sampai saat
ini, bahkan harus menjual tanah dan ladang untuk biaya
studinya. Belum lagi pengorbanan waktu lewat perhatian,
namun melihat keadaannya saat ini, rasanya tidak ada yang
bisa dia banggakan.
Saat ini dia tinggal di lantai tiga sebuah kontrakan.
Kontrakan yang kecil tempatnya tinggal. Hanya memiliki
ruang depan, satu kamar tidur, dan satu kamar mandi.
Tidak ada yang jadi kebanggaan dari yang dia punya. Rasa
16
malu sering kali muncul dalam dirinya, dia masih jauh dari
membuat bangga kedua orangtuanya.
Namun satu kebanggaan yang masih bisa dia jaga,
yaitu keramahan dan kebaikan hati. Belakangan ini polisi
di-cap buruk oleh kebanyakan masyarakat. Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap polisi semakin menurun
akibat dari beberapa kasus besar yang tidak beres
penanganannya. Berita di televisi sering memperlihatkan
kebobrokan institusi Polri, padahal tidak semua anggota
polisi sepicik itu. Keadaan itu sering menghakimi Irham
dan teman-temannya yang lain, yang sebenarnya tidak
punya kuasa dan andil dalam kasus itu, namun mereka
mendapat predikat yang sama; Korup.
“Harus patuh pada atasan. Harus ikhlas mengabdi
pada masyarakat.” Dua kalimat yang tersemat di dalam
dadanya. Menjadi rel untuk merengkuh sukses dalam
karirnya. Dia mencoba untuk terus disiplin dalam
menjalani hidup, hingga itu menjadi modal yang sangat
berharga yang dia miliki.
Suara-suara alam kebingungan
Mereka menderum bukan mengaum
Mereka berkoar bukan berkicau
Tekanan yang mematikan
Memaksa berlari meski aku kelelahan
Meski aku mencoba mencari warna di sekitar
Tetap saja tak seindah rumah
17
Seharian berdiri di jalanan, berjibaku dengan asap
dan kebisingan benar-benar menguras tenaga dan
pikirannya. Satu puisi yang dia buat, menutup harinya
menuju peristirahatan.
Di balik seragamnya yang gagah, dia
menyembunyikan kelembutannya. Irham sangat senang
membuat puisi, bermain gitar dan bernyanyi. Jika saja
orangtuanya membebaskan dia untuk jadi apa, maka dia
lebih senang untuk jadi seorang penyanyi atau sastrawan.
18
19
BAB 2
Malu
17 Februari 2012
“Hari ini KPK akan kembali memanggil beberapa
orang terkait kasus Century. Untuk mengetahui
perkembangannya, kami akan menghubungi reporter kami
yang saat ini berada di gedung KPK...”
“KPK ini harus berani! Kasus ini lebih besar dari
mafia pajak,” celoteh pak Herman.
“Ayah... Aku berangkat.”
Masih seperti pagi-pagi sebelumnya, pak Herman
sibuk dengan kegiatannya di depan televisi. Sedangkan Dira
juga berlalu begitu saja di belakang sofa tempat ayahnya
menonton televisi itu.
Pak Herman menjadi lebih dingin semenjak
berpisah dengan ibunya. Kini Dira kehilangan sosok ibu
yang tak tergantikan, dan juga mendapati ayah yang lebih
dingin dari biasanya. Kehangatan yang dulu sangat kental
di rumah, kini hilang.
***
20
“Dira, aku mau minta tolong,” ucap Novi ketika
bertemu Dira di depan kelas.
Dira terus berjalan masuk ke dalam kelas, Novi
mengikuti di belakangnya, “minta tolong apa? Kalau bisa,
pasti aku bantu.” Dira melepas tasnya ke kursi.
“Semalem kan aku ngobrol di Twitter sama si
ketua BEM. Dia baik banget loh, Ra. Tapi dia ngajakin
aku ketemuan ... Gimana dong, Ra?”
Dira duduk, “wah, udah ada kemajuan nih. Terus,
gimana apanya, Nov? Kamu kok kurang seneng gitu.”
“Ketemuannya gimanaaa? Aku malu ah buat
ketemu dia. Kamu aja yang temuin dia yah! Oke, oke?”
Novi memasang wajah sedihnya.
“Loh kok gitu? Nggak ah! Kenapa nggak kamu
sendiri aja yang nemuin dia?”
“Aku gak yakin, Ra ... Aku kan nggak cantik. Dia
pasti kecewa.” suara Novi melemah.
“Eh kamu nih! Kalian ketemuan cuma buat
ngobrol kan? Buat jadi temen, bukan buat jadi pacar atau
nikahan? Kenapa harus panik gitu sih. Lagian kamu cantik
kok, Nov. Cuma kurang pede aja.” Dira tersenyum.
“Tapi aku takut...”
“Terus kalau nanti dia malah deket sama aku,
gimana? Kamu gak takut?” Celetuk Dira sekenanya.
Novi terdiam cukup lama, pertanyaan yang tepat
sasaran. Pikiran Novi meracau, dia pasti sukar menerima
jika itu menjadi kenyataan.
21
“Pokoknya tetep gak mau, Nov! Lagian, Nov, gak
semua cowok menilai cewek hanya dari fisik, bisa jadi dia
malah lebih suka sama cewek yang gak cantik-cantik amat
tapi baik hati.” Tegas Dira.
Hening sesaat.
“Ah, terus gimana dong?” Novi bingung.
“Emangnya kapan ketemuannya?”
“Belum ditentuin sih waktunya. Aku jadi tambah
bingung nih.”
Dira berpikir sejenak, “nanti aku temenin kamu,”
jawabnya. Obrolan itu pun berakhir tepat ketika seorang
Dosen masuk ke ruangan.
***
Jam 03.03 Sore.
Mereka berdua baru saja selesai kuliah. Kelas
mereka berada di lantai tiga dan tanpa mereka ketahui, di
basement kampus ada Fajar yang tengah bersenda-gurau
dengan teman-temannya.
Sesampainya di basement, Dira lebih dulu
menyadari keberadaan Fajar, “Nov! Fajar, Nov!” Dira
menggoda Novi.
“Udah, diem! Aku tahu kok! Ayo jalan terus,”
jawab Novi panik.
“Gak mau nyapa dulu, Nov? Hehe,”
“Gak! Gak usah, lain kali aja, Ra.” Novi
bertambah panik, wajahnya kian memerah.
22
“Bener nih gak mau? Nanti aku yang nyapa
pertama kali, oke?”
“Issh.. gak mau, Raaa! Awas ya, jangan nyapa
pokoknya! Aku marah nih.”
Dira tertawa kecil melihat tingkah Novi. Lalu,
tepat ketika berpapasan dengan Fajar, mereka terdiam.
Akhirnya mereka lewat begitu saja tanpa menyapa. Namun
baru saja beberapa meter mereka melewati Fajar. Dira
dikagetkan oleh panggilan seseorang dari belakang mereka.
“Dira!” Panggil orang itu, diselingi suara derap
kakinya yang makin dekat.
Novi mencubit pinggang Dira, “ayo jalan terus!”
Paksa Novi.
Namun panggilan itu semakin terasa mendekat.
“Dira! Tunggu Dira.”
Sebuah tepukan mendarat di pundak Dira. Mau
tak mau mereka berdua akhirnya menoleh.
“Kamu Dira, kan?” Tanya orang tersebut.
“Fajar...” Lirih suara Novi.
“Aku Fajar..” Ucapnya mengenalkan diri.
“Iya, aku Dira. Kok tahu?” Tanya Dira heran.
“Yap!” Dia tersenyum, “aku sering lihat kamu, dan
kebetulan temenku ada yang kenal.”
“Ra! Aku pulang duluan ya! Bye, Ra.” Novi
berbalik dan meninggalkan mereka begitu saja.
“Eh! Nov..” Dira terkejut dengan tingkah Novi.
Pikirannya langsung tak tenang; dia takut Novi marah
23
karena kejadian ini. Tak disangka-sangka Fajar tiba-tiba
menyapanya, di saat yang tidak tepat pula.
“Maaf, Jar, aku harus pulang, kapan-kapan kita
sambung lagi deh,” ujar Dira.
“Eh tunggu sebentar!” Fajar menahan tangan Dira.
“Boleh aku tahu nomer HP kamu? Supaya aku bisa
hubungi kamu.”
Dira terdiam cukup lama mendengar ucapan Fajar,
karena dia memang sangat jarang berhadapan dengan lakilaki
dan sangat jarang pula didekati laki-laki. Sebab yang
pertama, karena Ayahnya yang seram dan keluarga mereka
yang terkesan eksklusif. Kedua, karena Dira sendiri
memang jarang tertarik untuk bergaul dengan laki-laki,
bahkan dengan teman sekelas.
“Kenapa gak nanya ke temenku itu? Katanya dia
kenal sama aku,” balas Dira.
“Gak enak kalau gak minta sama orangnya
langsung.” Fajar tersenyum.
Dira sudah sangat tergesa-gesa untuk mengejar
Novi, akhirnya dia memberi tahu nomornya dengan
spontan saja. Di saat yang sama, Novi sudah menjauh dari
mereka dan sudah tidak akan terkejar.
***
Sementara itu, di trotoar, Irham menghentikan
seorang pengendara tanpa helm.
“Maaf, boleh saya lihat SIM dan STNK-nya,
Pak?” Ucap Irham.
24
Orang itu merogoh sakunya. Menyerahkan SIM
dan STNK yang sudah kusam.
“Kenapa tidak pakai helm, Pak?”
“Saya tidak punya helm,” jawabnya singkat.
Orang itu mengendarai motor, di belakang jok
motornya ada sebuah panci besar, dua botol kecap, dan dua
botol saus yang isinya tinggal setengah. Irham mengamati
orang tersebut. Dia memakai ‘topi koboi’ khas tukang
sayur. Dengan handuk kecil kusam yang melingkar di
lehernya.
“Bapak pedagang ya?” Tanya Irham.
“Iya, Pak. Saya jualan siomay.”
“Ooh,” Irham terdiam sejenak. Dia tidak ingin
mempersulit langkah orang itu, namun tugas harus tetap
dijalankan. Toh, menurutnya pribadi, hukum bukan
bermaksud mempersulit atau semata ketegasan, melainkan
mencari jalan yang terbaik untuk manusia, selaras dengan
yang disebut ‘keadilan’. Dia pun menegur orang itu dengan
sopan, “kalau bapak punya motor, bapak harus punya
helm. Bawa motor tanpa helm kan berbahaya, Pak.”
“Saya belum punya uang buat beli helm, Pak.”
“Kalau bapak begini terus, uang bapak nanti malah
habis kena tilang, atau mungkin nanti uangnya habis buat
berobat bapak, kalau bapak kecelakaan. Usahakan segera
beli helm ya. Demi keselamatan bapak.”
“Terima kasih, Pak. Insyaallah saya nanti beli
helm. Tapi sekarang saya gak kena tilang kan, Pak?”
Tanyanya. Pedagang siomay itu sedikit terbata-bata, dia
25
begitu takut akan terkena tilang, apalagi jika denda berupa
uang dengan jumlah yang besar.
“Tidak, Pak. Tapi saya harap, nanti kalau saya
bertemu bapak lagi, bapak sudah memakai helm.” ucap
Irham.
“Baik, Pak.” Dia tersenyum.
26
27
BAB 3
Hati Bocah
20 Februari 2012
Seperti biasa, Dira bertemu dengan Novi di kelas.
Namun suasananya berbeda—Novi tidak secerewet
biasanya. Dia terlihat lebih kaku. Kejadian kemarin masih
menjadi masalah yang belum terselesaikan, padahal itu
cuma masalah kecil bagi Dira, namun tidak bagi Novi.
“Kemarin kamu ngobrol apa sama Fajar?” Todong
Novi.
“Nggak ngobrol apa-apa kok. Aku langsung
pulang.”
“Gak ada obrolan yang lain? Jawab yang jujur, Ra.”
“Ada sih. Dia minta nomer HP-ku..”
“Terus kamu kasih?” Tanya Novi.
“Iya,” Dira melihat ke arah Novi, “kamu gak apaapa
kan, Nov? Aku gak ada perasaan apa-apa kok sama
dia,” sambungnya tenang.
“Dia pasti suka sama kamu, Ra. Jangan-jangan,
kamu juga suka sama dia.”
“Eh! Nggak kok. Jangan mulai ngambek deh,
Nov.”
28
“Ah! Jangan bohong, Ra! Keliatan kok kamu itu
suka sama dia. Aku udah kenal kamu. Baru kali ini kamu
ramah sama cowok.”
“Aku juga udah kenal kamu lama, Nov. Sekarang
kamu lagi jadi anak kecil, ngambek cuma gara-gara masalah
sepele. Denger ya, Nov. Beneran. Suer! Sumpah! Aku ramah
sama dia, karena aku mau bantuin kamu. Bukan karena aku
suka sama dia.” Dira menjelaskan dengan pelan, mencaricari
kata yang tepat untuk diucapkan, lalu tersenyum.
“Terserah!”
Novi tiba-tiba meninggalkan kelas, padahal kuliah
belum dimulai sama sekali. Dia meninggalkan Dira
bersama kebingungannya menghadapi situasi ini. Dira
hanya memandangnya menjauh pergi, tak tahu apa yang
harus dijelaskan lagi.
Kelas mulai ramai, satu per satu mahasiswa
menempati tempat duduknya. Suara obrolan mulai
memenuhi ruang kelas. Tiba-tiba ponsel Dira bergetar. Ada
panggilan dari Fajar. Refleks, Dira langsung
mengangkatnya,
“Ada apa, Jar?” Dira tegas.
“Eh, kok galak amat?” Goda Fajar seraya tertawa
kecil.
“Aku lagi males becanda. Ada apa?”
“Sore ini ada acara gak? Aku mau ngajak kamu
makan.”
Dira berpikir cukup lama. Semakin lama dipikir,
alasannya makin kuat, sepertinya dia tidak bisa menolak
29
ajakan itu. Ini kesempatan yang tepat untuk menceritakan
masalahnya dengan Novi. Dia ingin agar Fajar tahu bahwa
ada seseorang yang suka padanya, yaitu Novi. Jika ini
dibiarkan, maka Novi akan ngambek cukup lama.
“Kok diem, Ra?”
“Iya deh. Tapi jangan jauh-jauh dari kampus ya!”
“Oke! Jam tiga aku tunggu kamu di basement.”
***
Jam 02.10 Sore.
Lebih cepat dari janji sebelumnya. Dira tiba di
meja tempatnya janjian dengan Fajar. Ini pertama kalinya
dia menerima ajakan makan berdua dari seorang laki-laki.
Di sana sudah ada Fajar yang menyambutnya dengan
senyum. Dira acuh. Pikirannya melayang jauh dari tempat
itu. Dia masih memikirkan masalahnya dengan Novi. Dia
tahu Novi memang kekanakkan, namun bukan berarti pula
dia bisa menghilangkan rasa bersalahnya tanpa berbuat apaapa.
Fajar menatap Dira, “kamu mau makan apa, Ra?”
“Kamu kenal Novi?” Tanya Dira tanpa basa-basi.
Fajar terhenyak, “Novi yang mana?”
“Temenku. Kalian sering ngobrol di Twitter.”
“Oh, yang itu. Jadi dia itu temen kamu. Kenapa
emangnya? Dia yang kemaren bareng kamu di basement itu
kan?”
“Loh, iya itu dia. Jadi kamu tahu ya?! Kenapa
kemarin nggak nyapa dia?!” Jawab Dira dengan nada
meninggi.
30
“Aku tahu, tapi nggak yakin,” dengan tenangnya
Fajar menjawab, dia memang tidak tahu apa yang terjadi
antara Dira dan Novi. “Dia juga gak nyapa duluan. Aku
kan takut salah orang, Ra.” Sambungnya.
“Tapi, kenapa kamu nyapa aku?! Gak takut salah
orang?” Balas Dira. Dira begitu kesal dengan perilaku Fajar
yang terlihat tenang-tenang saja. Padahal karena kejadian
kemarin, hari ini dia jadi tidak akur dengan Novi.
“Itu... Aku...” Fajar terbata-bata.
“Ya udahlah, aku lagi kurang berselera buat
makan. Aku pulang duluan, Jar! Makasih udah ngajak
makan.”
Acara makan berlangsung sangat singkat. Fajar
tertunduk lesu ditinggalkan begitu saja oleh Dira. Dia
mendapati kekecewaan dan tidak mengerti kenapa Dira
tiba-tiba bertingkah seperti itu. Sebesar itukah salahnya
karena tidak menyapa Novi? Sampai-sampai Dira terlihat
sangat kesal.
Dira pulang dengan rasa kesal yang masih lekat.
Dia mengendarai motornya dengan kencang. Jalanan
menyuguhkan kemacetan, melihat itu membuatnya semakin
membenci keadaan. Rasanya ingin cepat sampai rumah.
Kebiasaan lamanya kembali datang, jalur busway yang
tanpa hambatan itu menjadi jalan keluar yang paling
mudah.
***
Jam 03.14 Sore.
Dira baru sampai di kamarnya, meletakkan tasnya
di ujung ranjang, kemudian merebahkan tubuhnya di kasur
31
yang empuk itu. Rasa kesal masih menumpuk, dia
memukul boneka beruang miliknya. Pukulan salah sasaran
itu sedikit mengobati kekesalannya pada Fajar.
Lalu, ponselnya kembali berdering, ada SMS
masuk. “Maaf atas kelakuanku. Aku tau harusnya aku
nyapa novi. Tp, aku ga brmaksud buat nyuekin dia kok
ra..”
Untaian kata Fajar dalam SMS-nya. Ada sesal yang
tersampaikan dari deretan huruf itu.
“Hrsnya kamu tuh bisa mnghargai dia..” Dira
membalas.
“Skali lg maaf. Lain kali kalau aku ktemu dia, aku
psti nyapa. Tp aku harap kamu jg bisa mnghargai aku.”
“Mksdnya..? Aku sllu menghargai orang lain kok.”
“Ya sudah, makasih ya ra.” Fajar kembali kecewa.
Padahal tadi sore Dira meninggalkannya begitu saja di
tempat makan. Tidakkah itu disadari Dira?
***
23 Februari 2012
“Nov! Aku kemarin ketemu sama Fajar,” ucap
Dira membuka percakapan di pagi yang cerah.
Wajah Novi masih terlihat acuh, “terus, buat apa
ngomong sama aku?”
“Aku merasa bersalah banget sama kamu. Maaf ya
aku ngasih nomerku ke dia. Aku memang salah. Tapi aku
gak bermaksud buat ngedeketin dia kok! Kemaren aku
ngobrol lho sama dia, katanya dia gak nyapa kamu garagara
gak yakin itu kamu ... Lagian kamu juga sih gak nyapa
32
dia, padahal kemaren dia udah di depan mata,” Dira bicara
panjang lebar diakhiri napas panjang.
“Terus dia ngomong apa lagi, Ra?”
Suasana lebih tenang.
“Nanti dia mau ketemu sama kamu, tapi kamu
jangan malu-malu kayak kemaren,” jawab Dira.
“Aaah! Kamu bohong pasti. Aku gak percaya. Gak
mungkin dia ngomong gitu. Itu tuh kamu yang nambahnambahin.”
“Kalau gak percaya juga gak apa-apa, aku gak rugi
kok. Hihii...” Dira tertawa. Dia berusaha agar Novi tidak
terlalu serius menghadapi permasalahan sepele ini. “Kamu
masih ngambek, Nov?”
“Sedikit sih ... Tapi mungkin, kemarin itu
memang aku yang berlebihan. Aku sadar kalau Fajar
memang nggak mungkin aku dapetin. Tapi. Aku juga gak
nyangka aja ternyata dia suka sama kamu,” terang Novi
pelan. “Kalau kamu suka sama dia juga silahkan sih, Ra.
Aku udah cukup ngintip aja, ngeliat dia aja aku udah
seneng kok,” sambungnya seraya tersenyum.
“Loh, loh, kok jadi nyerocos gitu sih? Kata siapa
dia suka sama aku?” Dira tersenyum, “gak boleh gitu loh,
Nov. Bisa aja dia itu jodoh kamu. Aku gak mungkin suka
sama dia kok!” Jelas Dira seraya kembali tersenyum.
Tak lama kemudian, seorang dosen tiba di ruangan
itu. Percakapan pun terhenti.
33
BAB 4
S I M
25 Februari 2012
Masyarakat sudah mulai sadar untuk tidak
menggunakan jalur busway, terlebih lagi, razia yang
dilakukan secara berkala membuat pengendara nakal jadi
kelabakan. Namun beberapa hari yang lalu, Irham melihat
seorang pengendara motor melintas di jalur busway.
Pengendara motor itu seperti tidak tahu aturan. Namun
Irham tidak mungkin mengejarnya, karena keadaan tidak
memungkinkan, maka dia membiarkan motor itu melaju
dengan cepat dan menghilang.
Beberapa hari ini pula Irham sudah
memperhatikan, ternyata memang hanya si pengendara
motor Satria FU itu yang nakal. Irham sudah mengingatingat,
setelah jam 02.30 sore pengendara itu pasti lewat.
Maka sore itu, dia bersiap di dekat jalur busway. Kali ini
dia tidak akan membiarkan pengendara motor itu lewat
begitu saja, dia yakin pasti bisa menangkap orang itu!
Sudah 15 menit dia menunggu sambil mengatur
lalu lintas. Suara motor itu akhirnya muncul. Irham segera
masuk ke jalur busway dengan membawa papan tanda
“Stop”. Namun dia sempat ketakutan karena motor itu
sama sekali tidak terlihat memperlambat lajunya.
34
Semakin dekat,
Dan semakin dekat,
Irham gemetar. Dia khawatir pengendara gila itu
akan terus melaju dan tidak menghiraukannya. “Deg! Deg!
Deg!” Suara detak jantungnya makin cepat. Dan,
“Ciiiiit......” Ban berdecit. Asap sedikit mengepul di
jalan.
Irham menghela napas, motor itu berhenti di saat
yang tepat, hanya beberapa meter di depannya. Dia tetap
berusaha tenang dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi pengendara nakal yang diintainya selama ini.
Berbagai kemungkinan muncul dalam pikirannya,
pengendara itu mungkin seorang yang galak, atau seorang
preman, atau bahkan mungkin seorang penjahat. Dan tidak
tertutup kemungkinan juga dia itu seorang anak pejabat
yang merasa hebat, bahkan yang satu ini yang paling besar
kemungkinannya.
“Bisa tolong menepi, Pak!” Perintah Irham.
Pengendara itu menepi.
“Maaf, bisa saya lihat SIM dan STNK-nya, Pak?”
Pengendara motor itu merogoh sakunya. Namun
dia hanya menyerahkan STNK, tanpa SIM.
“SIM-nya, Pak?” Tanya Irham sekali lagi. Dia
menatap orang yang masih memakai helmnya itu. Mencoba
menerawang wajah si pengendara, namun helm hitam itu
benar-benar menyembunyikannya.
“Menurut bapak, apa saya pantas punya SIM?”
35
“Maksud bapak?” Irham heran. “SIM itu harus
dimiliki oleh setiap pengendara kendaraan bermotor, Pak.”
Terangnya melanjutkan.
“Apa bapak bisa jamin, kalau saya punya SIM, saya
tidak akan ugal-ugalan lagi?”
Irham berpikir cukup lama. Dia bisa menangkap
maksud orang itu, ada benarnya, namun dia berusaha
mencari pertanyaan lain, “kenapa anda masuk jalur
busway?” Tanyanya.
“Karena saya tidak punya SIM, Pak.” Jawab
pengendara itu dengan tenang.
Irham kembali mendapati jawaban yang
membingungkan, logikanya sedikit membenarkan
perkataan si pengendara itu. Namun sebagai seorang polisi,
dia merasa dipermainkan.
“Dari tadi jawaban bapak cuma berputar-putar.
Bapak bermaksud mempermainkan saya?” Tidak ada
jawaban, “ikut saya ke pos!” Perintah Irham.
Irham mulai kesal dengan perilaku orang ini. Dia
membawanya ke pos jaga. Dia duduk di sana bersiap
menginterogasi pengendara nakal itu. Namun baru saja dia
hendak memulainya, atasannya yang ada di pos tersebut
memanggilnya ke ruangan lain yang ada di pos tersebut.
“Lepaskan orang itu!” Perintah atasannya.
Irham heran, “tapi, Pak. Dia..”
“Sudah, lepaskan saja!” Tegas atasannya
memotong ucapan Irham.
36
Irham kecewa mendengar perintah tersebut. Cukup
lama dia mengintai agar dapat menangkap orang ini,
namun dia harus melepaskannya kembali dengan mudah.
Perintah yang sangat tidak menyenangkan, namun dia harus
patuh. Akhirnya, Irham melepaskan orang itu meski dengan
rasa geram yang masih membumbung.
Ada tempat yang tak tergapai
Ada posisi di mana aku sendiri
Ini tentang kepatuhan dan rasa heran
Cukup yakinkan dalam hati
Mereka lebih pintar dan pantas
Mereka lebih tahu kebaikan, dan benar
***
Jam 03.15 Sore.
Dira sampai di sebuah rumah sakit. Dia ingin
menemui ibunya yang merupakan dokter di rumah sakit
itu. Dia duduk di ruang tunggu setelah sebelumnya
melapor ke bagian penerima tamu.
Cukup lama dia menunggu. Tak jelas apa yang dia
kerjakan ketika menunggu. Bengong, tatapannya hanya
terhibur oleh dua anak kecil yang duduk di dekatnya.
Seorang bocah lelaki, dan adik perempuannya yang
memegang balon, mereka berdua menatap heran ke arah
Dira. Selain dua orang anak itu, hanya ada pemandangan
yang membosankan, orang-orang asing yang mondarmandir
di depannya.
37
Tak lama kemudian ibunya muncul. Dira bangkit,
“Mamaa.. Aku kangen.” Dira memeluk ibunya. Lalu
mereka kembali duduk di kursi.
“Mama juga kangen. Bagaimana keadaan ayah?”
“Ya gitu-gitu aja deh. Nyebelin,” ujar Dira.
“Dia tahu kalau kamu ke sini?” Tanya ibunya.
“Nggak lah. Seperti biasa, aku gak bilang-bilang.
Hehe,”
“Hmm.. Jangan bikin ayahmu marah, nanti dia
tambah sakit.”
“Iya. Tapi aku boleh kan kalau sering main ke
sini?”
“Jangan terlalu sering, sayang. Mama juga kan
banyak kerjaan. Takutnya nanti kamu malah bosen nunggu
terus.”
“Oke oke. Ya udah, Ma, aku pulang dulu ya. Aku
tenang mama baik-baik aja. Aku juga gak mau ganggu
kerjaan mama lama-lama. Jaga kesehatan ya ... Aku sayang
mama.”
“Uang jajan kamu masih ada, sayang? Kalau sudah
habis, nanti mama kasih lagi.”
“Masih ada kok,” Dira tersenyum. Perlahan dia
bangkit, “aku pulang dulu ya..”
“Iya. Hati-hati, jangan kebut-kebutan!”
38
39
BAB 5
Kalah
28 Februari 2012
“Karena tidak mampu lepas dari lilitan utang,
seorang ibu rumah tangga melakukan percobaan bunuh diri
dengan menceburkan diri ke dalam sumur, beruntung, ada
warga lain yang melihat kejadian tersebut..”
“Ah, beruntung apanya? Zaman sekarang mati itu
lebih mudah daripada hidup kok!” Celoteh pak Herman
yang sedang menonton berita pagi.
“Ayah, udah minum obat belum?” Potong Dira
sambil menuruni tangga. Dia turun dari kamarnya dan
langsung menemani ayahnya menonton televisi di ruang
bawah.
“Kamu gak kuliah?” Ayahnya balik bertanya.
“Lagi males kuliah, pengen di rumah aja.”
“Males?”
“Iya,” Dira nyengir. “Eh, Yah, ada polisi baru lho
di pos jaga yang waktu itu. Aku kena tilang lagi di situ, dia
itu belagu banget! Untungnya aku dilepasin sama polisi
yang udah agak tua itu, yang waktu itu ayah kesana ketemu
40
sama dia ... Pas dia lihat STNK-ku dia langsung lepasin
aku deh. Hehe. Polisi baru itu belum tahu sih siapa
ayahkuu..” Terang Dira dengan panjang lebar dan penuh
canda, sedikit sombong pula terpancar dari ucapannya.
“Kamu pasti belum punya SIM juga?” Tanya
ayahnya seraya menatap Dira serius.
Dira duduk memeluk bantal sofa, dia tidak
menjawab. Pura-pura tidak mendengar.
Ayahnya masih terus melihat ke arahnya. Dan Dira
tetap saja tidak menjawab. “Kamu tuh bandel ya. Cepet
buat SIM! Kan udah gede! Harus berapa kali ayah bilang
begini.”
“Mungkin nanti aku bikin deh, Yah.”
Sambungnya. Dia kecewa ketika ayahnya justru tidak
membelanya dalam kasus ini. Senyumnya hilang.
“Mungkin? Nanti? Ah, ayah makin gak yakin deh
sama janji kamu.”
Percakapan berubah serius.
“Iya deh iya, aku serius, tenang aja oke!” Dira
kesal.
“Awas nih! Ayah pegang janjinya. Hukumannya,
gak boleh bawa motor kalau kamu gak buat SIM!”
Dira tidak menjawab, bibirnya terlihat manyun
karena tidak suka akan perkataan ayahnya itu. Kenapa dia
berubah menjadi sangat dingin seperti ini? Dira sangat
berharap ayahnya bisa memperhatikannya seperti dulu,
ketika masih ada ibu.
41
Memang ibunya masih sering ke rumah. Tapi jika
saat itu tiba, akan ada percekcokan antara ayah dan ibu—
yang ingin membawa Dira pergi dari rumah. Dia pernah
mendengar tuduhan Ayah pada ibu, bahwa ibunya sudah
punya lelaki lain di luar sana. Mungkin itulah yang menjadi
alasan dia enggan untuk ikut dengan ibunya, meskipun
hatinya lebih condong kepada sang Ibu.
Pagi yang cerah itu dibuka dengan percakapan
yang menyebalan. Dira jadi semakin malas untuk mandi
dan sarapan. Dia memilih masuk dan mengurung iri di
kamarnya. Kembali, si boneka beruang yang jadi korban
penyerangan!
***
02 Maret 2012
Jam 02.46 Sore.
Irham kembali melihat motor itu melaju di jalur
busway. Dengan kencang tanpa memperdulikan beberapa
polisi yang saat itu sedang mengatur lalu lintas.
“Pak, kenapa tidak kita tangkap saja orang itu? Dia
sudah melanggar berkali-kali,” ucap Irham kesal.
“Dia sudah sering ditangkap, tapi masih seperti
itu.”
“Tapi, saya tidak bisa membiarkan pelanggaran
seperti ini Ini penghinaan!”
“Dia musiman seperti itu. Kadang-kadang dia taat
aturan. Kadang-kadang dia masuk jalur busway. Coba saja
kamu tangkap, pasti dia seperti itu lagi. Tapi, hati-hati,
orangtuanya TNI.” Terang polisi itu santai.
42
05 Maret 2012
Jam 03.30 Sore.
Motor itu kembali masuk jalur busway. Bahkan
kali ini si pengendara memperlambat laju motornya ketika
tepat bersebrangan dengan Irham. Kepala berhelm itu
menoleh ke arah Irham, hal itu seakan sengaja dia lakukan
untuk menyampaikan pesan bahwa dia lebih hebat dari
Irham; polisi.
Irham semakin geram dibuatnya. Semakin hari
pengendara motor itu semakin berani melakukan
pelanggaran. Sedang Irham hanya diam seakan bukan siapasiapa,
padahal dia adalah polisi yang harusnya
membereskan pengendara bermasalah itu. Akhirnya dia
memutuskan untuk kembali menangkap orang itu. Dan kali
ini tidak akan dia lepaskan.
***
06 Maret 2012
Jam 03.05 Sore.
Dira baru saja selesai kuliah, otaknya sudah sangat
penuh dengan pelajaran hari ini. Rasanya ingin cepat
sampai rumah, untuk tiduran di kasur yang empuk dan
minum jus jeruk yang segar. Pasti nikmat. Tanpa pikir
panjang, sore itu Dira kembali masuk jalur busway.
Kemacetan benar-benar membuatnya gila pada rutinitas
senja. Jalur busway memang jalan keluar yang terbaik
baginya, lengang, tanpa hambatan.
Ketika sedang asik-asiknya menunggangi motornya
dengan kencang, tiba-tiba terdengar kendaraan lain di
belakangnya. Dira melihat ke kaca spion motornya,
43
ternyata ada motor polisi. Dia tetap tenang dan sedikit
mempercepat laju motornya.
Perlahan motor polisi itu semakin mendekat, tak
dia sangka ternyata motor polisi itu cepat juga larinya.
Seketika polisi itu sudah berada di depan motornya,
membuatnya terpaksa mengurangi kecepatan, dan akhirnya
memaksanya untuk berhenti. Dengan rasa percaya diri yang
tinggi, tanpa gugup dan tidak merasa bersalah sudah masuk
jalur busway–Dira menghentikan motornya.
“Selamat sore, Pak!” Ucap pak polisi.
“Sore! Eh kita ketemu lagi, Pak. Tapi saya masih
belum punya SIM, Pak.” Jawab Dira sejadinya, dengan
suara yang sejak awal dia buat besar untuk mengecoh aparat
tersebut. Tampilannya sudah cukup meyakinkan, apalagi
dengan helm yang full hitam, membuatnya benar-benar
tersamar.
“Tolong menepi, Pak!” Perintahnya. Dira menepi
perlahan. “Saya perhatikan sepertinya bapak tidak
menghiraukan himbauan saya yang lalu. Kenapa hari ini
bapak masuk ke jalur busway lagi, Pak?”
“Apa saya tidak berhak atas fasilitas yang baik?
Jalanan macet itu sama sekali tidak layak pakai, Bos! Iya,
kan?” Dira membalas dengan argumen yang menurutnya
pantas dan benar, dibumbui dengan sedikit candaan.
Polisi itu terlihat lebih serius, “perilaku bapak
sudah tidak bisa saya tolerir. Ikut saya!”
“Ihh! Kaku bener polisi ini!” Dira masih sembunyi
di balik helmnya. Rasa kesal muncul di hatinya.
44
Dira dengan tenang ikut ke pos polisi.
Sesampainya di sana, dia duduk di kursi yang sudah
disediakan, berhadap-hadapan langsung dengan polisi
tersebut. Hanya berdua. Petugas yang lain terlihat sedang
sibuk mengatur lalu lintas. Dira lalu menyerahkan STNK
motornya.
“Helmnya bisa dibuka, Pak!”
“Ah! Apa? Helm? Tidak usah ah, Pak, terima
kasih, saya lebih nyaman seperti ini,” Dira panik,
melambaikan tangannya seakan tak peduli, padahal
wajahnya mulai berkeringat.
“Tolong dibuka, Pak! Sekalian juga saya lihat KTP
bapak.” Perintahnya.
Polisi ini lebih berani dari yang Dira kira. Dira
membaca nama polisi tersebut. “Irham”, Nama yang harus
dia ingat. Dan pastinya akan dia ceritakan pada ayahnya.
Dira memang sering kena tilang, dan selama ini dia sangat
merasa leluasa karena ayahnya seorang TNI. Namun
semenjak beberapa bulan yang lalu ayahnya sudah tidak lagi
menjadi TNI aktif, dia pun jadi sedikit ragu untuk
melawan polisi.
Setelah berpikir cukup lama, “oke deh kalau bapak
maksa.” Ucap Dira. Dia sebenarnya sangat tidak ingin
membuka helmnya.
Dira membuka helmnya perlahan. Sedangkan
Irham mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Dia ingin
tahu wajah orang yang benar-benar nakal ini. Tak lama
kemudian, akhirnya wajah Dira benar-benar terpampang.
45
“Perempuan?” Lirih Irham. Dahinya mengkerut, dia
terkejut dan heran seketika.
Dira menyerahkan KTP-nya seraya tersenyum
sebisanya. Wajahnya sedikit kucel karena tekanan helm,
rambutnya yang digulung terlihat amburadul, namun
pesona kecantikannya sama sekali tidak luntur. Kulit putih
dan senyumnya yang manis sangat kontras dengan bengis
dan berdebunya jalanan sore itu.
“Masih kuliah?”
“Iya, Pak.” Jawab Dira dengan tatapan yang
mencoba berani. Namun suara besarnya kini luntur
menjadi suara kecil yang terdengar lucu.
“Hmmm..” Irham lama mendiamkan Dira. “Jadi
kamu yang suka masuk jalur busway itu. Masih muda,
perempuan pula, tapi sudah berani mempermainkan saya!”
“Pak, Ayah saya TNI loh, Pak!” Ceplos Dira. Dia
mencoba menantang Irham lewat tatapannya.
“Baguslah kalau TNI. Tapi siapapun ayah kamu,
tidak ada hubungannya dengan pelanggaran yang kamu
buat ini. Itu tidak akan membantu atau menakuti saya.”
Irham terlihat menulis surat tilang berwarna merah.
Dira menggaruk hidungnya, “gimana kalau kita
damai aja, Pak. Saya mau pulang, Pak!” Dira makin panik.
Dia mulai takut pada Irham. Perlahan hilang keberaniannya
untuk melawan.
Irham berhenti menulis. “Damai? Maksud kamu?
Kamu mau nyogok saya?!” Irham berbicara dengan lantang.
Dira ketakutan melihat tatapan Irham yang tajam. Kali ini
46
Dira benar-benar kalah, “kamu sidang minggu depan.
STNK kamu ditahan di sini!” Tegas Irham.
Dira benar-benar tidak menyangka akan berujung
seperti ini. Dia berpikir segala macam kesalahannya; masuk
jalur busway; tidak punya SIM, bukanlah masalah besar.
Namun dia sadar bahwa dia sudah mempermainkan
seorang polisi, dia sangat takut kasus ini akan berbuntut
panjang, terlebih lagi saat ini ayahnya bukan lagi seorang
anggota TNI yang aktif.
“Sidang gimana, Pak? Saya beneran belum pernah
disidang. Jangan nakutin saya dong, Pak.” Dira yang mulai
terlihat cengeng.
“Sidang gimana? Tanya ayah kamu. Dia kan TNI.”
Orang itu memang nakal, namun Irham mengakui
bahwa di bagian kecil hatinya, dia menyimpan ketertarikan
pada Dira. Ada pikir bertanya siapakah gerangan dia?
Parasnya yang cantik dan cerdasnya dia dalam berbicara
membuat Irham penasaran. Tak disangka, orang yang
selama ini dia incar adalah seorang perempuan cantik.
Sambil mencuri pandang, Irham menyerahkan surat tilang
berwarna merah. Surat tilang berwarna merah yang artinya,
mau tidak mau Dira harus mengikuti sidang untuk
mendapatkan kembali STNK-nya.
Sore itu entah datang ide dari mana, mungkin
karena rasa penasaran yang tak tertahankan, Irham akhirnya
mengikuti Dira. Dia ikuti motor itu hingga terhenti di
sebuah rumah. Irham mengamati dari jauh, sedang Dira
yang tidak menyadari itu membuka helmnya dan masuk ke
dalam rumah.
47
Sesampainya di kontrakan, Irham merebus Mie
Instan untuk makan. Sedang pikirannya terus mengingat
kejadian yang lalu, “apa saya pantas punya SIM?” Kata-kata
itu terus terngiang di pikiran Irham. Dia tidak menyangka
kalimat itu keluar dari mulut seorang perempuan muda
yang cantik. Menurutnya, itu merupakan kalimat yang
‘cerdas’, yang berusaha memutar logika untuk
mengelabuinya. Dia tersenyum kembali mengingat hal itu.
Betapa merasa bodohnya aku
Lampu jalan, jadi saksi pintarnya argumenmu
Lebih terkejutnya aku melihat wajahmu itu
Begitu indah membingkai pekatnya senja
Seragam itulah sebab ketegasan!
Hingga aku terlihat tanpa belas kasihan
Padahal hati terpaut pada kilas pandangan
Ah, mungkin hantu senja sedang menipuku
Tapi tipuan ini terasa meneduhkan
Ataukah memang Tuhan menyemai cinta di hatiku
Hingga menjumpamu jadi satu keberkahan
Sungguh tanpa paksaan,
Karena kamu memang indah
“Cantik...” ucapku, lirih dan pelan
48
Tersamar oleh bisingnya jalanan
“Ayaaaah!” Teriak Dira yang sudah tidak tahan
untuk bercerita pada Ayahnya.
“Ada apa? Kok manyun begitu?” Balas ayahnya
yang sedang serius menonton televisi.
“Matiin dulu tv-nya deh! Aku mau ngomong serius
nih!” Dira duduk di samping ayahnya. “Aku kena tilaaang!
Sebel deh sama polisi itu. Pokoknya aku mau balas
dendam! Titik!!” Sambungnya.
“Loh, kok ngamuk-ngamuk? Masih polisi yang
kemarin itu?”
“Iyaaaa.. STNK-nya ditahan sama dia. Namanya
Irham, Yah! Aku dipaksa buat ikut sidang minggu depan.
Aku bingung ah, nanti gimana jadinyaaa.. uhh!”
“Kamu udah buat SIM belum? Kenapa bisa kena
tilang?” Ayahnya terlihat tenang-tenang saja.
Glek. Dira kembali merasa menjadi tersangka
utama ketika mendengar pertanyaan ayahnya. Dia sudah
berjanji akan segera membuat SIM, namun kenyataannya
dia masih belum membuatnya. Lebih tepatnya, dia sama
sekali tidak berencana untuk membuatnya.
“Itu loh, Yah. Sebenernya sih, ya cuma gara-gara
aku masuk jalur busway ajaa,” jawab Dira terbata-bata.
“Masuk jalur busway? Terus tanpa SIM?”
Dira terdiam.
“Kamu tuh udah gede loh, harus mulai disiplin!
Dulu ayah belain kamu, karena kamu memang masih anakanak.
Sekarang kamu udah dewasa. Udah jadi mahasiswi.
49
Jangan mengandalkan ayah terus dong! Kamu harus
berubah.”
Dira cemberut, “tau ah! Males ngobrol sama ayah!
Aku mau tidur aja. Capek!” wajah Dira muram, dia berlari
menuju kamar.
Pak Herman hanya menggelengkan kepala melihat
tingkah laku anaknya itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia
kembali menyalakan televisi dan melanjutkan tontonannya
yang sempat terhenti.
50
51
BAB 6
Tersentuh
08 Maret 2012
“Hari ini kita akan kembali menuntut ketegasan
presiden dalam mengawal kasus Century! Tapi ingat!
Jangan ada yang anarkis! Sampai di sana, jaga keteraturan,
hindari provokasi. Jangan ada lempar batu, atau rusak
gerbang, atau juga bakar ban! Yang ada hanya demonstrasi
yang bersih...” Untaian kata yang keluar dari Fajar pagi itu.
Tegas, bagai genderang perang nan lantang. Membahana
menyamangati kawan-kawannya yang hendak
berdemonstrasi.
Layaknya para penonton setia, Novi dan Dira
sedang menyaksikan Fajar dan para mahasiswa yang hendak
berangkat berdemo. Mereka nangkring di jendela lantai
atas.
“Gimana ya kalau aku jadi aktivis juga?” Ceplos
Novi. Matanya masih terfokus pada Fajar.
“Pasti capek lah, Nov!” Jawab Dira
52
“Tapi sepadan. Aku kan bisa deket juga sama
Fajar,” dia terdiam sesaat. “Apa aku ikutan jadi anggota
Partai aja ya? Menurut kamu gimana, Ra?”
“Terserah sih, tapi aku kurang yakin kamu bisa
ngikutin kegiatannya dia. Yang ada nanti kuliah kamu
malah jadi acak-acakan.”
“Gak bisa?” Novi tertantang oleh perkataan Dira.
Dia menarik napas dalam-dalam, “kamu lihat nanti, Ra.
Aku pasti bisaaa!” Novi berteriak! Dia Bahkan
mengacungkan kepalan tangannya keluar dari jendela.
Tingkah kekanakannya lembali keluar.
Lalu, beberapa orang yang ada di bawah
mendengar teriakannya, mereka menoleh tepat ke arah
Novi dan Dira, termasuk di antara mereka adalah Fajar.
Wajah Novi memerah, dia pun lantas panik menjauh dari
jendela. Sedang Fajar justru menatap Dira. Pandangan yang
penuh rasa, tersampaikan meski tanpa kata-kata.
Cukup lama mereka bertatapan.
“Diraaaa! Ayo turuun!” Teriak Novi yang sudah
berdiri dekat pintu.
Dira tersentak. Dia sempat hilang ditelan rasa yang
tak dikenal. Dia tidak mengerti kenapa menatap Fajar
seperti itu. Tatapan yang bisa disalahartikan oleh Fajar
sebagai suatu pengharapan, atau sebagai penyampai rasa
suka akan parasnya. Padahal Dira tidak bermaksud seperti
itu.
***
53
Jam 02.30 Sore.
Jalanan lumayan ramai, namun belum membentuk
kemacetan. Dira baru saja bubar dari kelas. Bergegas
menuju motornya karena tidak mau melewatkan
kesempatan emas ini; jalanan yang tidak macet.
Semenjak terkena tilang itu Dira berusaha pulang
tanpa melanggar aturan, dia selalu lewat jalur kendaraan
umum meskipun kadang kemacetan sangat tidak
menyenangkan. Trauma karena bentakan Irham, kali ini dia
rela berbagi jalanan yang sempit dengan ribuan kendaraan
lain. Berjalan begitu perlahan. Kadang-kadang sedikit
bersenggolan dengan kendaraan lain, itu menjadi ‘cobaan’
yang harus dia hadapi dengan sabar.
Dira bergegas menerobos jalanan yang cukup
lengang itu. Dia pacu motornya dengan kencang, meliukliuk
di antara kendaraan lain yang melaju pelan. Tak lama
kemudian di depannya ada lampu merah. Kebetulan saat itu
lampu hijau yang tengah menyala, namun tersisa tinggal
beberapa detik lagi, dan lampu merah akan segera menyala
kembali. Dira mempercepat laju motornya, lagi-lagi, dia
tidak mau melewatkan kesempatan emas seperti ini. Detak
jantungnya pun turut melaju dengan lebih cepat.
Lampu hijau tinggal sebentar lagi tersisa, “enam..
lima.. empat.. tiga..” Dira menghitung dalam hati, berharap
bisa melewatinya dengan tepat waktu. Tepat ketika berada
dipersimpangan, tiba-tiba dia melihat motor lain yang
datang dari arah kanan. Motor itu melaju dengan cukup
kencang, seketika Dira panik. Dia mencoba menge-rem
motornya, sedikit membelokannya ke arah kiri jalan.
54
“Gduubrak!!! Sreeeett!” Terdengar suara hantaman,
terlihat percikan api di jalan.
Begitu keras, tabrakan tak dapat dihindari. Dira
pun kehilangan kesadaran.
***
“Pak! Ada kecelakaan di lampu merah! Di sana gak
ada polisi yang jaga,” ucap seseorang pada Irham. Dia
terengah-engah karena berlari.
Irham dan seorang polisi lain bergegas
mengendarai kendaraan menuju lampu merah yang
mungkin hanya berjarak 200 meter dari pos itu.
Sesampainya di sana, dia langsung mengendalikan situasi.
Dia melihat ada seorang korban yang tak sadarkan diri, dan
dia tersentak ketika menyadari orang itu adalah Dira.
Tergeletak tak bergerak tak jauh dari trotoar, jaketnya
terlihat sobek di bagian tangan. Ada darah di sana.
Dira tak sadarkan diri, beruntung lukanya tidak
begitu parah. Meski begitu, Irham tetap membawanya ke
Rumah Sakit. Namun dia tak berlama-lama di sana dan
langsung bergegas kembali ke pos jaga. Di sana sudah ada
seorang korban kecelakaan yang lain. Orang itu duduk di
depan pos dan pastinya sudah mendapati banyak
pertanyaan dari Polisi lain. Irham yang masih ingin tahu,
duduk di samping orang itu dan menanyainya kembali.
“Bapak punya SIM, Pak?” Tanya Irham.
“Punya,” jawabnya singkat.
“Kenapa bapak menerobos lampu merah?”
55
“Saya sedang buru-buru, Pak.” Jawabnya sambil
mengusap tangan kanannya yang sakit.
“Buru-buru?! Bapak itu sudah membahayakan
orang lain! Semua orang juga sedang buru-buru, tapi
mereka tidak menerobos lampu merah,” tegas Irham kesal.
Irham menenangkan dirinya yang sedikit geram.
Tanpa disadarinya, kini dia mulai lebih memperhatikan
Dira. Semenjak dia melihat wajah Dira, kekaguman itu
semakin menjadi. Perempuan yang dipandangnya sangat
unik, berbeda dengan yang lain.
“Saya kira sudah tidak ada yang lewat lagi,
makanya saya jalan terus.”
“Rumah bapak di mana?” Ucap Irham dengan
suara yang lebih pelan. Dia berusaha tenang.
“Rumah saya deket kok, Pak.”
“Saya bisa antar bapak pulang, kebetulan saya juga
sudah mau pulang.”
“Terima kasih, Pak” Dia tersenyum pada Irham.
“Tapi, bapak tidak ke rumah sakit dulu?”
“Tidak usah, Pak. Tangan saya cuma terkilir.”
Jawabnya. Padahal lukanya cukup parah. Ada banyak lecet
dan berdarah-darah.
Pada akhirnya orang itu menerima tawaran Irham,
dia diantar dengan selamat sampai ke rumahnya. Motornya
sendiri memang rusak cukup parah, tidak dapat dipakai
dan ditinggalkan dulu di Polsek.
***
56
Jam 07.15 Malam.
Dira baru sadar. Saat ini dia berbaring di ranjang
Rumah Sakit. Badannya terasa sakit semua, ada perban
yang melilit tangan kirinya. Matanya terbuka perlahanlahan,
namun dia masih kebingungan. Perlahan dia mulai
sadar bahwa dia mengalami kecelakaan, dan kini dia ada di
rumah sakit.
“Suster...” Sahut Dira.
Seseorang yang tak jauh dari ranjang
menghampirinya, “sudah sadar?”
Dira memperhatikan orang itu, “rasanya aku kenal
kamu?” Tanya Dira. Dia mencoba mengingat-ingat. Dan,
kesadarannya pun mulai kembali pulih. “Ooh, bapak polisi
itu kan, ya? Ngapain bapak di sini?”
“Tidak usah panggil ‘bapak’, panggil saja Irham.
Gimana keadaan kamu?”
Dira terdiam sesaat, “masih sakit,” singkat Dira.
“Tapi aku mau pulang,” lanjutnya seraya mencoba bangkit
dari tempat tidur.
Irham membantunya untuk bangun. Saat itu
tangan mereka bersentuhan, karena sebuah keharusan,
untuk membantu Dira bangun dari tempat tidur. Namun
Irham merasakan kebahagiaan seakan sentuhan itu
menghadirkan getar cinta. Irham menatap Dira dengan
dalam. Apakah cinta itu memang sebuah keharusan? Atau
terlahir karenanya? Yang pasti, keharusan berbeda dengan
paksaan. Dan nyatanya cinta bukanlah paksaan.
“Makasih..” Ucap Dira.
57
Irham menarik tatapannya, “em, oiya, tas kamu
tertinggal di pos jaga, maaf tadi lupa saya bawa.”
“Orang ini rasanya berbeda dengan polisi itu. Dia
lembut.” Pikir Dira.
“Iya, gak apa-apa ... Motorku di mana? Aku
beneran mau pulang nih. Jam berapa ini? Ayahku pasti
khawatir,” Dira tergesa-gesa, makin tak tahan karena rasa
sakit pun semakin menyiksa.
“Kenapa tidak istirahat di sini saja dulu. Nanti saya
kasih kabar ke orangtua kamu.”
“Nggak mau. Aku mau pulang! Di mana motorku
sekarang?” Suaranya terdengar kelelahan. Dia tetap
memaksa pulang, padahal tangan kirinya diperban dan kaki
kirinya juga lecet-lecet di bagian lutut dan betis.
Irham menarik napas dalam. “Hmmm.. Kamu
tidak bisa bawa motor dengan keadaan seperti itu,” Dira
terdiam mendengar perkataan itu. “Tapi kalau memang
bener-bener mau pulang, saya bisa antar,” Sambung Irham.
Seketika membuat Dira tenang, dan tersenyum.
Kejomplangan dalam tata bahasa masih tak
terhindarkan. Irham masih kaku dengan bahasa formalnya.
Ada ragu ketika harus berbicara layaknya ‘anak muda’
ketika menggunakan seragam gagahnya. Apalagi, Dira
belum begitu dia kenal, hingga rasa canggung makin
menjadi.
***
Udara malam itu sangat dingin terasa. Mereka di
atas jok motor yang terbuka, bersentuhan langsung dengan
angin malam kota Jakarta yang tajam. Baru beberapa ratus
58
meter naik motor, Dira sudah tertidur di punggung Irham.
Mungkin dia benar-benar kelelahan dan butuh istirahat.
Tak lama kemudian Irham menyadari Dira tertidur, dia
mempercepat laju motornya agar cepat sampai.
Ah, Dira. Perempuan yang beberapa hari lalu
masih menjadi musuhnya di jalanan. Kini menjadi seorang
yang duduk memeluk punggungnya. Ada hangat terasa,
mungkin itu cinta yang memeluk hatinya. Namun ada rasa
takut pula dalam dirinya, dia belum mengenal Dira secara
pasti dan takut terjebak dalam arus perasaan yang
memabukkan. Seorang polisi tidak mungkin jatuh cinta
pada anak perempuan nakal seperti itu. Itu tidak mungkin.
Sesampainya di rumah Dira, Irham tidak langsung
membangunkannya. Dia sempat bingung akan berbuat apa.
Membangunkan Dira yang sedang tertidur itu, atau
menggendongnya dan mengetuk pintu rumahnya langsung.
Irham menggaruk kepalanya. Serba aneh rasanya.
Berdua dengan seorang perempuan cantik yang sedang
tertidur di punggungnya.
Lama seperti itu.
Akhirnya Irham memutuskan untuk
menggendongnya. Namun ternyata itu pun tidak mudah.
Kaki Dira sempat tersangkut di jok motor. Dan ketika
Irham menggendongnya sampai di depan pintu rumah,
Dira terbangun dengan sendirinya.
Dira sama sekali tidak protes ketika terbangun
dalam gendongan Irham. Justru tersenyum dalam hatinya.
Hangat. Dan nyaman rasa yang dia cicip malam itu.
59
Jakarta masih ramai, namun mereka justru
merasakan keheningan berdua, merasakan kehangatan dari
pertemuan yang berkesan meski kelelahan.
“Makasih banyak ya,” ucap Dira. Rupa dirinya
sudah berantakan. Rambut semrawut, tangan diperban.
Sebuah senyum terbentuk di bibirnya. Senyum yang susah
payah karena dia lelah. Tapi indah.
“Semoga lekas sembuh..” Irham tersenyum.
Cukup lama mereka berdiri seperti itu. Saling
menatap dan tak peduli meski tidak ada yang mereka
perbincangkan. Cinta bukan kebingungan bagi yang
merasakan, tapi kebingungan bagi yang hanya menyaksikan.
Kelembutan adalah mata uang hati. Tak peduli meski
datang dari orang asing di mata, kelembutan tetap menjadi
kelembutan. Dan kelembutan itu mampu menyentuh hati
Dira. Dia meruntuhkan prasangka, dan mengganti rupa
Irham di matanya. Irham yang tadinya super menyebalkan
kini menjadi sosok yang baik nan lembut.
***
Pagiku terasa lebih bersinar
Karena, aku tahu senjaku akan indah
Sebelum malam mencuri mentari
Aku kan sabar dalam menanti
Taati prosesi hari, tuk menghantarmu padaku
Karena ingin kulihat engkau, meski wajahmu
tersembunyi
Engkau indah di hati ini..
Aku mengagumimu..
60
61
BAB 7
Kesempatan
09 Maret 2012
Dira terbangun dengan rasa sakit di sekujur
tubuhnya. Kepalanya masih pusing, lengan kirinya terasa
semakin perih dan sakit jika digerakkan. Dia melihat
ayahnya tidur di lantai dekat ranjang, sepertinya dia
menemani Dira semalaman. Dira menatap lama ayahnya
yang tertidur beralas kasur lantai. Tidak menyangka
ayahnya masih memperhatikan dia, padahal biasanya jam
pagi seperti ini dia sibuk di depan televisi.
Dira hendak bangun untuk minum, namun
badannya justru terjatuh dari ranjang. Dia baru sadar kalau
kaki kirinya juga masih sakit. Ketika tersungkur ke lantai
dia menjerit kesakitan, membuat ayahnya terbangun.
“Dira!” Pak Herman terbangun karena terkejut,
lalu dengan sigap dia membantu Dira kembali ke tempat
tidur.
“Hauus,” ucap Dira manja.
“Tunggu ya, ayah ambil air buat kamu. kamu diam
di kasur!”
62
Tak lama menunggu, ayahnya kembali dengan
segelas air hangat. Dira merubah posisi menjadi duduk
bersandar di atas ranjang. Meraih gelas berisi air hangat itu,
lalu meminumnya pelan-pelan.
“Yang mana yang sakit?” Tanya ayahnya.
Jarang-jarang ayahnya berlaku selembut ini. Sedikit
terasa aneh, namun Dira suka. Di umurnya yang hampir 19
tahun, dia masih sangat berharap untuk dimanjakan. Meski
di luar rumah dia sering kebut-kebutan, tapi jika di rumah,
dia jadi anak yang manja dan banyak maunya. Ayahnya
adalah laki-laki pelindungnya, sudah cukup, hingga dia
enggan untuk memiliki pacar atau teman laki-laki.
“Cuma tangan ini, sama pinggang juga rada sakit
nih. Si bibi ke mana emangnya, Yah?”
“Mungkin lagi nyuci baju.” Pak Herman
memperhatikan lengan Dira yang berbalut perban. Lalu
menyentuhnya dengan lembut, “kenapa bisa begini? Kamu
kebut-kebutan ya?”
“Nggak kok. Kemarin tuh ada orang yang nerobos
lampu merah. Aku yang kena tabrak!” Terang Dira.
“Terus siapa yang bawa kamu ke rumah sakit?
Yang nganter pulang siapa?” tanya Ayah yang tak sempat
menanyai Dira tadi malam. Keadaan Dira semalam
membuatnya sangat khawatir, membuatnya tidak banyak
bertanya meski dilanda khawatir yang sangat besar.
“Irham...” Pertanyaan sang ayah mengembalikan
kilasan manis tentang kejadian semalam. Rasa bahagia itu
kembali menggerayangi pikirannya. Dira tersenyum
mengingat kejadian itu.
63
“Ayah nanya loh, kok kamu malah senyum-senyum
sendiri.” Lanjut Ayahnya.
“Hehe, nggak apa-apa, Yah. Pokoknya ada orang
baik yang nganterin aku,” jawab Dira ceria.
“Siapa? Cowok? Terus yang bayar biaya rumah
sakitnya, dia?”
“Iya cowok, orangnya baik. Seinget aku, semalem
aku gak bayar apa-apa, Yah.”
Dira baru ingat, semalam dia tidak membayar apaapa.
Dan lagi, rumah sakit tempatnya dirawat bukanlah
tempat ibunya bekerja. Jadi pasti ada orang lain yang
membayar biaya perawatannya.
Pak Herman terdiam, dia menatap anaknya.
Sejenak terlintas pikir bahwa anaknya itu masih saja cuek
layaknya anak kecil. Dira sama sekali tidak berpikir siapa
yang membayar biaya rumah sakitnya. Kalau saja tidak ada
orang baik itu, mungkin saja dia masih tersungkur di
pinggir jalan.
Pak Herman merasa punya kewajiban untuk
mengganti uang orang tersebut, “oke, ayah turun dulu ya,
mau lihat berita. Oiya, nanti ayah minta tolong si bibi buat
beli bubur.”
“Oke,” singkat Dira.
“Satu lagi. Semalam ayah udah telpon tuh si Novi,
ayah bilang kalau kamu gak bisa masuk kuliah hari ini.
Kamu istirahat aja ya.” Terangnya, lalu berjalan keluar
kamar.
***
64
Jam 04.02 Sore.
“Ting tong.. Ting tong..”
Pak Herman bangun dari sofa empuknya, dia
menghampiri seseorang yang menekan bel rumah. Malas
sebenarnya untuk bangkit meninggalkan acara berita,
meskipun hanya beberapa langkah menuju pintu rumah.
Dia membuka pintu, dilihatnya seorang pemuda dengan
penampilan yang rapih. Membawa seikat bunga dan
memberi senyum yang ramah.
“Selamat sore, Om.”
Pak Herman memperhatikan orang itu. “Ada perlu
apa?” Tanyanya dingin.
“Saya Fajar, Om. Teman kuliahnya Dira. Saya mau
jenguk Dira. Saya dapat kabar katanya Dira kecelakaan.
Benar, Om? Saya khawatir, Om. Saya ingin tahu
keadaannya,” Fajar terlihat canggung di depan ayah Dira.
Sikap dingin pak Herman makin membuat Fajar
salah tingkah. Keringat panik pun sempat mengaliri
keningnya. Sepertinya dia lebih jago berbicara di depan
ratusan atau ribuan mahasiswa dibanding di depan seorang
yang menakutkan seperti ini. Setelan kaos oblong putih
sore itu justru membuat ayah Dira semakin terlihat seram.
“Oh, Begitu. Masuk!” pak Herman mempersilahkan
dengan suara yang tegas.
Fajar melangkah ke dalam rumah seraya tersenyum,
dia menundukkan wajahnya, karena tak berani menatap
seramnya ayah Dira terlalu lama. Ketika pak Herman
membalikkan tubuhnya dan mengajaknya masuk, Fajar
65
mengelus dada dan bernafas lega. Detak jantung yang
sempat tak karuan kini membaik –sedikit lebih tenang.
Pak Herman mengantar Fajar sampai kamar Dira.
Di kamarnya, Dira terlihat sedang rebahan di atas ranjang.
Dengan selimut yang tebal. Matanya tertutup rapat.
“Eh!” Seketika Dira terbangun. Terkejut ketika
Fajar ada di pinggir Ranjang. Pintu kamar memang tidak
ditutup, sehingga Fajar masuk tanpa suara dan seketika
saja ada di sampingnya.
“Gimana keadaan kamu?”
“Eh, udah baikan kok, Jar.” Dira menarik
selimutnya lebih erat. Keterkejutan itu masih tersisa.
“Aku khawatir banget pas dapet kabar kamu
kecelakaan. Syukurlah kalau udah lebih baik. Udah minum
obat?” Tanya Fajar penuh perhatian.
“Udah kok. Kamu tahu dari mana aku
kecelakaan?”
“Tadi pagi aku SMS, kamu gak bales. Terus aku
telpon juga gak diangkat. Aku beneran khawatir. Aku cari
tahu kabar kamu kemana-mana, untungnya ketemu si Novi
dan dapat kabar dari dia. Oiya, aku tadi beli bunga buat
kamu,” Fajar menyerahkan bunga yang dia bawa.
Seikat bunga mawar. Mawar putih berkumpul di
tengah, sedang mawar merah melingkari pinggirnya. Wangi
dan indah. “Makasih, Jar,” jawab Dira singkat, dia pun
tersenyum.
66
“Aku ke sini buat lihat keadaan kamu aja. Aku gak
mau banyak nanya dulu, takut ganggu istirahat kamu.
Lekas sembuh ya, Ra.”
“Iya, Jar. Makasih banyak ya.”
“Aku pamit pulang ... Cepet masuk kuliah lagi ya.”
“Iya, makasih bunganya,” Dira tersenyum.
“Mmm, aku senang kalau lihat kamu senyum.
Kasih tahu aku kalau kamu butuh bantuan atau butuh
teman ngobrol. Aku pasti datang,” Fajar tersenyum. Ia
mengusap tangan kanan Dira dengan lembutnya, “bye...”
Ucapnya dengan lembut, lalu berbalik dan meninggalkan
kamar itu.
Keinginannya untuk tinggal lebih lama harus sirna
karena keinginannya yang lain, yaitu agar Dira lekas
sembuh. Pilihan yang kedua tentu lebih baik, karena lebih
mementingkan kebutuhan Dira, bukan keegoisan maunya
untuk terus berdua, yang justru mengganggu waktu
istirahat Dira.
***
Jam 05.30 Sore.
“SATPOL PP kembali melakukan razia PKL
untuk membersihkan bahu jalan, namun mereka mendapat
perlawanan dari para pedagang yang tidak ingin
dagangannya digusur. Sempat terjadi baku hantam,
beberapa pedagang bahkan menangis di tengah jalan..”
“Korupsi melulu sih. Kenapa gak jalannya aja yang
diperbesar? Kok malah bikin susah orang yang udah susah!”
Celoteh pak Herman.
67
“Ting tong.. ting tong..” Terdengar suara bel
kembali.
“Aargh, siapa lagi ini?!” Kesal acara nonton
beritanya kembali mendapat gangguan, pak Herman
memukul meja dihadapannya ketika bangkit. Mau tak mau
dia kembali membukakan pintu. Si bibi memang lebih
fokus untuk memasak dan urusan rumah tangga, seperti
memasak, mencuci, membersihkan rumah, sedangkan halhal
sepele seperti membuka pintu itu masih dilakukan oleh
pak Herman sendiri. Toh, memang sangat jarang yang
bertamu.
Ketika pintu itu dibuka, dilihatnya seorang
pemuda dengan rambut pendek rapih, terlihat tegap namun
dengan wajah yang letih. Pemuda itu membawa tas yang
rasanya dia kenal. Setelah diteliti dengan tajam, ternyata itu
tas milik Dira.
“Sore, Pak!”
“Sore! Ada perlu apa?” Tanya pak Herman.
“Saya ingin mengembalikan tas putri bapak yang
kemarin tertinggal di pos polisi.”
“Kamu siapa? Polisi?”
“Iya, Pak.”
Hari sudah gelap, terlebih lagi Irham yang kala itu
memakai jaket, membuat seragamnya tak terlihat sehingga
pak Herman sempat tidak menyadari bahwa dia itu polisi.
Pak Herman tersenyum kecil, “silahkan masuk,
Pak! Saya ingin tahu lebih jelas bagaimana kronologi
kejadian kemarin.”
68
Irham sebenarnya hanya berniat untuk
menyerahkan tas itu, namun pada akhirnya harus masuk
dan menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Itu pertama
kalinya dia masuk ke rumah Dira. Dia duduk di sebuah
ruangan yang luas. Sofa tempat dia duduk adalah untuk
menerima tamu, sedangkan disamping itu juga ada lagi sofa
panjang yang menghadap ke televisi.
Tak lama kemudian datang seorang perempuan
paruh baya yang membawakan air minum, orang itu tidak
lain adalah pembantu rumah. Bersamaan dengan itu
pertanyaan demi pertanyaan mulai terucap dari ayah Dira.
Dijawab dengan sopan oleh Irham. Obrolan itu
berlangsung hangat. Irham pun menceritakan bagaimana
kejadian itu bisa terjadi.
Lalu tiba-tiba pak Herman bertanya, “bapak tahu
tidak siapa yang mengantar anak saya ke rumah sakit?”
Irham terlihat gugup. Entah kenapa dia harus
merasa gugup, padahal hal itu adalah suatu yang wajar
dilakukan oleh Polisi, “oh ... itu ... Saya yang mengantar.”
Dia terbata.
“Bapak juga yang bayar biaya rumah sakit-nya?”
“Iya, Pak!”
“Berapa biayanya? saya ganti.”
“Oh, tidak, Pak, tidak perlu. Kemarin itu niat saya
memang memberi, Pak, bukan meminjamkan. Jadi, tidak
perlu diganti,” ucap Irham tersenyum ramah.
“Wah, baik sekali bapak ini. Lalu, bapak juga yang
mengantar Dira pulang?”
69
“Iya, Pak.” Kali ini Irham benar-benar gugup.
Namun sebisa mungkin menyembunyikan kegugupan itu.
Pak Herman justru kembali tersenyum kecil
melihat tingkah Irham, “siapa nama bapak?” Tanyanya.
“Irham.”
“Ooh..” Menganggukkan kepala. Pak Herman
kembali tersenyum, “ternyata ini toh Irham yang pernah
diceritakan Dira.” Dia melihat Irham sebagai seorang yang
baik, terlebih lagi sebelumnya dia sudah mendengar cerita
tentang Irham dari Dira. Sejauh ini dia meyakini bahwa
Irham ini seorang yang disiplin dan baik hati.
“Pak, saya bisa minta bantuan bapak lagi? Beberapa
hari yang lalu si Dira kena tilang, katanya harus ikut sidang.
Bisa tolong bapak antar dia. Saya tidak bisa mengantar,
kakak-kakaknya juga sedang di luar kota,” pinta pak
Herman. Lalu dia melanjutkan, “sekarang, motor dan
STNK-nya juga sudah tidak ada di rumah. Anak itu
memang nakal!”
Irham kaget mendengar perkataan itu. Jika dia
bersedia melakukan itu, maka itu menjadi kesempatan
untuk menjadi lebih dekat dengan Dira. Tapi sebenarnya
lebih dari itu, tugasnya memang membantu masyarakat,
baik itu Dira ataupun bukan, dia harus tetap membantu.
Dia berpikir cukup lama, karena tidak mau niat baiknya
disalah-artikan oleh pikirannya sendiri sebagai ajang
mencari kesempatan. Dia ingin membersihkan niat, bahwa
ini benar-benar untuk membantu masyarakat. Bukan
sekedar memperjuangkan cinta. Tidak boleh ada kerancuan
dalam niat, apalagi menjalankan tugas.
70
“Motornya ada di Polsek, Pak. Akan saya antar
Dira sidang, nanti motornya juga akan saya bawa ke sini
secepatnya,” jawab Irham.
“Syukurlah. Terima kasih, Pak.”
“Ah, jangan panggil saya seperti itu, Pak. Belum
pantas rasanya. Panggil saja Irham,” ucap Irham seraya
tersenyum.
71
BAB 8
Sembuh
10 Maret 2012
“Gimana keadaan kamu, Ra?” Tanya Novi yang
datang menjenguk.
“Baik, Nov. Cuma tanganku ini lho masih sakit.”
“Terus, kapan kamu masuk kuliah lagi? Aku
kesepian nih di kampus gak ada temen, hehe,”
“Belum tahu, Nov. Aku aja belum tahu motorku
gimana nasibnya. Aku males kuliah kalau gak ada motor.”
“Aku malah males naek motor. Panas! Mendingan
naek bus deh ... Eh, Ra! Aku beneran masuk organisasi
lho,” ucap Novi dengan alis yang naik turun dan senyum
mengembang. Dia sangat antusias untuk ikut dalam
organisasi kampus.
“Wah beneran? Terus gimana?”
“Sejauh ini sih asik. Ternyata banyak orang yang
pinter, aku kira mereka cuma orang-orang yang seneng
teriak-teriak gak jelas. Hehe. Terus obrolan mereka juga
menarik. Sebenernya aku belum jadi anggota resmi sih,
72
katanya harus ikut acara apa dulu gitu, aku lupa. Baru bisa
resmi jadi anggota.”
“Oh, gitu. Paling ngobrolin politik ya?”
“Kemaren sih pas aku kumpul-kumpul bareng
mereka, ya ngobrol biasa aja. Tapi sambil bagi-bagi bacaan
gitu, Ra. Aku malah udah dipinjemin buku buat dibaca.
Orang yang ngasih buku itu ganteng loh, Ra!” Terang
Novi, dia memejamkan mata dan senyam-senyum sendiri.
“Kamu ini gak konsisten! Si itu ganteng, nanti
nemu lagi yang baru, ganteng lagi. Semuanya aja kamu
bilang ganteng, haha,” Dira tertawa.
“Eh! Kapan aku begitu? Gak ah. Kan aku baru
bilang Fajar doang, kan? Hehe. Sekarang aku udah melek,
Ra. Dapetin Fajar tuh gak mungkin buatku. Mungkin
harus bertapa di gunung dulu, baru bisa! Haha...”
“Kalau udah dapet yang baru aja, pinter banget
ngomongnya. Paling nanti juga balik lagi ngintipin Fajar.
Haha,” Dira kembali tertawa.
“Eh, nggak loh! Sekarang aku udah beneran, gak
akan ngintip-gintip dia lagi. Aku mau yang ini aja!”
Kalau mereka sudah bertemu, tema utama yang
diangkat pasti tentang laki-laki, meski sebenarnya Dira
tidak tertarik dengan tema itu, namun selalu ikut terbawa
oleh Novi. Ketika mereka sedang asik bergurau. Ponsel
Dira berdering. Ada nama Fajar di layar ponselnya. Dira
pun mengangkat telpon dari Fajar itu dengan hati-hati
karena Novi ada di sana.
“Haloo, Ra. Gimana keadaan kamu?” Tanya Fajar.
73
“Sudah lumayan baik, Jar.”
“Hari Senin mau masuk kuliah gak? Nanti aku
jemput.”
“Mmm...” Dira berpikir lama. Dia takut Novi
akan marah jika dia menerima tawaran Fajar ini. Dia sendiri
sebenarnya tidak terlalu ambil pusing jika ada seorang yang
berniat baik, dengan senang hati pasti dia terima. Namun
lain cerita kalau kebaikan itu justru akan menyinggung
perasaan sahabatnya, tentu dia tidak ingin mengulang
salahnya yang lalu. “Bentar ya, Jar!” Sambung Dira.
Dira meletakkan ponselnya di bawah bantal, lalu
menatap Novi. “Fajar besok mau jemput aku. Gimana
Nov? Aku udah pengen kuliah, tapi kan gak mungkin kalau
aku bawa motor sendiri. Naik angkutan umum juga aku
males.”
“Yaa, silahkan. Gak masalah buatku,” jawab Novi
dengan tenangnya, kali ini dia terlihat benar-benar ikhlas
melepas idolanya itu untuk dekat dengan Dira.
Dira kembali mengangkat ponselnya, “oke, Senin
aku kuliah,” jawab Dira pada Fajar.
“Wah! Kamu beneran mau aku jemput?” Fajar
terdengar sangat senang. “Oke. Nanti aku ke rumah jam
tujuh ya.”
“Oke.”
Obrolan singkat itu pun ditutup kelegaan di antara
keduanya.
***
74
Lalu lintas sedang ramai-ramainya. Irham berusaha
tetap tenang menghadapi kotor dan bisingnya jalanan sore
itu. Namun dia merindukan si pengendara nakal itu. Soresore
seperti ini biasanya dia bisa melihat motor itu melesat,
namun kini tidak ada. Dia merindukan Dira. Terlebih lagi
dia tahu keadaan Dira yang saat ini sakit, makin
bertambahlah rasa khawatir dalam dirinya.
Ketika dia sedang sibuk dengan lamunannya. Dia
dikejutkan oleh suara keributan dari arah seberang.
Sekelompok pelajar tiba-tiba turun dari Metro Mini,
mereka ada puluhan, dan menyerang Metro Mini lain yang
di dalamnya juga ada para penumpang.
Irham sempat diam menonton kejadian itu. Ini
pertama kali dia dihadapkan dengan keadaan tawuran antar
pelajar. Ada beberapa pelajar membawa benda tajam,
sebagian ada juga yang membawa stik golf. Mereka
memukul kaca Metro Mini itu hingga pecah, lalu beberapa
pelajar lain turun dari Metro Mini yang diserang itu.
Mereka bertempur di tengah jalanan yang macet.
Saling pukul, saling hantam. Para pengguna jalan berusaha
menghindar dari kerusuhan. Irham berlari menuju para
pelajar yang beringas itu, dan mencoba menjadi penengah.
Namun ketika dia berada di tengah kerumunan itu, dia
justru merasa terancam. Mereka tidak bisa ditenangkan,
seragam Polisi Irham sama sekali tidak membuat mereka
berhenti tawuran. Batu-batu masih beterbangan
melewatinya. Beruntung tak lama kemudian beberapa polisi
turut datang ke tempat itu, para pelajar perusuh itu pun
berhamburan. Irham berhasil menangkap salah seorang
75
yang paling dekat dengannya. Polisi yang lain juga berhasil
menangkap beberapa pelajar nakal itu.
Dia membawa seorang pelajar itu ke pos jaga.
“Ceritakan apa yang terjadi barusan!” Bentak
Irham. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ada darah yang
mengalir dari pelipisnya. Irham terkejut. Dalam kerusuhan
yang tak terkendali tadi mungkin dia terkena lemparan
batu. Dia mengambil sapu tangan dari kantungnya, lalu
menekan luka itu agar tidak terus berdarah.
“Ayo ngomong! Jagoan! Ayo cerita?!” Polisi lain
membentak para pelajar itu.
Di dalam ruangan itu ada tiga orang pelajar yang
tertangkap. Seorang polisi yang juga berada di ruangan itu
menendang seorang di antara para pelajar itu, yang
kelihatannya dia yang paling beringas dan nakal. Namun
tiga orang brutal itu tiba-tiba berubah menjadi penakut di
depan para polisi. Mereka berkali-kali ditendang dan
dibuat setengah telanjang.
Di sisi lain, Irham terkejut melihat tindakan
teman-temannya itu. Mereka sama kejamnya dengan para
pelajar itu, menendang dan membentak secara keterlaluan.
“Ampun, Pak, ampun. Saya kapok, Pak,” ucap
seorang pelajar yang ketakutan.
“Saya akan laporkan kalian ke sekolah dan
orangtua kalian,” ucap polisi itu.
“Pak, tolong jangan laporin ke orangtua saya,
Pak!” seorang di antara mereka memohon dengan sangat.
Dia terlihat cengeng dan menyedihkan.
76
“Orangtua kalian harus tahu! Bisa jadi kalian ini
masuk penjara. Lihat tuh bus yang kalian rusak, kendaraan
lain juga banyak yang kena batu. Kalian harus tanggung
jawab!”
Para pelajar itu merengek. Mereka menangis.
Segala perilaku mereka yang beringas ternyata hanya topeng
agar tak terlihat cengeng. Melempar batu, menghantam
wajah teman, mereka lakukan untuk menutupi kekurangan
mereka, yaitu bodoh dan malas. Orang-orang yang rajin
belajar dan pintar justru lebih tegar dan bertanggung jawab
dibanding mereka.
Irham hanya duduk diam, tangan kirinya
memegang sapu tangan di lukanya. Sapu tangan yang
tadinya berwarna putih kini sudah merah sepenuhnya.
Darah itu mengalir terus. Namun dia tidak menghiraukan
lukanya, pikirannya justru sedang kebingungan melihat
perilaku para pelajar itu. Apakah mereka tidak sadar bahwa
mereka sedang membuang masa mudanya? Apakah mereka
tidak tahu orangtua mereka susah payah agar mereka
sekolah? Apakah mereka tidak tahu, semua perbuatan
mereka itu salah!?
Sekian lama hanya diam melihat para pelajar itu,
Irham memutuskan untuk segera pulang. Namun dia
mencoba mengobati sendiri lukanya terlebih dulu.
Diambilnya obat luka dan kain kasa dari kotak P3K yang
ada di sudut ruangan. Dengan sedikit betadine dan
beberapa lipatan kain kasa itu luka ditutup dengan rapih.
Irham pulang dengan kelelahan di sekujur
tubuhnya. Seketika, lamunan tentang Dira kembali
merenggut pikirnya. Bagaimana keadaannya sekarang?
77
Mungkinkah dia sedang meringis kesakitan? Rasa khawatir
itu menyanderanya. Sedang dia sendiri lupa pada keadaan
pelipisnya yang juga sedang terluka.
Rasa penasarannya kepada Dira mungkin telah
menjadi rasa suka, dan kini suka itu menjadi kekaguman,
yang perlahan akan bertunas cinta. Cinta memang sukar
untuk diterjemahkan atau dinilai dengan nalar semata. Rasa
itu justru muncul pada seseorang yang baru dikenalnya
beberapa hari. Pikirannya sangat sulit lepas dari Dira. Dia
menuangkan perasaannya kala itu dalam sebuah puisi
menjelang tidur.
Bungaku sedang layu..
Terinjak orang yang tersesat arah
Hatiku sedang sendu
Karena jalanan berlaku kasar padanya
Kini dia terbaring jauh, jauh dariku..
Namun aku hanya bisa diam, tanpa mengejar
Karena manusia! Karena dunia!
Punya aturan dan batasannya sendiri
Padahal hati tak terbatas pada yang terlihat
Maka harusnya, aku berhak memeluknya erat!
78
12 Maret 2012
“Dalam hal penegakan hukum dewasa ini, partai
oposisi justru bersikap seakan-akan koalisi pemerintahan.
Dan dalam hal penilaian kebijakan pemerintah, partai
Koalisi justru ikut bersikap seperti oposisi,”
Pak Herman sedang menonton perdebatan yang
terjadi di berita pagi itu. Seperti biasa, para pengamat
versus politikus. Mereka beradu argumen pagi itu dengan
sengit. Entah siapa yang membela kebenaran, karena semua
mengaku berbicara tentang kebenaran, yang pasti mereka
pasti dibayar untuk masuk televisi. Namun yang
mengamati biasanya lebih jujur karena dia tidak punya
kepentingan dan beban. Sedangkan politikus lebih berhatihati
karena dia mencari tempat aman.
Pagi ini di rumah Dira ada yang sedikit berbeda,
ada Fajar yang menemani pak Herman di sofa. Fajar sudah
datang dari pagi sekali untuk menjemput Dira, namun
belum sepatah kata pun keluar semenjak dia duduk! Di
hadapan mereka ada meja kecil, dia atasnya ada sepotong
roti lapis dan segelas teh hangat.
“Ya, koalisi itu kan harusnya dalam kebaikan,
kalau sudah gak baik, buat apa toh berkoalisi? Cuma nyarinyari
keuntungan golongan, menyiksa rakyat sendiri!”
Celoteh pak Herman, dia lalu mengangkat gelas dan
menyeruput teh hangatnya.
Fajar mencoba masuk dalam perbincangan,
“pemerintah dan DPR memang sama aja. Sama-sama
mencari keuntungan pribadi atau golongan mereka. Rakyat
akhirnya terbengkalai,” Fajar mencoba akrab.
79
“Padahal udah tua, tapi masih main-main juga
hidupnya!”
“Iya. Harusnya mereka memberi kesempatan pada
yang muda untuk memimpin!” Tegas Fajar kembali
membalas ucapan pak Herman. Meski ada sedikit ragu
untuk membalas, karena percobaan pertama tadi dia
diabaikan.
“Yang muda? Masalahnya, yang muda sudah siap
belum? Kalau yang muda sama serakahnya. Ya, negara ini
pasti tetep seperti gini! Intinya adalah, kemauan untuk
mengabdi. Jangan justru mencari uang dari sebuah
pengabdian. Tujuan mereka sejak awal memang sudah
salah,” terang pak Herman sedikit mengejutkan Fajar.
Fajar terdiam. Suara ayah Dira yang besar
membuatnya merasa takut untuk melanjutkan diskusi
tersebut, meskipun diskusi itu menarik baginya. Tak lama
kemudian, Dira turun dari lantai atas. Begitu cantik, perban
yang membalut tangan kirinya sama sekali tidak
mengganggu penampilannya.
“Ayah, jangan lupa minum obat! Jangan nontonin
politik terus, nanti pusing lagi tuh kepalanya.” Dira
menghampiri ayahnya, “aku berangkat kuliah dulu.”
Kembali seperti biasa, ayahnya dingin tak
menjawab.
***
Sementara itu, di pagi yang sama, Irham sedang
mengambil motor milik Dira yang kemarin dia bawa ke
bengkel. Sebenarnya kemarin dia ingin langsung
mengembalikan motor itu, namun ban belakang yang rusak
80
membuat motor itu susah untuk dikendarai. Mungkin ada
beberapa bagian yang rusak, karena itu dia membawa
motor itu ke bengkel terlebih dahulu.
***
Jam 07.28 Pagi.
Irham sampai di rumahnya Dira. Dia langsung
membawa masuk motor itu. Saat itu di rumah Dira sudah
ada motor lain yang nongkrong. Sepeda motor itu tidak
lain adalah milik Fajar. Motor besar itu berwarna kuning
terang, sangat keren dan harganya pasti mahal.
Baru saja Irham membuka helm-nya, bersamaan
dengan itu Dira keluar dari rumah bersama Fajar.
Pemandangan yang sangat tidak menyenangkan bagi Irham.
Siapa lelaki itu? Kakaknya? Saudaranya? Temannya? Dia
tidak mengenalnya. Muncul letupan-letupan prasangka
dalam otaknya, ada pertarungan, dan salahnya, pertarungan
itu berujung pada kesimpulan bahwa lelaki itu adalah
pacarnya Dira.
Dira yang baru berjalan beberapa langkah dari
pintu, melihat Irham yang sedang berdiri di dekat
motornya. “Waaah. Motornya udah bagus lagi,” Dira
tersenyum sambil menghampiri Irham.
“Yap, begitulah,” balas Irham, berusaha agar tidak
terihat kikuk.
“Makasih banyak ya,” ucap Dira. Seiring dengan
ucapan itu, ada rasa yang kembali menyandera hatinya.
Irham benar-benar sudah menjadi indah dalam pandangan
Dira. “Oiya, kemarin kan aku tidur, kok kamu tahu arah
rumahku?” Dira menatap Irham.
81
“Oh, itu..” Irham menggaruk kepalanya karena tak
mungkin menjawab itu, “sudahlah, itu tidak penting.”
“Oh,” Dira kecewa. Dia berharap lebih dari
sekedar jawaban itu. “Eh, itu, jidat kamu kenapa?”
Sambung Dira.
“Oh, ini, tidak apa-apa, cuma luka kecil.”
“Ayo, kita berangkat, Ra!” Potong Fajar yang jadi
penonton sedari tadi. Kata-kata itu mengakhiri obrolan
Irham dan Dira. Irham tak suka mendengar kata-kata itu,
seperti ada yang direbut darinya meskipun belum dia
miliki.
Irham menatap Fajar. Hanya sebentar lalu Fajar
menaiki motornya. Dia menahan kekecewaan yang
tersembunyi. Bodohnya Irham, karena dia sudah
menyimpulkan Fajar sebagai pacar Dira. Karena
kesimpulan itulah, kini dia merasa bersalah karena selama
ini mengagumi seseorang yang sudah menjadi milik orang
lain. Bahkan kekaguman pun harus tahu diri, dia meyakini
itu dengan pasti.
Fajar dan Dira berangkat kuliah. Irham melihat
mereka menjauh dari pandangannya. Tak lama setelah itu,
pak Herman memanggilnya dari pintu rumah. Percakapan
dimulai dengan hangat, dan kembali berujung pada masalah
yang sering terlupakan.
“Berapa biaya membetulkan motor itu?”
“Sudah, Pak. Tidak usah diganti uangnya,” ucap
Irham.
“Sudahlah, saya tahu kamu tulus ingin membantu.
Tapi saya sendiri masih mampu untuk membayar ...
82
Berapa? Uang itu pasti lebih berguna untuk kamu,” ucap
pak Herman seraya tersenyum. “Saya tahu berapa
pendapatan orang seperti kamu,” sambungnya.
Irham semakin tertunduk lesu. Ingin membantu
namun kali ini dia merasa dihakimi sebagai seorang yang
justru butuh bantuan. “Biayanya.. Enam ratus tujuh puluh
dua ribu,” ucap Irham dengan pelan.
***
Fajar mengantar Dira. Di sepanjang perjalanan
Fajar terus mengajak Dira mengobrol. Dia sangat ingin
lebih dekat dengan Dira, sudah terpikir olehnya suatu saat
nanti Dira dapat mencintai dia layaknya dia mencintainya.
“Maaf, orangtua kamu udah gak lengkap ya, Ra?”
Fajar penasaran
“Mmm, iya. Mereka pisah,” jawab Dira pelan.
“Kenapa?”
Dira diam cukup lama, “aku gak harus cerita kan?”
“Aku gak maksa kok. Kalau emang gak mau cerita,
ya nggak apa-apa, Ra.”
“Gimna ya, Jar..”
“Udah, jangan maksa buat cerita. Nanti aku malah
jadi ngerasa bersalah. Ganti topik aja deh, oke?” Ajak Fajar.
Perbincangan berlanjut seputar pertanyaan akan
hal-hal kecil. Seperti kapan hari ulang tahun? anak keberapa?
kalau kuliah suka mata kuliah apa? Bahkan
terkadang juga menyentuh wilayah yang sedikit serius.
Sudah pacaran berapa kali? Kenapa suka bawa motor? Dira
menanggapi Fajar dengan hangat. Ketika sudah saling
83
mengenal, prasangka akan luntur. Dira yang sering disebut
sebagai “cewek sangar” di kampus, ternyata sangat hangat
ketika diajak ngobrol.
Sesampainya di kampus, Fajar mengantarkan Dira
sampai ke ruangan kelasnya. Banyak orang yang melihat
mereka. Ketenaran Fajar membuat mereka menjadi pusat
perhatian. Tontonan yang menarik itu pun segera menjadi
gosip yang menyebar. Pagi itu bahkan ada sebagian temanteman
mereka yang menyoraki mereka, menggoda mereka
dengan siulan, terutama teman-teman Fajar.
“Kamu beres kuliah jam berapa? Nanti aku antar
pulang.”
“Jam dua-an, Jar. Tapi apa kamu gak repot?”
“Aku udah jemput kamu, jadi aku juga yang bakal
nganter kamu pulang,” Fajar tersenyum.
“Makasih, Jar.” Dira semakin merasakan kebaikan
Fajar, ketulusannya.
“Oke! Tapi kok kamu gak senyum? Kamu merasa
terpaksa?” Tanya Fajar.
“Eh, nggak, Jar. Aku seneng kok kamu mau
nganter. Makasih ya...” Ucap Dira ditutup dengan senyum
yang manis. Mungkin Dira harus mulai belajar untuk
menghargai Fajar setidaknya dengan sebuah senyuman.
“Makasih juga. Aku seneng kalau bisa lihat kamu
senyum.” Fajar menatap Dira dan kembali memberikan
senyumnya.
84
85
BAB 9
S i d a n g
Jam 02.32 Sore.
Lalu lintas cukup lengang untuk ukuran Jakarta.
Irham bersandar di tiang pos jaganya, mengobrol dengan
polisi lain sambil terus memperhatikan lalu lintas sore itu.
Lalu tiba-tiba motor Fajar melintas di hadapannya, begitu
dekat hingga terlihat jelas. Dira yang kala itu dibonceng
Fajar, menoleh ke arah Irham. Lagi-lagi, ini pemandangan
yang kurang menyenangkan bagi Irham.
Motor itu melintas dengan perlahan dalam
kemacetan, sehingga Irham melihatnya dengan cukup lama.
Hatinya sakit, namun matanya tetap saja memandangi
motor tersebut, hingga benar-benar menghilang dari
pandangannya.
***
Jam 04.15 Sore.
Irham pulang ke kontrakannya. Hari yang sangat
lelah, terlebih hari ini semangatnya jauh berkurang. Dia
menyalakan televisi, lalu merebahkan tubuhnya. Ketika
menyala, televisi itu langsung menyuguhkan berita sore.
“Seorang Praja IPDN kembali tewas karena
dianiyaya oleh seniornya...”
Televisi itu meracau sendiri, sedang pikiran Irham
juga pergi ke dunianya sendiri. Dia acuh, karena bosan
86
dengan berita-berita buruk yang tiada henti. Pada akhirnya
dia kembali menulis sebuah puisi untuk menuangkan
kegelisahannya hari itu; Dira.
Bungaku kembali merona
Namun seseorang telah memiliki wanginya
Memiliki warna indah mahkotanya
Aku kecewa, namun tak bersedih
Karena satu yang tersisa padaku
Sosok bayangannya yang tinggal di hati
Tuk kupeluk, kupuji, kucintai
Tanpa dia tahu, tanpa aku ragu
***
13 maret 2012
Pagi hari ini Irham sudah ada di depan rumah Dira
untuk menepati janjinya, yaitu mengantar Dira mengikuti
sidang. Pak Herman mempersilahkannya untuk masuk.
Dira sendiri belum terlihat di lantai bawah rumahnya, dia
masih sibuk mempersiapkan diri di kamar.
“Ayaaaah.. apa aja yang harus dibawa?” Teriak
Dira yang kebingungan, dia belum mengerti bagaimana
sidang itu akan berlangsung.
“Naiklah ke atas, bantu dia!” Ucap pak Herman
kepada Irham.
87
Irham sempat ragu untuk melangkahkan kakinya.
Ada apa di atas? Belum apa-apa dia sudah gugup duluan.
Perlahan dia mulai melangkah. Tiap anak tangga terasa
sangat berat untuk didaki. Semakin dekat rasanya semakin
menjadi. Irham mencoba menenangkan dirinya.
“Ehm,” Irham mencoba memberi tanda
kedatangannya. Namun hanya sedikit suara yang bisa dia
keluarkan. Dia berdiri tepat di pintu yang menganga.
Menatap Dira yang sedang berdiri di balik pintu lemari
yang terbuka.
Mendengar ada suara seseorang, Dira menoleh dari
balik pintu lemari itu, “hai! Gimana kabarnya?” Tanya
Dira. Kali ini dia canggung menghadapi laki-laki, sangat
canggung tepatnya. Mungkin karena Irham terlihat sangat
gagah dengan pakaian polisinya itu, berbeda dengan lakilaki
biasa. Dan Irham sekarang ada di depan kamarnya.
“Baik,” jawab Irham. “Kamu?” Dia menatap Dira.
Dira menutup lemarinya, lalu berdiri berhadapan
dengan Irham. Kikuk sekali suasananya, “udah lumayan
sembuh. Mau duduk dulu, atau ... Kita langsung
berangkat?” Dira terbata. Irham kembali diam mendengar
pertanyaan itu, Dira juga terlihat canggung.
Mereka terdiam cukup lama. Entah apa yang
mereka pikirkan. Mungkin keduanya tengah mengingat
kejadian malam itu, atau mencoba saling membaca hati
masing-masing, “jadi, apa aja yang harus dibawa?” Tanya
Dira sambil merapihkan rambutnya yang berantakan.
“Mmm, cukup bawa uang seratus ribu.”
Dahi Dira mengkerut.
88
“Untuk bayar denda kamu,” jelas Irham.
“Ooh, jadi kena denda aja ya? Ugh! Tadinya aku
kira bakal masuk penjara!”
Irham tertawa mendengar ucapan Dira. Di atas
ranjang sudah ada sebuah koper kecil dan baju-baju yang
berantakan. Mungkin dia mengira bahwa dia akan benarbenar
masuk penjara. Dira terlihat malu, dia berpikir
sejenak, pantas saja ayahnya juga terlihat santai-santai saja.
Tak jauh dari Dira yang mengembalikan bajunya
ke dalam lemari, Irham berusaha menahan tawa dengan
memalingkan wajah dan menutup bibirnya.
Dira tersenyum kecil.
“Kalau kelakuan kamu yang kemarin itu
dilaporkan, pasti kamu masuk penjara,” ucap Irham dengan
penuh canda. Suasana mulai mencair.
“Ih, jangan dooong! Gitu aja marah sih, Pak bos!”
Dira membalas dengan canda pula. “Pokoknya kalau aku
dipenjara, aku bakal kejar kamu buat balas dendam! Kan
gara-gara kamu juga aku kena tilang!” Wajahnya dibuat
seram dengan mata yang melotot, namun malah menjadi
lucu. Intinya; tidak mau kalah argumen meskipun
kenyataannya dia yang salah. Manja.
Irham menahan gelak tawa yang tertahan di
perutnya, “haha. Salah siapa? Salah yang gak bawa SIM lah.
Tapi, aku juga gak mau kalau kamu masuk penjara. Nanti
jalanan malah jadi sepi.”
“Iih, malah ngetawain!” Balas Dira. Di sela
tawanya, dia mencoba menerka maksud perkataan Irham
itu. “Jalanan malah jadi sepi, mmm, maksudnya?” Dia tidak
89
mau salah mengartikan kalimat terakir itu. Mereka kembali
hanyut saling tatap. Hening.
“Ya sudah, ayo berangkat,” Irham menundukkan
pandangannya.
Dira menyuguhkan senyuman manis. Lucu dan
ceria meliuk di antara tatapan mereka. Mereka menuju
sidang dengan semangat. Sidang yang tadinya akan
menyeramkan, kini akan menjadi sebuah kegiatan yang
sepertinya akan menyenangkan. Dia diantar oleh seorang
polisi yang gagah, yang pernah menolongnya dari
kecelakaan, yang punggung hangatnya pernah jadi tempat
bersandar.
***
Sidang berjalan dengan lancar. Dira dikenai denda
Rp. 45.000 dan mendapatkan kembali STNK motornya.
Mereka keluar dari ruang pengadilan, berjalan menuju
motor, lalu Dira membuka percakapan, “kenapa kamu mau
nganter aku ke sini? Padahal pas aku ditilang kemaren,
kamu keliatannya marah banget,”
“Ini tugasku, membantu masyarakat. Dan ada
saatnya memang kita harus tegas meskipun tidak mau.”
Dira kembali berpikir lama untuk mencerna
perkataan Irham. Dira merasakan kelembutan di tiap katakata
Irham, namun juga ada banyak makna yang terlalu
takut dia tafsirkan. Salah-salah justru akan menjadi
kekecewaan baginya.
“Oh, iya. Kamu sendiri kenapa tidak diantar pacar
kamu?” Irham menggaruk belakang kepalanya, merasa malu
menanyakan hal itu.
90
Dira menoleh ke arah Irham, memasang wajah
seriusnya, “apa pertanyaan itu juga termasuk tugas kamu?”
Dira bertanya sesuatu yang membuat Irham
semakin gelagapan. Irham terdiam. Dia bingung, tidak tahu
harus menjawab apa. Dia berusaha menyembunyikan wajah
paniknya. “Pertanyaan” yang tadi pastinya sudah diluar
tugas seorang polisi. “Kamu sendiri kenapa tidak diantar
pacar kamu?” Ah, apa yang sudah aku katakan! Bodoh.”
Ada rasa sesal ketika mengutarakan pertanyaan itu. Dia
kembali merasa dikalahkan Dira.
“Kok diam?” Lanjut Dira. Dia tertawa kecil,
terlihat memang sengaja mempermainkan Irham. “Hihi..
maaf tadi aku cuma bercanda kok. Aku gak punya pacar.
Makanya terpaksa aku mau diantar sama kamu. Haha.”
Jawab dira dengan penekanan pada kata ‘terpaksa’, dia
tertawa dengan lepasnya.
“Ooh,” Irham tersenyum mendengar jawaban itu.
Malunya sedikit berkurang, “terus kalau boleh saya tahu,
kemarin itu siapa? Yang nganter kamu kuliah. Maaf saya
ini banyak tanya,” lanjut Irham.
“Oh, yang itu... Dia itu temen kuliah. Tanganku
kan lagi sakit, makanya aku ikut dia,” Dira terhenti sejenak,
“eh, cara ngomong kamu jangan terlalu formal ya, bisa kan?
Biasa aja gitu, ‘aku-kamu’, atau ‘gue-lo’ juga gak apa-apa,”
sambungnya.
“Oke.. bisa kok, tapi butuh penyesuaian.”
“Iya, aku dengernya aneh,” balas Dira. “Aiiih,
beneran kaku deh ini orang.. tapi lucu juga,” Dira senyamsenyum
sendiri.
91
Irham tersenyum, hatinya kembali berbunga setelah
menemukan kembali mata air kebahagiaannya. Beberapa
hari ini dia sempat layu. Dira baik-baik saja, bahkan
sekarang mereka makin akrab. Tak lama kemudian Irham
menghidupkan mesin motornya. Dan percakapan tetap
berlangsung. Banyak pertanyaan di antara keduanya yang
ingin masing-masing utarakan, meski kadang rasa canggung
masih saja mengekang.
“Gimana rasanya jadi polisi?” Tanya Dira yang
duduk di jok belakang. Dia menatap Irham dari belakang,
mengingat malam itu ketika dia nyaman sekali tertidur di
punggung Irham. Kali ini dia duduk menjauh, karena
merasa belum pantas terlalu dekat. Kejadian kemarin terjadi
karena ketidaksengajaan, saking lelahnya hingga dia tertidur
begitu saja. Rasanya ingin kembali memeluk punggung itu,
tapi siapa dia? Itu tidak mungkin. Melakukan itu sama saja
dengan menghina seragam polisi yang tengah dipakai
Irham, baginya.
Irham lama tak menjawab pertanyaan Dira. Suara
Dira terasa sangat dekat di telinga Irham karena suara
motor yang dipacu pelan. “Mmm, ada enaknya, tapi ada
pahitnya juga kadang.” Jelas Irham.
“Capek gak?”
“Badan sih capek, tapi senang kalau bisa membantu
orang lain.” Irham berpikir sejenak, “eh! Kakak kamu di
mana? Kamu punya kakak kan?”
“Kakakku ada dua, sekarang ada di Bandung. Yang
satu jadi tentara. Satunya lagi masih kuliah, sambil ngajar
juga,” jelas Dira.
92
“Maaf, kalau boleh tahu. Ibu kamu di mana?”
“Ibu,” Dira menghela napas, “ibuku udah gak di
rumah.”
Irham terkejut mendengar ucapan Dira, dia merasa
bersalah karena telah membuat suasana hati Dira menjadi
tidak baik.
“Maaf,” ucap Irham dengan pelan.
“Kenapa minta maaf? Maksudku dia masih hidup,
tapi udah gak tinggal bareng aku lagi.”
“Oh, kenapa?”
“Cek-cok... Waktu itu ayah baru keluar dari TNI,
ayah sakit-sakitan. Aku kurang tahu lagi gimana
lengkapnya. Tiap hari ibu sama ayah sering berantem,
sampai akhirnya mereka pisah tempat tinggal. Yang aku
tahu mereka belum cerai, ibu masih sering datang ke
rumah.”
“Yang sabar ya,” Irham menenangkan Dira.
“Iya, gak apa-apa. Aku mulai terbiasa kok.”
Seiring motor yang melaju perlahan, mereka
semakin menemukan keakraban. Perlahan-lahan Irham
tidak lagi kaku menghadapi Dira meski sedang memakai
seragam polisinya, dia lebih tenang dan menilai Dira
sebagai orang yang sudah dekat dengannya. Kata demi kata
mengalir selayaknya perbincangan muda-mudi yang tengah
dibuai cinta, bukan lagi seperti antara polisi dan pelaku
kejahatan.
93
BAB 10
Berkorban
15 Maret 2012
“Satu demi satu pejabat Perpajakan kotor diseret
ke meja hijau. Namun masih belum menyentuh deretan
para petingginya, belum pula menyeret perusahaanperusahaan
yang terlibat, padahal keterlibatan mereka
sudah tercium jelas...”
“KPK pasti gak berani kalau sudah sampai sini,”
ucap pak Herman.
Fajar pagi itu juga sudah ada di rumah Dira. Dia
duduk di samping pak Herman yang sedang menonton
berita pagi. “KPK bersih, tapi mereka tidak cukup berani
untuk menyentuh kalangan atas. Seperti kutu yang coba
membunuh anjing, rasanya cuma gatal,” balas Fajar.
“Mungkin bisa, jika kutunya bekerja sama. Tapi
masalahnya di negara ini, kutu sama kutu juga berantem.”
Pak Herman membalas permainan analogi yang
disampaikan Fajar.
“Mungkin sudah saatnya bakteri yang bergerak ya,
Om. Kita sudah terlalu lama diam. Bisa-bisa bangsa ini
hancur oleh keserakahan mereka.”
“Kamu sepertinya senang juga memperhatikan
perkembangan negara ini. Tapi jangan terburu-buru, jangan
94
terlalu bersemangat. Kita dukung saja KPK untuk
menumpas para penjahat itu! Berbaik sangka saja dulu lah
sama KPK.”
“Hmm.. kami selalu mendukung orang-orang itu
untuk membersihkan bangsa ini. Kami rindu pemimpin
yang benar-benar memimpin, bukan cuma pemimpin yang
mengisi tahta dengan pantat dan perut, tapi tanpa otak dan
hati,” terang Fajar dengan lantangnya.
“Kamu bicara seakan kamu paling benar. Tapi
semoga saja kamu memang benar dan tulus. Saya akui,
orang tua seperti saya ini sekarang cuma bisa mencerca,
beda dengan kalian, para pemuda yang masih segar!”
Fajar terdiam mendengar ucapan itu. Percakapan
itu membuat Fajar semakin merasa akrab dengan ayah Dira,
terlebih lagi ternyata mereka ada dalam fokus yang sama,
yaitu memperhatikan perkembangan politik dan
pemerintahan.
“Ngomong-ngomong, Dira kemana ya? Kok belum
turun juga?” Tanya Fajar.
“Iya ya? Mmm, mungkin masih siap-siap.” pak
Herman pun heran karena Dira belum juga turun.
Di kamarnya yang nyaman, di atas kasur yang
empuk dan hangat, Dira masih tertidur lelap, padahal jam
digital kecil di atas meja itu sudah menunjukkan angka
08.05. Dia sempat bangun, namun hanya mematikan alarm
bisingnya. Dia merasa sangat malas untuk bangun pagi itu.
Terlebih lagi hari ini dia harus belajar mata kuliah yang
kurang dia sukai.
“Tok tok tok..” Pintu kamar diketuk.
95
“Diraa... Kamu belum bangun?” Tanya Ayahnya.
“Hmm..”
“Di bawah ada Fajar, dia nungguin kamu tuh!”
“Bilang aja aku gak kuliah, Yah. Aku lagi males.”
Jawab Dira dengan nada malas.
“Eh! Kamu ini! Dia udah capek buat nyampe sini,
kok kamu malah seenaknya ngomong begitu. Ayo turun!”
Tegas Ayahnya.
Dira kaget mendengar ucapan ayahnya yang
terdengar sangat serius. Dia berpikir cukup lama dan
akhirnya dia membuka matanya.
“Iya, Ayah. Aku bangun! Uuughh, pagi-pagi udah
kena marah!” Dira bangkit, lengkap dengan bibir
manyunnya. Bersiap untuk kuliah. Ada kesal yang merusak
suasana hatinya, bentakan ayahnya tadi berhasil
membuatnya bangun, namun tidak berhasil membuatnya
bersemangat.
Pagi itu matahari pagi sangat cerah. Namun Jakarta
bukanlah Bali. lalu lintas yang sangat ramai, debu-debu
yang bertebaran, asap knalpot yang hitam, membuat cahaya
matahari itu terasa tidak menyenangkan. Panas. Dira
terpanggang di atas kendaraan yang berjalan pelan karena
kemacetan.
Sesampainya di kampus, Fajar mengantar Dira
sampai ke ruang kelasnya. Di sana sudah ada Novi dan
teman-teman Dira yang lainnya. Mereka memperhatikan
Fajar dan Dira yang berdiri di dekat pintu.
“Kamu pulang jam berapa hari ini?” Tanya Fajar.
96
“Gampang Jar. Nanti aku SMS kamu kalau udah
bubaran,” jawab Dira.
“Oke. Yang semangat ya belajarnya!”
“Sip!”
***
Jam 01.32 Siang.
Dira sudah selesai kuliah. Seperti janjinya pada
Fajar, dia pun langsung memberi kabar lewat SMS.
“Jar, aku udah kelar.”
Di tempat lain, Fajar sedang dalam kuliah, dan
Dosen sedang menerangkan pelajaran tak jauh dari
tempatnya duduk. Fajar membaca SMS dari Dira dan
dihadapkan pada situasi yang lumayan membingungkan.
Pelajaran masih berlangsung, namun dia harus mengantar
Dira pulang. Tidak mungkin membiarkan Dira, karena dia
sudah janji untuk mengantarnya, terlebih lagi Dira sedang
sakit. Namun meninggalkan kuliah juga pilihan yang sangat
sulit baginya.
Setelah beberapa menit berpikir, Fajar akhirnya
berdiri dari tempat duduknya, lalu menghampiri dosennya.
Dosen yang dikenal sangat dingin. Skeptis terhadap
terhadap mahasiswa, terutama kepada para mahasiswa
penggiat demonstrasi seperti Irham.
“Pak, saya ijin keluar sebentar,” ucap Irham.
“Ke mana? Mau demo?” Tanya dosen sinis.
“Mau nganter pulang temen saya, Pak.”
“Loh, alesan kamu ini lucu sekali. Jadi kamu
meninggalkan kuliah ini cuma untuk ngantar temen kamu
97
pulang? Pelajaran yang saya berikan ini mahal lho harganya,
kamu jangan menyepelekan saya. Seberapa penting temen
kamu itu? Apa dia tidak bisa pulang sendiri?”
Mahasiswa lain yang ada di ruangan itu terdiam
mendengar ucapan lantang dari dosen. Wajah mereka
berubah menjadi sangat serius, mata mereka langsung
tertuju pada Fajar dan dosen yang sedang berada di depan
kelas. Beberapa anak bahkan terlihat ketakutan dengan
ucapan dosen itu.
“Pelajaran bapak sangat penting, Pak. Tapi,
mengantar dia juga penting, Pak, dia sedang sakit jadi tidak
bisa pulang sendirian. Saya lebih memilih meninggalkan
kuliah ini, karena saya yakin bapak lebih bijaksana dari
dia.”
“Bohong tuh, Pak! Dia mau nganter ceweknya!”
Celetuk seorang teman Fajar yang memang punya kebiasan
ceplas-ceplos. Beberapa orang terlihat menahan tawa. Dan
Fajar makin mendapati perasaan yang tidak menenangkan.
Entah apalagi yang ada dipikiran dosen itu tentangnya.
“Ya sudah! Jangan ganggu saya terlalu lama!” Ucap
Dosen tersebut.
“Terima kasih, Pak! Saya akan segera kembali ke
kelas,” Fajar meninggalkan ruangan itu menuju Dira.
Fajar sangat sadar bahwa kuliah merupakan hal
yang penting. Ketika harus ikut berdemo pun sebisa
mungkin dia tidak meninggalkan kuliah. Jika memang
keadaan mengharuskan dia meninggalkan kuliah, maka
dengan segera dia mengejar ketertinggalannya dengan
menemui dosen atau belajar dari teman-temannya.
98
Dia bergegas menjemput Dira di kelasnya. Jalanan
siang itu tidak macet, sangat mendukung ketergesaan Fajar
untuk mengejar kuliahnya kembali. Dia meliuk di antara
kendaraan lain.
“Jar! Jangan kenceng-kenceng!” Ucap Dira yang
ketakutan. Sedang tangannya tanpa sadar juga sudah
memeluk Fajar.
“Bukannya kamu juga sering kebut-kebutan?”
Tanya Fajar seraya menurunkan kecepatan motornya.
“Iya. Tapi aku kurang percaya kalau orang lain
yang bawa. Aku takut...” Lirih Dira.
Fajar sangat mengerti keadaan Dira, namun ini
justru mempersulit keadaannya. Saat ini Dira memang
sedang sakit, terlebih lagi sakitnya itu karena sebuah
kecelakaan yang berawal dari kebut-kebutan. Sangat masuk
akal jika Dira gemetaran ketika dibawa ngebut oleh Fajar.
Namun, ada kuliah yang harus dia kejar. Dia mencoba
tenang.
Akhirnya dia korbankan waktunya dengan
memperlambat laju motornya. Dan mengantarkan Dira
dengan selamat hingga rumahnya.
“Maaf tadi aku bikin kamu takut,”
“Iya. Jangan ngebut lagi ya, Jar!” Dira tersenyum.
“Terima kasih...” Fajar membalas senyum Dira,
lalu bergegas kembali ke kampus.
Dia memacu motornya dengan kencang, berusaha
mengejar kuliah yang tadi dia tinggalkan. Dia sadar bahwa
“agen perubahan” harus lebih baik dari keadaan yang
99
dihadapinya. Seorang yang ingin merubah bangsa, harus
lebih baik dari keadaan bangsa itu sendiri. Tidak mungkin
bisa merubah bangsa yang malas, jika dia sendiri masih
malas untuk belajar dan berusaha. Tidak mungkin merubah
bangsa yang tertidur, jika dia saja masih bangun kesiangan.
Tidak mungkin merubah bangsa, jika dirinya tidak punya
kemampuan. Tidak mungkin me-manage bangsa, jika dia
sendiri masih mencontek ketika ujian. Banyak alasan agar
dia menjadi pribadi yang lebih baik. bangsa ini butuh orang
pintar dan jujur, karena itu dia sebisa mungkin untuk
menjadi seorang yang terus berusaha menjadi lebih baik.
Lampu merah membuatnya kesal, dua menit terasa
sangat lama dan berharga. Dosen itu pasti sudah
mencurahkan banyak ilmunya. Fajar melewatkan tiap detik
penuh kesadaran bahwa dia tertinggal oleh yang lain.
Ketika lampu hijau menyala, itu menjadi tanda bahwa
motornya harus dipacu lebih kencang. Dia sangat ingin
memenuhi janjinya pada dosen itu, bahwa dia akan kembali
masuk ke kelas.
Dia memacu motornya dengan lebih kencang,
membelah lalu lintas siang itu.
Sesampainya di kampus, dia berlari meniti anak
tangga. Dengan terengah-engah dia sampai di pintu kelas.
Namun sesampainya di kelas, yang ada hanya kursi kosong
tanpa seorang pun di sana. Dia melihat jam tangannya,
ternyata memang waktu kuliah sudah habis. Tinggal
kecewa dan rasa malu yang menggelayutinya.
100
101
BAB 11
Antar Aku
23 Maret 2012
Hari-hari berjalan seperti biasa. Dira masih harus
berangkat kuliah bersama Fajar. Dan ketika melewati Irham
di jalan, dia pasti menoleh dan memberi senyuman. Fajar
sendiri tidak tahu akan hal itu. Keadaan Dira pun semakin
hari semakin membaik. Bahkan dia sudah mulai
menunggangi motornya kembali, meski belum berani untuk
jarak yang jauh.
“Hari ini akan terjadi enam demonstrasi di
Jakarta, beberapa di antaranya kemungkinan besar akan
menimbulkan kemacetan lalu lintas. Para pengguna jalan
diharap agar menjauhi titik-titik tersebut dan mencari jalur
alternatif, di antaranya..”
***
Jam 09.14 Pagi.
Dira mengendarai motornya, meski harus sedikit
memaksakan tangannya yang belum benar-benar sembuh.
Dia berangkat kuliah sendiri, karena pagi ini Fajar harus
memimpin demonstrasi lagi. Sebuah demonstrasi yang
sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, sehingga Fajar
102
lebih memilih memimpin demo itu dibandingkan
mengantar Dira.
Baru tiga atau empat kilometer berangkat dari
rumahnya, tangannya sudah terasa sakit, dia belum benarbenar
pulih. Akhirnya Dira memutuskan untuk menepi. Di
bahu jalan dia memarkir motornya. Dia sendirian dan
sudah kehilangan semangat untuk kuliah. Tangannya
benar-benar sakit dan tidak mungkin melanjutkan
perjalanan.
Dia ingin pulang, namun kebingungan akan apa
yang harus dilakukan. Tidak bisa mengendarai motor, juga
tidak mungkin meninggalkan motornya dan pulang dengan
angkot. Yang dilakukannya hanya meringis di pinggir jalan.
Duduk diatas trotoar yang berdebu.
“Butuh bantuan, Pak?” Tegur seseorang yang
datang dari samping kanannya.
“Tidak usah. Saya sedang istirahat,” jawab Dira
sambil perlahan membuka sarung tangan dan kaca helmnya.
Dia lalu memegang tangannya yang terasa pegal di
persendian. Dia cuek, dipanggil “Bapak” itu sudah biasa
baginya, penampilannya memang sering mengecoh.
“Saya bisa antar bapak kuliah, kalau bapak
bersedia,” ucap orang itu.
Dira merasa mengenali suara itu. Dia mengerutkan
dahi, lalu menoleh ke arah orang itu, “Irham! Kok ada di
sini?” Tanya dira, rasa heran bercampur dengan senang.
“Sepanjang jalan ini adalah tanggung jawabku.
Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu duduk di sini?”
103
Kali ini Dira membuka helmnya, “tanganku sakit.
Makanya aku istirahat dulu di sini.”
“Mau aku antar pulang? Atau aku antar kamu
kuliah?” Tanya Irham.
Dira merasa sangat bahagia mendengar tawaran itu.
Jantungnya berdegup kencang. Sekali lagi dia akan lebih
dekat dengan Irham. Berbincang tentang hidup mereka
masing-masing, ah, menyenangkan. Mereka masih saja
canggung untuk bertemu di luar keperluan yang benarbenar
penting. Momen seperti inilah kesempatan mereka
untuk melepas beban kerinduan. Kerinduan yang masih
disembunyikan oleh keduanya.
Tidak ada ucap rindu atau sayang, meski mereka
sebenarnya saling menginginkan. Begitulah cinta sering
menyandera manusia. Lidah pun terkadang masih terlalu
kaku meski tak bertulang, karena cinta itu sangat halus dan
lembut.
Dira menatap Irham, “tolong antarkan aku ke
kampus, Ham.” Ucapnya.
“Siap!” Balas Irham.
Irham mengantar Dira menggunakan motornya,
sedangkan motor Dira kembali dititipkan di pos polisi.
Ketika mereka tiba di kampus, mereka melewati
jalan di depan kampus Dira, ternyata masih banyak orang
yang berkumpul di sana. Sepertinya mereka belum
berangkat berdemo. Lalu mereka masuk melewati halaman
kampus, di sana ada Fajar yang sedang menyemangati
teman-temannya, di sana juga ada Novi yang akan ikut
berdemo untuk yang pertama kalinya.
104
“Kenapa ada polisi ke sini?” Tanya heran seorang
mahasiswa kepada teman-temannya.
“Siapa orang itu?” Fajar melihat Dira yang
dibonceng dengan tenangnya. Hatinya mulai mendugaduga
tak tenang. Orasinya pun sempat terhenti. Motor itu
berhenti di depan gedung fakultas. Fajar memperhatikan
orang yang membawa motor itu, namun dia mendapati
kekecewaan karena orang itu tidak melepas helmnya.
Di tempat lain, Irham dan Dira sedang berbincang.
“Kamu pulang jam berapa?” Tanya Irham.
“Mungkin jam 2 siang. Kenapa?” Balas Dira.
“Aku bisa jemput kamu. Jam dua itu jalanan belum
amburadul, jadi aku leluasa. Daripada aku malas-malasan di
pos, lebih baik aku bantu kamu pulang kan?” Ucap Irham
sambil mencari-cari kata yang tepat untuk diucapkan.
“Wah! Baguslah. Aku juga udah mikirin gimana
nanti aku pulang. Makasih banyak ya, Pak!” Dira
tersenyum. Baru beberapa langkah dia berjalan menjauh
dari Irham, dia membalikkan badan kembali, “oh, iya,
mungkin aku harus punya nomer kamu, supaya nanti
mudah dihubungi,” Dira sedikit terbata.
Irham semakin senang mendengar kata-kata itu.
Dia merasakan bahwa dia akan semakin dekat dengan Dira.
Tanpa berlama-lama, dia langsung menyebutkan nomer
ponselnya.
“Terima kasih banyak, Pak Irham!” Ucap Dira,
Dia tersenyum dan berlalu masuk ke dalam kampus.
***
105
Jam 07.25 Malam.
Malam ini Dira mengistirahatkan badannya yang
kelelahan. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang dan
mengingat kembali kejadian seharian tadi, yang begitu
berkesan. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Ada
telepon dari Novi.
“Hey! Sombong ya sekarang,”
Dira tertawa kecil, “siapa yang sombong woo...
Aku kan lagi sakit, masak harus ikut kamu jingkrakjingkrak?!”
Balas Dira.
“Eh, yang tadi pagi itu siapa? Keren deh kamu, Ra.
Diboncengin polisi gitu. Aku juga mauu...”
“Oh, itu... Dia itu temenku.”
“Nanti kenalin ke aku yaa, hehe ... Eh, iya, Ra!
Tadi aku ikutan demo! Uaaaargh.. Capek banget! Lemes
rasanya. Tapi asik lhoo...”
“Aduuh. Ngomongnya pelan-pelan deh, Nov. Tadi
pagi itu bukan siapa-siapa, Haha. Eh gimana kabar idola
kamu yang baru itu?” Dira mengalihkan pembicaraan.
“Aku makin akrab lho sama dia. Tadi pagi juga
kan aku demo bareng dia, asik banget lah pokoknya.”
“Pantesaaan semangat! Ternyata, ckck ... Kamu
bareng Fajar gak tadi pagi?”
“Bareng sih, tapi pas demo kepisah gitu. Kan
gabung sama anak kampus lain juga, Ra. Kenapa
emangnya? Kayaknya ada yang mulai kecantol nih. Haha,”
“Ooh... Gak kok, cuma nanya aja. Haha,”
“Tuuut...”
106
Obrolan itu terhenti tiba-tiba. Ditutup seenaknya
oleh Novi, atau mungkin diputus oleh operator selular
yang memang unik dalam ‘memuaskan’ para pelanggannya.
Beberapa menit kemudian ponsel Dira kembali
berdering. Dira terkejut melihat nama “Irham” di layar
ponselnya. Ada senang juga sebenarnya, penasaran, ada apa
malam-malam seperti ini Irham mengirim SMS.
“Malam dira. Maaf kalau aku ganggu. Gmana
keadaan kamu?”
“Udah mkin baik kok. Kamu lg apa? Mksih bgt ya
tadi udah mau ngnterin. Hehe...” balas Dira.
“Iya, senang bisa mmbantu. Aku lagi tiduran.
Besok kamu brngkat diantar siapa?”
Dira berpikir cukup lama untuk membalas SMS
Irham. “Besok ya? Mungkin sama Fajar,” balasnya.
Irham kecewa membaca SMS Dira. Dia kecewa
karena ternyata esok hari dia akan kembali menatap Dira
dari pinggir jalan, “oh, sama Fajar... Syukurlah. Ya sudah.
Slamat istirahat ya. Maaf ganggu..”
“Iya.. skali lg mkasih.”
Irham membalas SMS Dira dengan sebuah puisi
yang dia buat. Dia sempat ragu untuk mengirim puisi ini,
namun, dengan segenap kekuatan mental dan pertaruhan,
akhirnya dia menekan tombol “Send” itu.
Duhai gadis, kita sebaya
Jangan kau panggil layaknya aku Ayahmu
Jangan kau panggil layaknya aku Tuanmu
107
Meleburlah bersama hasratku..
Rasa apa yang kupunya saat ini?
Aku menerka namun tetap tak percaya,
Benarkah rasa ini milikku?
Ataukah ini milikmu yang tertinggal?
Karena ini asing bagiku..
Selamat tidur, gadis..
Jangan kau terka apa arti ini?
Karena aku pun tak pahami diri
Namun jangan pula acuh terhadapnya!
Karena hati telah payah menyampaikannya
Dira membaca puisi itu. Dia tersenyum. Dia
belajar memahami rasa yang menggelayut di hatinya, itu
sangat indah. Mungkinkah dia jatuh cinta? Ataukah ini
cuma rasa suka yang numpang lewat? Matanya terus
menatap dan membaca SMS itu berulang kali, mengingat
Irham, hingga akhirnya dia tertidur pulas.
***
27 Maret 2012
“Harga cabai mengalami kenaikan cukup tinggi,
hari ini sudah menyentuh angka enam puluh tiga ribu
rupiah per kilogram. Kenaikan ini kemungkinan besar
disebabkan oleh gagal panen yang berakibat langsung pada
berkurangnya pasokan cabai di pasar..”
108
“Tebak-tebakan yuk! Beberapa minggu ke depan,
pasti cabe impor yang masuk lebih banyak,” ucap pak
Herman yang pagi itu sudah duduk bersama Fajar. Dia
sudah semakin akrab dengan Fajar yang sering datang ke
rumahnya.
“Oke, tebakan saya, nanti cabe impornya lebih laku
dibanding cabe lokal.”
“Haha... Terus beberapa bulan ke depan, petani
terong berubah menanam cabe. Lalu rugi karena cabenya
tidak laku,” pak Herman tak mau kalah.
“Ya, begitulah, Om. Kita biarkan berjalan.
Pemerintah pun tidak boleh mengganggu mekanisme itu,
meski merugikan rakyatnya,” ucap Fajar. Ada tawa dalam
percakapan mereka, namun mereka menyembunyikan
kesedihan atas keadaan bangsanya saat ini.
Kenyataannya memang bangsa ini tengah dalam
kemerosotan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tak
juga mampu bangkit. Kapitalisme; simple-nya adalah
perekonomian yang dikuasai oleh para pemilik modal.
Pemerintah tidak ikut campur dalam pasar, dan
menyerahkan rakyat yang miskin menjadi batu pijakan para
pengeruk kekayaan bangsa. Yang bertahan adalah yang
punya banyak modal. No capital? You die!
“Jar! Ayo berangkat! Jangan ngobrol terus!”
Teriak Dira yang sudah berdiri di dekat pintu.
“Yaah, kamu ini ganggu aja sih,” sela ayah Dira.
“Ya udah, kalau gitu ngobrol aja terus! Aku
berangkat sendiri!” Dira berjalan dengan cepat. Lagi-lagi
dia merasa kesal pada perkataan ayahnya.
109
“Eh, eh, sabar dong nyonya,” Fajar bangkit dari
sofa, “besok kita sambung lagi, Om, diskusinya.”
“Oke! Hati-hati di jalan. Jangan kebut-kebutan!”
Fajar berhenti sejenak, dia lalu menoleh ke arah
ayah Dira, “salah tuh! Harusnya, yang sabar ya di jalan,
jangan marah sama kemacetan,” ucap Fajar penuh canda.
Mereka berdua terbahak. Sedang tak jauh dari pintu rumah,
Dira sudah menunggu dengan wajah kesalnya. Semakin
siang, jalanan pasti akan semakin macet pikirnya.
Fajar tersenyum pada Dira, “ayo berangkat!”
Baru saja melangkah berapa meter menuju motor,
Dira menyadari ada luka di wajah Fajar. Lebam yang cukup
besar dan terbuka tanpa perban. “Muka kamu kenapa, Jar?”
“Biasa ... Polisi!” Fajar berjalan menuju motor.
“Polisi?” Dira heran.
“Iya. Pas demo kemaren itu aku kena pukul.”
“Kok polisi kasar begitu? Aku gak percaya ah!
Mungkin kamu yang kasar duluan sama mereka. Makanya
mereka begitu ... Sakit gak?”
“Aku berusaha untuk menyampaikan pendapat, eh
disambut sama polisi yang memang dilatih buat mukulin
orang. Ya beginilah jadinya. Udah ah, gak apa-apa, ayo
naik, ini udah makin siang.”
“Ih, kamu nih! Aku nanya serius, jawabnya begitu.”
“Beneran gak apa-apa kok. Aku sering begini.”
Dira lalu naik ke atas motor Fajar. Muncul rasa
khawatir dalam diri Dira. Dia tidak lagi terlalu acuh pada
110
Fajar. Dengan sendirinya perhatian itu muncul perlahan
tanpa dia sadari. Wajahnya sedikit muram pagi itu.
“Senyum dulu ah. Kalau kamu gak senyum.
Motornya gak mau jalan!” Ucap Fajar.
“Astagaa.. Gombalnya ini anak!”
“Apaan sih gombal? Aku serius, motorku ini bahan
bakarnya semangat, dan semangatku itu datangnya dari
senyum kamu.”
“Aduh... ya udahlah, daripada tambah lama. Nih
aku senyum!” Dira tersenyum dengan lebar.
Dalam hatinya, dia mulai tersentuh dengan katakata
Fajar. “Gombal” itu terasa kebohongan jika hati tanpa
cinta, namun akan menjadi romantisme jika cinta sudah
mendahuluinya. Dira merasa banyak kelembutan dalam diri
Fajar. Lagi-lagi hatinya tersentuh kebaikan seorang lelaki,
setelah sebelumnya dia juga tersentuh oleh kebaikan Irham.
Pagi itu mereka melaju dengan perlahan, karena
memang tidak bisa melaju cepat. Lalu lintas pagi yang
dipenuhi para pelajar, pekerja, semua berbaur di jalanan
sempit Ibu Kota.
***
02 April 2012
“Harga kacang kedelai ikut mengalami kenaikan.
Banyak produsen tahu, tempe dan susu kedelai yang
kebingungan menghadapi kenaikan harga ini..”
“Kedelai dapat impor. Kalau di negara asalnya
gagal panen atau produksinya turun. Ya, imbasnya bakal
begini juga, pasokan turun, harga naik. Kenapa gak tanam
111
yang banyak aja sih. Tanah kita subur, anak IPB pinterpinter.
Pada kemana ini?” Celoteh pak Herman.
“Pemerintah kan gak boleh ikut-ikutan jadi petani!
Jadi cuma ngatur regulasi, katanya sih begitu. Nah tambah
lagi, anak IPB gak semuanya jadi petani, Om. Bahkan
sedikit yang terjun jadi petani.” Balas Fajar
“Wah, kalau begini terus, harga tahu pasti
melonjak.”
“Bisa jadi,” jawab Fajar.
Makin hari, makin akrab. Pak Herman tidak
melihat sedikit pun keburukan dari sosok Fajar. Terlebih
lagi, sejauh ini Dira baik-baik saja bergaul dengannya, “Jar,
kamu bisa kalau tiap hari mengantar Dira kuliah?”
Fajar terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari
konteks perbincangannya pagi itu, “kan sekarang juga
hampir tiap hari aku nganter. Maksud Om, gimana?”
“Setelah Dira sembuh nanti, kamu tetep nganter
dia kuliah. Dia kan belum punya SIM tuh, ditambah lagi,
bawa motornya kebut-kebutan terus. Dinasehatin juga
masih begitu. Malah sering ngambek.”
Fajar tersenyum, “dengan senang hati, Om. Saya
bisa mengantar Dira setiap hari. Tapi, Dira-nya mau gak?”
“Nanti Om yang ngomong ke dia.”
Tak lama berselang, Dira turun dari kamarnya.
Sayup-sayup sudah terdengar olehnya obrolan antara
ayahnya dengan Fajar. Namun dia berpura-pura tidak
mendengar, “ayo Jar, berangkat!” Ajaknya.
112
“Mulai hari ini dan seterusnya, kamu diantar sama
Fajar, oke?” Timpal ayah Dira.
“Eh! Apa-apaan ini? Tiba-tiba aja!” Ucap Dira.
“Udah, pokoknya ayah maunya begitu. Nanti
kamu obrolin lagi aja bareng Fajar. Cepet berangkat sana,
jangan sampe telat,” ucap pak Herman yang ingin
mengendalikan Dira dengan cara yang lebih baik. Namun,
kurang adanya saling paham antara mereka, sering
membuat hal kecil berbuah rasa kesal.
Dira manyun, “ih, ya udahlah, terserah!!”
Dira dan Fajar keluar dari rumah, lalu percakapan
kembali terjadi. “Itu idenya siapa tuh?” Tanya Dira.
“Ide apa?”
“Nganter kuliah tiap hari!”
“Ideku, Ra,” tegas Fajar, dia lalu memakai
helmnya. “Aku gak mau kamu bawa motor kalau belum
punya SIM, apalagi kamu sering kebut-kebutan. Lebih
aman kalau aku yang antar kamu kan?”
Tadinya Dira kesal pada Fajar karena mendukung
ayahnya. Namun setelah mendengar jawaban dari Fajar, dia
justru merasa tersanjung, membenarkan perkataan Fajar
dalan hatinya. “Ooh ... Emangnya kamu bisa nganter aku
tiap hari? Gak bakalan demo-demo lagi?” Tanya Dira.
“Ya sebisa mungkin aku bakal nganter kamu dulu
sebelum demo. Gimana? Mau kan?”
“Kita lihat aja nanti kalau aku udah sembuh.”
Dira mencoba menerima keadaannya yang
sekarang; belum punya SIM; sulit mendapat izin ayah.
113
Namun ada Fajar yang baik, mengobati sedikit kesal itu,
menjadikannya suatu kebahagiaan baru. Hari-hari ke depan
akan lekat dengan wajahnya, entah, Dira tidak begitu
memahami perasaan yang dia miliki itu—dia mendapati
Fajar yang makin baik dari hari ke hari. Dan nyatanya,
Fajar yang dulu tetap sama dengan yang sekarang, hanya
saja hati yang terbuka membuatnya berwajah berbeda;
indah.
***
Sore harinya, jam 02.15.
Fajar mengantar Dira pulang. Tepat di seberang
pos jaga Irham, Dira memintanya untuk memperlambat
laju motornya. Fajar heran dengan permintaan Dira itu,
lalu, dia menyadari sesuatu; polisi. Dira pernah diantar oleh
seorang polisi ke kampus. “Ada apa? Nyari polisi itu ya?”
Tanya Fajar.
“Iya, udah lama gak lihat dia.”
“Siapa sih dia itu?” Ada rasa cemburu dalam hati
Fajar. Siapa pun lelaki itu, dia tidak ingin orang itu
mendekati Dira.
“Temen baru, tapi udah lumayan akrab. Pelanpelan
aja ya bawa motornya. Aku mau lihat dia sebentar.”
“Penting ya ngeliatin dia?” Fajar terbakar cemburu.
Dira terdiam sesaat, “penting ya nanya kayak gitu
ke aku? Emangnya kamu siapa?” Ucap Dira pelan. Tapi
ber-impact besar.
114
Fajar seketika terdiam. Dia tidak menyangka Dira
akan membalas dengan perkataan yang sangat menyakiti
hatinya, “kok gitu?” Tanya Fajar pelan.
Dira tidak suka Fajar menanyakan hal itu. Fajar
terkesan ingin mengatur hidupnya. “Udah ah, jangan
dibahas. Aku mau turun di sini,” Dira meminta Fajar untuk
menurunkannya tepat di seberang pos polisi itu.
Dengan berat hati Fajar menghentikan motornya.
Ingin menolak, namun dia tidak mampu. Dira turun,
menghampiri Irham yang sedang duduk santai di bangku
posnya. Fajar melihat Dira menjauh, meninggalkan dia
yang sangat-sangat kecewa; sedih tepatnya. Pikirnya
berkecamuk, entah kenapa Dira bisa selembut dan sekasar
itu pada saat yang sama; dia berlaku lembut pada Irham—
pula berlaku kasar padanya. Dia bersedih, karena berada di
posisi kalah.
Terlalu lama dia memperhatikan Dira, tanpa
sadar, dibelakangnya ada banyak kendaraan yang
membunyikan klakson. Fajar berhenti terlalu lama ketika
jalanan padat, dan itu membuat pengendara lain kesal.
Sadar bahwa sudah saatnya pergi—pemandangan yang
dilihat pun sangat tidak menyenangkan—dia segera
memacu motornya kembali.
Dira menghampiri Irham. Kala itu Irham duduk di
beranda pos jaganya, terlihat berkeringat, dahinya
mengkerut karena kerasnya matahari siang itu. Dira merasa
malu untuk menyapa Irham, namun tidak ada pilihan lain,
karena dia sudah memutuskan untuk turun dari motor
Fajar. Padahal tadinya dia cuma berniat untuk melihat
115
sekilas dari atas motor, sekarang dia justru berhadapan
langsung dengan Irham.
“Hey!” Sapa Dira.
“Eh! Dira... Kok ada di sini? Silahkan duduk.”
Irham tidak menyangka Dira akan datang menemuinya.
“Gimana kabarnya?” Tanya Dira.
“Baik. Kamu sendiri gimana? Sudah sembuh?”
“Masih sakit sih. Sedikit.”
“Ke sini sama siapa?”
“Sama temen,”
“Temennya gak diajak ke sini juga?”
“Dia langsung pulang, tadi aku minta turun di
sini,” Dira tersenyum, berada di dekat Irham membuatnya
bahagia. Ada rasa terlindungi, hangat, dan bersahabat. Dia
sudah lupa kepada Fajar yang baru saja pergi dari
pandangannya.
“Oh, gitu,” Irham menganggukkan kepalanya
“Oh, iya, ayahku nanyain kabar kamu juga tuh.
Kayaknya dia kangen sama kamu,” Ucap Dira yang
kemudian tertawa lepas.
“Waah, beneran?” Irham sangat-sangat senang
mendengar ucapan Dira itu. Selama ini dia sangat ingin
datang ke rumah Dira, atau setidaknya mengirim SMS ke
Dira. Namun rasa canggung masih sering menyelimutinya.
Dia masih kesulitan dalam membuka obrolan, masih sulit
mencari alasan untuk SMS atau untuk datang ke rumah
Dira. Namun jika pemantik sudah dinyalakan, obrolannya
setelahnya pasti akan menyala dengan menggebu.
116
Dira juga sebenarnya menyembunyikan kasus yang
sama. Kesulitan dalam memulai percakapan. Selalu
mencari-cari alasan agar bisa bertemu tanpa harus terlihat
bahwa dia menyukai Irham. Bahkan dia berusaha
membohongi dirinya sendiri.
Dira yang memang besar layaknya anak laki-laki,
selama ini dingin terhadap lelaki. Dan Irham yang tumbuh
besar dalam kedisiplinan, bahkan tidak pernah mencoba
untuk mendekati perempuan, Dira adalah suatu kebetulan
atau mungkin rencana Tuhan, yang pastinya sangat dia
syukuri. Keduanya belum pernah merasakan yang namanya
percintaan. Dan kecanggungan ini masih berlanjut meski
hati mereka sudah terpaut.
“Bener! Main dong ke rumah. Nanti aku bikinin
kopi,” gurau Dira.
“Oke deh. Mungkin akhir pekan ini aku bisa ke
rumah kamu. Tapi aku kurang suka kopi, teh manis lebih
baik. Hehe,”
Dira tersenyum.
“Ngomong-ngomong, kamu sekarang mau pulang
pake apa? Kalau sekarang aku belum bisa nganter lho,”
sambung Irham.
“Oh, gitu. Mmm, gimana kalau aku tunggu kamu
pulang aja. Boleh kan?”
“Boleh. Sangat boleh. Tapi masih satu satu jam
lebih. Gimana?”
“Gak apa-apa, aku juga bisa bantuin kamu ngatur
jalan, kalau boleh...”
117
“Emangnya bisa?” Irham menatap Dira.
“Bisa laaaah. Cuma kayak gitu aja mah keciiil...
Aku udah sering ngeliatin kamu. Hehe,”
“Kalau gitu. Ayo sekarang ikut aku,” Irham
bangkit dan kembali memantau kendaraan yang lalu lalang.
Ketika sore hari tiba, kendaraan mulai ramai.
Irham memulai kegiatannya berdiri di trotoar, bahkan
terkadang harus ke tengah jalan menegur seorang
pengendara bandel agar lalu lintas kembali lancar.
Berbeda dengan sore sebelumnya, sore ini Irham
dibantu oleh Dira, mereka berdua berdiri mengatur
kendaraan yang lalu lalang. Meski tak banyak yang Dira
lakukan, tapi senyumnya sangat berarti, rasa penat itu
hilang begitu saja dari tubuh Irham. Sesekali mereka saling
tatap dan tersenyum. Tingkah dan geraknya lebih
menyemangati lagi, hingga satu jam terasa sangat sebentar.
***
Jam 04.15 Sore.
Mereka selesai dengan tugas di jalanan, dan sudah
siap pulang. Irham melihat Dira hanya memakai jaket tipis,
lalu memakaikan jaketnya yang tebal ke tubuh Dira. Bentuk
perhatian yang sangat klasik, namun tetap memberikan
kehangatan pada siapa pun yang mendapatinya. Pemberian
cinta tak pernah usang, meski kecil tetap terasa manis dan
berkesan.
Kendaraan mulai dipacu, dan untuk pertama
kalinya dalam keadaan sadar, di sore itu, Dira memeluk
Irham. Tanpa rasa canggung, dan tidak sedang tertidur.
Pelukan itu muncul dengan rasa nyaman bersamaan.
118
119
BAB 12
Menolak
04 April 2012
Beberapa hari ini hubungan Dira dan Fajar sedang
tidak baik. Semua itu karena keributan di jalan raya waktu
itu. Dira masih enggan untuk berbaikan dengan Fajar,
padahal Fajar sudah berulang kali meminta maaf.
Jam 07.40 Malam.
Irham sedang membaca buku, di sampul depannya
tertulis judul “The Art Of Happyness”, sedang di
hadapannya ada televisi yang dia biarkan menyala tanpa
ditonton.
“Penegak Hukum di negara kita ini seakan
kesulitan untuk menyelesaikan sebuah kasus. Hanya sebuah
kasus! Diputar-putar sampai rakyat bingung, lalu hilang
begitu saja. Saya sangat yakin, para penegak hukum itu
sendiri juga termasuk pelaku kejahatan! ... Mereka
membuat kejahatan, untuk menutupi kejahatan yang lebih
besar.” Ujar seorang pengamat yang sedang berapi-api
menyampaikan pendapatnya.
Beberapa menit kemudian, sebuah SMS masuk ke
ponsel Irham. SMS itu dari Dira.
120
“Malam. Maaf klo aku gnggu. Lg apa ham?”
“Lagi baca buku. Kamu?”
“Lg tiduran aja di kamar. Aku mau minta tolong
sma kamu.”
“Apa?”
“Aku kan skrg ga boleh bawa motor, jd aku brgkt
kuliah sama temenku.. tp aku ga mau lg dianter sma org
nyebelin itu. Boleh ga aku minta tolong ke kamu..
please..”
“Maksudnya, aku yg nganter kamu kuliah?”
“Iya...”
“Tiap hari?”
“Tiap hari...” Dira membalas.
Irham berpikir lama untuk membalas SMS Dira.
dia tidak mungkin mengantar Dira setiap hari, karena dia
punya tugas yang harus dilaksanakan. Jika di pagi hari dia
harus menjemput Dira ke rumahnya, lalu mengantarnya ke
kampus, lalu baru ke pos jaga, maka dia akan kehilangan
banyak waktu. Begitu juga di sore harinya, dia akan
kehilangan banyak waktu yang seharusnya dia gunakan
untuk melaksanakan tugas utamanya menjaga ketertiban
lalu lintas. Terlebih lagi, Dira sering tak karuan jadwal
pulangnya, jadi sulit untuk menentukan jadwal pasti. Dia
sangat ingin menemani Dira, namun itu tidak mungkin.
“Maaf, aku gak bisa...” Balas Irham.
Setelah mengirim SMS dengan berat hati, Irham
menunggu balasan dari Dira, dan berharap dia tidak terlalu
kecewa. Jawaban dari Dira juga sangat lama.
121
Ketika sebuah SMS masuk, Irham membacanya,
“Oh.. ga bisa ya..” Hanya itu jawaban Dira.
“Kamu ga apa2 kan? Aku bneran ga bisa. Bnyk
kerjaan yg ga bisa aku tinggalkan. Maaf..”
Irham merasa bersalah meski dia yakin telah
mengambil keputusan yang benar. Dia merasa salah karena
dia telah membuat Dira kecewa, namun di sisi lain dia juga
merasa benar, karena tidak mungkin mengorbankan orang
lain (baca: tugas) karena Dira. Di seragam itu terletak
kepercayaan dan pengorbanan dari ibu dan ayahnya, juga
kepercayaan dari institusi tempat dia bekerja untuk
menjaga masyarakat.
“Aku ga apa2 kok. krjaan kamu mmg lbih pnting..
aku paham kok.” Balas Dira.
“Maaf Dira.. Aku benar-benar minta maaf.”
Kata maaf yang Dira baca itu justru membuatnya
semakin malas untuk menatap layar ponsel, dia menindih
ponselnya itu dengan bantal. Sudah susah payah untuk
menulis SMS itu dan mengirimnya kepada Irham. Dia
membuang rasa malu itu, menaruh kepercayaan pada Irham
dengan harapan yang tinggi Irham akan membantunya.
Namun ternyata itu tidak terwujud.
Hanya boneka beruang besar berwarna coklat,
menemaninya malam itu. Entah esok dia berangkat dengan
siapa. Tidak mungkin dengan Fajar lagi. Rasa kesalnya
masih kental. “Kamu mau antar aku besok? Hah?” Dira
berbicara pada boneka itu. Dia lalu menganggukan kepala
besar boneka itu dengan tangannya. “Bagus! Jangan pernah
bohong yah,” sambung Dira berbicara sendiri.
122
123
BAB 13
Tanpa
Teman
05 April 2012
Jam 04.19 Sore.
Langit sedang mendung. Sore itu Irham serius
mengatur lalu lintas, sesekali dia harus mengingatkan
angkot yang berhenti sembarangan dan terlalu lama hingga
mengganggu kelancaran. Dia masih setia berdiri di trotoar,
mengawasi dan terus mengawasi, dan kadang harus sedikit
mengeluarkan gertakan.
Waktu pulang sebenarnya sudah tiba bagi Irham,
namun melihat teman-temannya yang masih terlihat sibuk
dan dia masih ingin memakai waktunya di jalanan, maka
dia lebih memilih terus berjibaku untuk membantu.
***
Jam 04.30 Sore.
Dira dan Fajar pulang kuliah. Sebelumnya di pagi
hari, Fajar harus merayu Dira sampai bersujud agar Dira
mau berangkat kuliah. Fajar tetap mengantar Dira
meskipun hubungan mereka belum membaik.
Di tengah perjalanan pulang, Fajar dengan tiba-tiba
mengajak Dira untuk menemui Irham. Dira hanya diam
124
mendengar ajakan Fajar itu. Lalu tanpa meminta untuk
yang kedua kalinya, Fajar langsung menghentikan
motornya di dekat Irham yang sedang berdiri di trotoar.
“Permisi, Pak! Saya ingin bicara dengan bapak!” Ucap
Fajar.
Irham tahu bahwa itu adalah Fajar dan Dira. Dia
tidak ingin berbincang dengan mereka saat ini, karena dia
sedang bertugas. Namun tidak mungkin baginya
mengacuhkan mereka begitu saja. “Tolong menepi,” ucap
Irham.
“Mau apa sih kamu!?” Bentak Dira pada Fajar.
Namun Fajar cuek, dan tetap menepi ke bahu
jalan, “begini, Pak. Saya tahu bapak ini akrab dengan Dira.
Saya juga yakin bapak ini suka sama Dira. Tapi, saya harap
kita bisa bersaing dengan sehat!”
“Maksud Anda? Bersaing untuk apa?” Ucap Irham.
“Ya bersaing buat dapetin Dira!” Fajar membuka
helmnya, namun dia tetap duduk di motornya. Dira juga
tetap duduk di jok belakang, dia hanya diam dan tak tahu
harus berkata apa.
“Saya tidak pernah ingin bersaing dengan siapa
pun, silahkan kamu ambil dia jika memang kamu bisa.”
“Terserah! Yang pasti, mulai sekarang kita
bersaing! Bersaing tanpa saling membenci. Saya tidak
memukul karena perempuan, Pak.” Tegas Fajar. Dia
menghidupkan motornya.
“Saya juga tidak suka memukul karena perempuan.
Terus untuk apa kita bahas ini?”
125
“Untuk memastikan tidak ada salah paham. Lebih
baik kita bersaing secara terbuka, bukan?”
Irham diam.
Tanpa menunggu jawaban dari Irham, Fajar
langsung memakai kembali helmnya, lalu pergi dari tempat
itu.
***
Sesampainya di rumah, Dira turun dari motor
Fajar dan masuk ke rumah tanpa mengucap sepatah kata
pun. Dia semakin bingung dengan keadaan yang ada di
sekitarnya, terutama kedua orang itu. Ada rasa kesal kepada
mereka berdua karena memperlakukannya seakan-akan
mudah untuk diperebutkan, mudah untuk didapatkan
layaknya jajanan. Namun tidak dapat dipungkiri juga
selama ini dia memang sudah tersentuh oleh keduanya,
hanya saja egonya masih enggan untuk mengakui itu secara
langsung.
“Dira!!” Sahut Fajar.
Dira tidak menghiraukan panggilan Fajar, dia tetap
berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Tak jauh dari Fajar,
ada ayah Dira yang sedang memperhatikan burung
peliharaannya, dia berdiri di depan sebuah kandang besar
yang ada di pekarangan, bersiul dan menjentikkan jemari
memancing agar burung-burung itu berkicau.
“Ada apa? Dira ngambek ya?” Tanya pak Herman.
“Ya, mungkin dia lagi sebel aja. Kok tumben, Om
ada di luar? Gak nonton berita?”
126
“Udah terlalu pusing, jadi butuh penyegaran dulu
nih,” jelasnya, sedang jarinya terus menggoda burungburung
itu agar mengeluarkan nyanyian merdu.
“Ooh oke ... Aku pamit pulang, Om.”
“Udah lihat berita terbaru belum?” Tanya pak
Herman seketika.
“Berita apa?”
“Di Surabaya ada mahasiswa tewas pas demo.”
“Tewas?! ... Pasti polisi!!” Lantang Fajar. Sedang
pak Herman terdiam. Ada kebencian yang meluap begitu
saja dari Fajar, terhadap polisi. Polisi yang sering menahan
dia dan kawan-kawannya untuk menyampaikan aspirasi.
Polisi yang tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kasus
besar di bangsa ini. Polisi yang berkali-kali menangkapnya
namun tidak pernah menangkap penjahat yang
sesungguhnya, “makasih ya, Om beritanya, aku pulang
dulu,” sambung Fajar.
Pikirannya yang sebelumnya terfokus pada Dira,
kini beralih ke sahabatnya yang ada di Surabaya. Meskipun
dia tidak mengenal siapa orang yang meninggal itu, namun
hatinya tersakiti karena orang itu berada di jalan yang sama
dengannya; mahasiswa. Dia bergegas menuju rumah agar
dapat menonton berita itu secara langsung dari televisi.
***
Jam 08.55 Malam.
Berita malam mengudara, televisi menyala di kamar
Irham, namun seperti biasanya dia biarkan begitu saja.
127
Sedangkan dia sendiri sibuk dengan buku yang belum
selesai dibaca dari beberapa hari yang lalu.
“Satu orang mahasiswa kembali meninggal dunia
setelah sempat dirawat intensif. Dengan ini maka sudah
dua orang yang meninggal akibat kerusuhan yang terjadi
tadi siang,”
Irham meraih remote televisi yang ada di
sampingnya, lalu memindahkan saluran televisi.
“... Jika keselamatannya terancam, maka aparat
kepolisian berhak untuk melepaskan tembakan,” ucap
seorang petinggi Polri yang sedang mengikuti perbincangan
langsung di sebuah stasiun televisi.
“Tapi, dengan melepaskan tembakan itu polisi
justru membunuh seorang mahasiswa. Membunuh, Pak!
Bukan lagi mengancam,” seorang mahasiswa yang mewakili
teman-temannya, tak kalah berapi-api menyampaikan keluh
kesah.
“Keberadaan Protap itu kan untuk melindungi
anggota. Tembakan itu juga dilepaskan agar tidak jatuh
korban yang lebih banyak! Jika tembakan tidak dilepas,
maka nyawa polisi itu juga bisa melayang. Teman-teman
mahasiswa juga harus paham tentang itu,”
“Bapak bicara seakan-akan nyawa anggota bapak
lebih berharga dibanding nyawa teman kami.”
Suara-suara di televisi itu membuat Irham terusik.
Sedih; Irham menutup buku yang dia baca, mematikan
televisi, lalu pergi keluar dari kontrakannya. Dia
mengendarai motornya dengan kencang.
128
Irham berhenti di sebuah bangunan setengah jadi
yang sepertinya tidak dilanjutkan pengerjaannya. Gedung
itu terbengkalai. Dari bawah terlihat hanya tiang-tiang
raksasa, lantai beton yang kotor dan tangga yang masih
telanjang, tanpa dinding dan warna. Malam itu sangat
gelap, tempat itu hanya diterangi beberapa lampu temaram
di tiap lantainya—satu lampu berkedip seakan hendak mati
seutuhnya.
Dia menyelinap masuk dari pagar seng gedung itu,
seakan sudah paham sekali jalan masuk menuju gedung itu.
Lalu naik ke lantai tertinggi. Dia duduk di tepi bangunan,
dengan kaki terjuntai ke udara. Cukup tinggi dan
menakutkan di atas sana, namun Irham terlihat sangat
tenang. Dari tempatnya, terlihat jelas kemacetan kota
Jakarta. Kota yang tidak pernah tidur.
Di sini, hanya ada aku dan penat
Entah di mana kedamaian itu sembunyi
Tidak di depan tv!
Tidak pula di langit malam kelabu!
Hanya ada mimpi terhampar di altar ilusi
Membuai aku dengan cahaya yang menipu
Benderangnya kota ini, sungguh indah!!
Bahkan sangat-sangat indah!!!
Nyanyiannya bangsa ini, sungguh damai!!
129
Sangaaat damai!!!
Cukup duduk dengan tenang..
Dan biarkan jiwamu terbiasa!
Biarkan, jiwamu... terbiasa...
130
131
BAB 14
Ayah
&
Ibu
06 April 2012
“Jangan khianati kami!! Rakyatmu yang tiap hari
berteriak!! Mengingatkanmu akan janji!!”
Fajar sudah hampir satu jam berorasi. Dia tengah
berdemo di depan gedung DPR RI, tanpa lelah dan sangsi,
menggenggam speaker dengan pasti, berteriak berusaha
tetap pada substansi, sambil melirik mencurigai adanya
provokasi. Setiap demonstrasi awalnya diniatkan damai dan
rapi, tapi dalam realisasinya sering kali menjadi anarkis dan
gaduh. Gigih; seorang pimimpin adalah penanggung jawab.
Dia melihat ketika dilihat, bahkan mendengarkan ketika
berbicara.
Meski jarang sekali demonstrasi itu berbuah hasil –
bahkan hanya menjadi konten berita pagi, Fajar tidak lelah
menyuarakan kegelisahannya. Kadang suaranya sampai
habis karena berteriak. Atau tubuhnya lunglai karena
132
kelelahan. Tapi disitulah kepuasan baginya, yaitu berjuang
sampai titik di mana dia tidak dapat lagi bergerak.
Tiba-tiba, aksi memanas, terjadi aksi saling dorong
antara mahasiswa dan polisi yang berjaga di sana. Entah
siapa yang memulai. Mata Fajar cuma dua, sedang yang
harus diawasi ada di tiap sudut sana. Dia berteriak lagi di
speakernya.
“Jangan terprovokasi!! Awas!! Jangan terprovokasi!!
Kita datang ke sini untuk mengingatkan mereka, bukan
ikut-ikutan seperti mereka!!”
Kebencian para mahasiswa terhadap para penguasa
semakin menjadi akibat kejadian penembakan di Surabaya
itu. Teman-teman Irham terpancing untuk menumpahkan
kekesalan mereka para polisi yang ada di sana.
Mereka saling mendorong, Irham menghentikan
orasinya dan menyerahkan speaker itu pada salah satu
temannya. Dia mencoba menenangkan kembali aksi yang
mulai kacau itu. “Munduuur!!” Teriak Irham. Dia menarik
kerah salah satu pendemo.
Bukannya mundur, para mahasiswa yang penuh
semangat itu justru makin garang mendorong para polisi,
menghantamkan bambu—yang tadinya tiang berfungsi
sebagai tiang bendera—ke tubuh polisi. Polisi terdesak.
Teriakan menggema, entah siapa yang bicara dan siapa
yang mendengar, semuanya menjadi sangat kacau.
Semakin anarkis, beberapa polisi anti huru-hara
mengambil langkah maju, tak mau kalah dengan para
mahasiswa, mereka menambah personel untuk menghantam
mundur mahasiswa.
133
“Jlebb!!” Seorang mahasiswa bertindak anarkis
dengan memukul anggota polisi. “Prak!!” ada yang
memecah botol di jalanan. Entah sejak kapan pula, sebuah
ban terbakar di tengah jalan. Suasana jadi makin ricuh..
Baku hantam! Sedang Fajar tidak mampu berbuat
apa-apa. Hanya sedikit yang masih sadar dan mundur dari
tempat itu. Mereka mencoba merapat dan melerai temanteman
mereka yang saling dorong itu. Tapi, baru saja
mendekat, “jleb!” Bogem mentah mendarat di wajah Irham.
Telak!
Dia lebih mundur lagi. Menjauh. Polisi sudah
berlaku bringas, pilihan yang terbaik untuk saat ini adalah
pergi. Dia dan sebagian orang temannya itu akhirnya
memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.
***
Jam 05.17 Sore.
Fajar baru tiba di rumah, memasukkan motor
besarnya ke dalam garasi megah. Rumah yang besar dan
mewah. Namun tidak ramah seperti kemilau yang
ditawarkannya; rumah itu dingin. Dia masuk tanpa sapaan
kepada atau dari siapa pun.
Sesampainya di kamar, dia melempar tubuhnya ke
ranjang, menenggelamkan wajahnya yang lebam ke atas
bantal. Ini sudah biasa baginya. Kerasnya hidup dan
perjuangan, tidak selaras dengan perhatian yang harusnya
dia dapatkan. Rumah tiga lantai itu tidak melahirkan
kepedulian antar penghuninya. Kedua orangtuanya adalah
orang yang super sibuk. Jarang sekali pulang ketika malam
belum datang. Dan dia, Fajar, orang yang paling senang
134
mencari ‘keributan’, ‘memberontak’, dan tegas dalam
sikapnya untuk terus berjuang. Meski kedua orangtuanya
tidak senang akan itu.
Salah satu sisi kamarnya dipenuhi beragam buku.
Mulai dari buku-buku sastra, sampai buku olah pikir dan
jiwa, berjejer di sebuah rak tinggi terbuka. Pelajaran hidup
dari pengalaman dan ilmu dari bacaan, menjadikan dirinya
yang sekarang ini—pemuda generasi baru yang berusaha
menerobos kemunafikan penguasa.
“Dira...” Tiba-tiba pikirnya terenggut.
Hanya Dira keteduhan yang tergambar dalam
benaknya. Seorang gadis yang ceria, kadang menyebalkan.
Meski begitu tetap menjadi keindahan dalam tiap manja
dan sebalnya. Jatuh dalam cinta bukanlah keinginannya,
melainkan kebutuhan hati yang rindu akan kedamaian.
Ketika rumah tidak bisa diharapkan untuk memberikan itu,
maka dunia luar punya andil untuk menggantikannya; Dira.
***
Dira sedang duduk di depan televisi, ditemani
ayahnya dan segelas jus di atas meja. Mereka menonton
berita sore. Dira sebenarnya tidak memperdulikan berita
itu. Dia sedang menunggu kedatangan Irham yang beberapa
hari sebelumnya sempat berjanji untuk datang hari ini.
Dia sangat berharap Irham akan benar-benar
datang. Sore itu dia sudah mempersiapkan pakaian
terbaiknya untuk menjamu Irham. Irham, lelaki yang kini
dia sukai meski masih enggan dia akui.
***
135
Jam 08.12 Malam.
Kecewa sudah meletup, karena Irham tak kunjung
datang. Dira sudah memakai baju tidurnya meski masih
sedikit berharap Irham akan datang. Kerinduan itu
mungkin akan terbayar malam ini.
Lalu sebuah SMS masuk, dari Irham,“Malam Dira...
maaf, aku blm bisa main ke rumah. Mgkn lain kali aku
tebus janji itu...”
Dira melempar ponselnya ke kasur. Dia kembali
kecewa pada Irham. Dia lalu mematikan lampu kamar, dan
berharap bisa tidur secepat mungkin untuk meninggalkan
rasa kecewanya. Karena rasa cintanya, dia tidak pernah
benar-benar marah pada Irham. Selalu ada celah untuk
menerima maaf. Selalu ada keinginan untuk kembali
berharap banyak. Sulit baginya untuk mengerti itu. dia
mencinta seorang polisi yang bahkan baru sebentar dia
kenal. Irham; tingkah baik dalam gugupnya, ramah dalam
kegagahannya, mampu menyihir hati hingga terpaut cinta.
Namun, baru beberapa menit Dira hanyut dalam
lamunan—keheningan sirna, tiba-tiba terdengar teriakan
dari lantai bawah.
“Ngapain kamu balik lagi ke sini? Mana pacarmu
yang kurang ajar itu?!!”
“Aku mau ketemu Dira, Mas. Tolong jangan
larang aku.”
“Sayangnya, dia gak mau ketemu ibu kayak kamu
ini. Udah pergi sana! Rumah ini lebih tenang tanpa kamu!”
Dira memeluk boneka beruang yang menemaninya
tidur. Inilah tekanan yang masih sering dia terima. Kedua
136
orangtuanya masih sering bertengkar jika bertemu. Ketika
malam hari tiba, bising kendaraan menderum
mengganggunya, kini bertambah riuh dengan kata-kata
kasar yang terasa meremukkan hati.
Suasana kamar yang gelap menyembunyikan air
matanya yang mengalir. Hati menjerit ingin menumpahkan
kemarahan dan kesedihan. Namun pada siapa? Boneka
beruang ini tak mampu menyentuh sudut hati. Selama ini
dia sendirian, sedang orangtuanya juga seakan tak paham
bagaimana perasaannya ketika mendengar mereka
bertengkar.
Dira tidak tahu pasti kenapa ibu dan ayahnya bisa
berpisah. Jika ditanya, alasan mereka pasti sama: sudah
tidak ada lagi kecocokan. Padahal puluhan tahun mereka
bersama. Apakah kecocokan itu memang bisa habis? Atau
memang selama ini keduanya memaksakan cinta? Yang
pasti, mendengar mereka bertengkar itu adalah sebuah
siksaan yang menyakitkan. Tiap bentakan itu mengiris
hatinya; perih.
137
BAB 15
Di mana dia?
10 April 2012
“Harga beras kembali merangkak naik. Pemerintah
sendiri sudah melakukan kebijakan Impor untuk memenuhi
kebutuhan beras dalam Negeri..”
“Ayah aku berangkat bawa motor sendiri,” ucap
Dira, dia melewati Fajar begitu saja, padahal pagi itu Fajar
sedang duduk bersama ayahnya. Ingatan malam yang lalu
masih lekat di pikirannya. Dira memandang ayahnya
dengan lesu, berlalu begitu saja menuju pintu.
Fajar langsung mengejarnya, “kenapa sih, Ra?
Masih ngambek gara-gara yang kemarin itu? Aku minta
maaf, bener-bener minta maaf! Kan kemarin udah baikan.”
“Aku gak ngambek kok. Emang lagi pengen bawa
motor sendiri aja,” terang Dira. Ini masalah berbeda, bukan
antara dia dan Fajar. Meski rasa kesal pada Fajar juga
memang masih bersisa.
Dira mengeluarkan motornya dari garasi dan
langsung menghidupkannya. Namun motor itu tidak mau
hidup. Dira mencoba lagi dengan menggenjot motornya.
138
Dan tetap tidak mau hidup juga. Berkali-kali dicoba, tetap
gagal. Sedangkan Fajar hanya mampu memperhatikannya.
“Hidup dong!! Jangan bikin hari ini tambah
buruk!!” Dira mengerutu dalam hati. Berkali-kali mencoba
dan motor itu tidak mau hidup!
“Mungkin udah lama gak dipakai, Ra. Makanya
jadi begitu,” Ucap Fajar dengan lembut.
“Iya kali!!” Dira kesal.
“Tambah siang tambah macet lho. Lebih baik
kamu ikut aku, aku juga tahu kamu masih ngambek, gak
apa-apa kalau belum mau maafin aku, lain kali aja
maafinnya. Yang penting sekarang kita berangkat kuliah aja
dulu. Oke?”
Dira terdiam, wajahnya masih muram. Dia
menghentikan usahanya untuk menghidupkan motor.
Kakinya juga sudah terasa pegal karena berkali-kali
menggenjot motornya yang berat itu. Namun dia masih
terdiam dan tidak menjawab Fajar, bahkan menoleh pun
tidak.
Fajar menghidupkan motornya, lalu menghampiri
Dira dari belakang, “ayo naik!” Ajaknya.
Dira melirik Fajar. Perkataan Fajar yang lembut
membuat Dira perlahan kehilangan kekesalannya pagi itu.
Dira terdiam lama.
“Ayolaaah...” Fajar tersenyum.
Akhirnya Dira naik ke atas motor itu, duduk manis
meski tanpa berbicara sepatah kata pun. Ada rasa masih
malas untuk bicara, meski kesal perlahan mulai hilang.
139
Jika Dira sudah kesal, maka semua orang akan kena
akibatnya. Dira akan menjadi tidak menyenangkan, marahmarah
terus, manja juga. Dia harus dirayu dengan pintar
agar keceriaannya kembali.
“Mana senyumnya?” Pinta Fajar.
Dira diam cukup lama.
Fajar tetap menunggunya tersenyum dan tidak mau
menjalankan motor. Dia terus menatap Dira yang
tertunduk lesu.
“Iiiih... Masih aja! Orang lagi ngambek juga! Nih
ah!” Dira pun memberi senyum pada Fajar, dia buat agar
terkesan dipaksakan, namun sebenarnya dalam hatinya, dia
benar ingin tersenyum kepada Fajar. Fajar membalas
senyumnya, dan Dira semakin merasa terpuji dan
menyembunyikan senyumnya yang asli. Kelembutan Fajar
kembali tidak bisa ditolak olehnya.
“Terima kasih banyak, Tuan Putri. Jangan marahmarah
terus, nanti jadi tambah pendek lho!”
“Apa hubungannya marah sama pendek?! Udah ah,
ayo berangkat.”
“Hubungannya? Mmm, Tinggi kamu nantinya
ketarik sama bibir yang cemberut itu, makanya nanti jadi
pendek.. Haha,” tawa Fajar lepas.
“Iiiihh..” Dira menahan senyumnya, “bibir
cemberut bisa bikin orang pendek, apa iya ya? Fajar nakutnakutin
aja kayaknya.. tapi kalau bener gimana ya?”
Pikirnya. Bibir cemberut itu perlahan menjadi lengkungan
manis di wajahnya, Dira tersenyum. Fajar memang pintar
memperbaiki suasana hatinya.
140
Pagi itu mereka berangkat dengan senyum dan
semangat. Tepat ketika di seberang pos polisi, Dira
kembali menoleh dan mencari-cari sosok Irham. Namun
pagi itu dia tidak menemukannya. Hanya ada dua orang
polisi di dekat pos itu, dan beberapa polisi lain di
persimpangan jalan. Tidak ada Irham.
***
Jam 02.30 Siang.
Dira pulang diantar oleh Fajar. Dia kembali
mencari-cari sosok Irham. Namun kembai tidak dia
temukan. Ke mana Irham? Biasanya dia selalu ada di
persimpangan jalan, atau di trotoar sekitar jalan itu atau di
beranda pos polisi itu. Mungkinkah Irham sedang duduk
di dalam pos? Pikirannya meracau dan berharap melihat
Irham hari esok.
***
12 April 2012
“Harga kebutuhan pokok kembali naik..”
Pak Herman memindahkan saluran yang dia
tonton, sudah cukup bosan baginya menonton berita harga
bahan pangan. Sekarang dia mencari berita yang lebih
berbau politik. Ditekannya tombol remote angka 9.
“Saya tidak merasakan kehadiran seorang
pemimpin! Kenapa presiden kita seperti seorang pengamat
yang bisa membaca situasi namun tidak mampu untuk
merubah situasi itu? Harusnya dia punya kekuatan untuk
merubah! Kasus-kasus besar ini harusnya bisa selesai.
Intervensi hukum memang tidak boleh dilakukan, tapi
ketika hukum itu sudah tidak berjalan, sudah tidak lagi
141
tegak sebagaimana mestinya, maka intervensi atau ketegasan
seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan. Hukum kita
sekarang ini dipecundangi oleh segelintir orang, dan
presiden hanya menonton!” Ucap seorang pengacara
kondang.
Pagi itu sedikit mendung. Dira memutuskan untuk
kembali berangkat dengan Fajar. Hubungan mereka berdua
sudah mulai membaik. Dira tidak lagi mendiamkan Fajar
ketika diajak bicara.
Ketika dia berpapasan dengan pos polisi, dia
kembali mencari Irham, namun tidak ada! Lagi-lagi tidak
ada.
***
Jam 03.07 Sore.
Dira baru pulang kuliah. Dia kembali mencari-cari
sosok Irham ketika dia pulang. Namun lagi, dia tidak
melihat Irham. Dia mulai sedikit khawatir. Apakah Irham
baik-baik saja? Apakah Irham pindah tugasnya? Ke mana
Irham?
Sesampainya di rumah, dia langsung mengirim
SMS ke Irham, berharap akan ada jawaban. “Sore pak
Irham. Gmana kbarnya ?”
Cukup lama tidak ada balasan. Setelah setengah
jam berlalu, akhirnya balasan itu muncul.
“Sore.. kabar baik. Kamu?”
“Baik jg. Skrg dmana? aku jarang liat..”
“Aku ada kok. Mgkn kamu yg kurang teliti.
Hehe...”
142
“Boong! Aku udah teliti, tp kamu ga ada tuh.”
“Ehh.. Sudah ah, ganti tema ngobrolnya..”
Mereka mengobrol dengan hangat meski hanya
lewat SMS. Malam itu Dira bisa tidur dengan lebih tenang.
Irham ternyata ada dan baik-baik saja. Hatinya direnggut
secara lembut oleh Irham. Rasanya sulit jika tidak melihat
Irham berdiri di samping jalanan, dia rindu.
13 April 2012
Pagi, Jam 07.15.
“Hari ini, ribuan mahasiswa akan kembali
berunjuk rasa di depan gedung DPR RI. Mereka menuntut
agar penembakan yang terjadi di Surabaya...”
Celotehan yang biasanya keluar dari mulut pak
Herman pagi ini belum terdengar. Dia masih duduk tenang
menyeruput teh hangatnya yang harum. Fajar yang duduk
di sebelahnya pun hanya diam. Dia sangat serius
memperhatikan berita itu.
Beberapa menit berselang, pak Herman barulah
mengeluarkan komentarnya, “kalau demo tuh yang rapih
lah, jangan suka adu jotos segala macem.”
“Kalau saya ikut demo, saya selalu berusaha agar
tidak anarkis, Om. Tapi kalau sudah di lapangan itu ada
kalanya mahasiswa tidak bisa dikendalikan. Rasanya
memang kesal sekali kalau kita berteriak menyampaikan
aspirasi, tapi tidak ada yang mendengar! Apalagi polisi
justru sering menghalang-halangi!”
“Terus kamu gak ikut demo hari ini?”
143
“Ikut, Om! Harus!”
“Dapet berapa duit sekali demo?”
Dahi Fajar mengkerut, “gak semua demo hasil
bayaran, Om! Saya berusaha agar yang saya teriakan itu
benar-benar datang dari nurani, bukan dari uang lima
puluh ribu!” Tegas Fajar menjelaskan.
“Mmm, bagus! Sekali lagi, dengerin baik-baik!
Jangan mencari uang dari sebuah pengabdian! Label
presiden, wakil rakyat, mahasiswa, bukan mata
pencaharian!” Balas pak Herman tak kalah tegas.
“Ya, betul! Tapi, Om, beberapa mahasiswa
memang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mahasiswa juga rakyat biasa, kalau beras naik ya ikutan
pusing. Makanya sering tergoda untuk menjual dirinya.”
“Eh! Ayo berangkat!” Ucap Dira di belakang sofa.
Dengan sedikit berat hati Fajar mengakhiri
perbincangan pagi itu, padahal sedang berlangsung dengan
sangat menarik. Dia melihat Dira sudah memasang wajah
kesal dan bergegas menuju keluar rumah.
Dira ingin segera melewati pos polisi lagi, dia
berharap hari bisa melihat Irham atau mungkin mengobrol
langsung dengannya. Sesampainya di depan pos itu, Dira
kembali harus merasakan kecewa. Irham tidak dilihatnya.
Kenapa Irham sering tidak terlihat? Apa dia sekarang
bertugas di dalam pos saja? Atau sudah pindah? Tapi dia
bilang dia ada! Beragam pikiran muncul.
144
145
BAB 16
Penerimaan
Jam 03.40 Sore.
Dira baru saja sampai di depan rumah. Rasa
kecewa menumpuk di hatinya. Berhari-hari tidak melihat
Irham. Dia turun dari jok motor Fajar dengan lemas,
berjalan menuju rumah tanpa satu patah kata pun.
“Malam minggu nanti makan yuk, Ra!” Sela Fajar.
“Apa?” Dira menoleh.
“Makan. Di luar. Oke oke? Mau yaa,” rayu Fajar.
“Hmm ... Oke.” Singkat Dira. Tidak ada yang dia
harapkan dari ajakan Fajar itu. Dia menerimanya
sewajarnya dan tidak ada perasaan istimewa atau senang
yang berebih. Hatinya sedang tertuju pada Irham. Mungkin
akan berbeda jika Irham yang mengajaknya kala itu.
Fajar menyadari bahwa Dira tidak seceria biasanya.
Senyumnya terkesan dipaksakan. Dia juga sadar bahwa
Dira masih dekat dengan polisi itu, namun dia tidak mau
banyak bicara pada Dira. Salah-salah, nanti Dira malah jadi
ngambek lagi. Lebih baik dibiarkan, dan berharap makan
malam nanti akan jadi obat yang baik untuknya.
***
146
14 April 2012
Jam 07.05 Malam.
Fajar sudah menunggu Dira di lantai bawah.
Penampilan lebih rapih dibanding biasanya, lebih keren
pastinya. Tak lama menunggu, Dira turun dari kamarnya.
Dira juga berpakaian cantik malam itu, dengan gaun
sederhana berwarna putih susu, memancarkan aura
wanitanya—jauh berbeda dengan kesehariannya yang selalu
memakai sepatu Converse kusam dan rambut agak acakacakan.
Mereka berangkat menuju tempat makan. Fajar
sangat senang malam itu. Dia sudah menyiapkan malam ini
untuk sekian lama. Sejauh ini dia merasa sudah semakin
dekat untuk mendapatkan Dira.
Mereka duduk berdua, dibatasi jarak oleh sebuah
meja dan beberapa piring makanan. Tempat makan ini
terbilang mahal, namun tak heran jika Fajar yang
mengajaknya. Orangtua Fajar merupakan orang yang kaya,
sudah sangat terkenal di kampusnya. Dan yang Dira tahu
dari Novi, Fajar itu tidak hidup mewah seperti kedua
orangtuanya. Dia membaur dengan teman-temannya yang
lain, lebih senang dengan kesederhanaan. Itulah bagian kecil
yang Dira sukai dari Fajar. Dan ajakan makan malam
mewah ini pastinya sebatas pujian pada seorang wanita
yang dia cintai.
Suasana malam itu sangat tenang. Suasana di meja
lain juga terlihat hangat. Makan malam ini akan berkesan.
Yang lebih penting dari itu, Dira bisa makan hingga dia
benar-benar kenyang. Dia tidak sungkan sedikit pun.
147
“Udah beres makannya?” Tanya Fajar.
“Udah. Kenyaang!” Dira tersenyum.
“Hehe. Aku senang kalau lihat kamu senyum.”
Dira kembali tersenyum mendengar ucapan Fajar
itu. Fajar terdiam, hening sesaat, lalu perlahan dia
tersenyum ke arah Dira, dengan tenangnya dia berkata,
“aku sayang kamu, Ra.. Aku mau senyum itu ada terus di
tiap hariku.”
Deg! Dira terhenyak. Meski selama ini dia tidak
merasakan sesuatu yang lebih, tapi perlakuan Fajar
seringkali mampu membuatnya merasa terpuji, melayang
tinggi menjadi seseorang yang istimewa. Kali ini itu
kembali terjadi. Dira menatap Fajar tanpa kata-kata.
Menerimanya sebagai seorang kekasih? Itu adalah
hal besar. Terlebih lagi masih ada sosok yang mengisi ruang
hatinya, yaitu Irham. Dia dilanda kebingungan. Ini pertama
kalinya dia mendapati situasi seperti ini.
Hening.
“Ra...” Sahut Fajar.
“Sepertinya... Aku gak bisa, Jar...”
Fajar, sekujur tubuhnya bergetar mendengar
jawaban yang diluar harapan, “kenapa? Ada yang kurang
dariku, Ra?”
“Gak ada yang kurang, hanya saja aku belum bisa.”
“Tapi.. Dira...” Fajar berusaha meraih tangan Dira,
namun baru saja jemari mereka bersentuhan, Dira
menjauhkan tangannya. “Aku sayang kamu. Tulus...”
Sambung Fajar berusaha agar Dira mau untuk menerima
148
cintanya. Perlahan kehangatan itu menjauh dari meja
mereka.
“Bagaimana jika nanti aku gak bisa senyum lagi.
Apa kamu suka itu?” Dira membuang tatapannya. Dia
tidak bisa melihat Fajar. Kesedihan dan belas kasih
mencoba merajut asa, namun Dira mencoba bertahan pada
sikapnya. Tidak mungkin menerima Fajar, karena cinta
bukanlah belas kasihan.
“Aku bisa buat kamu tersenyum, setiap hari!”
Tegas Fajar.
Dira terdiam. Ada bisikan dalam hatinya yang
menolak ini semua. Dia merasa bahwa Irhamlah yang dia
tunggu untuk mengatakan itu. Dia tidak bisa menerima
Fajar meski Fajar juga sangat baik. Bahkan kalau saja harus
memakai peranan otak dan objektifitas, tentu saja Fajar
lebih baik dari Irham. Tapi masalah perasaan tidak bisa
diukur dari hal itu.
“Gak, Jar. Aku tetep nggak bisa. Maaf kalau aku
udah bikin kamu berharap banyak. Aku gak bisa... Selama
ini kita berteman. Dan itu udah menyenangkan, Jar.”
Terang Dira pelan, dia menyembunyikan tangannya di
balik meja dan turut merasakan apa yang Fajar alami saat
ini.
Glek. Berat untuk diterima, Fajar diam. Dia
berusaha menerima kenyataan yang ada. Karena cinta
memang tidak mungkin memaksa, meskipun tulus untuk
memberi. Ketika cinta mendapati penolakan, maka
ketulusan dalam cinta itu harus pula menjadi kerelaan
dalam menerima kenyataan.
149
“Iya, aku ngerti, Ra.”
“Aku bisa tersenyum buat kamu, Jar ... Sebagai
teman.”
“Tapi, aku tetep nganter kamu kuliah kan?”
“Silahkan...” Dira berusaha tersenyum. Matanya
menahan air mata yang mulai berat menggelayut, hampir
jatuh. Entah kenapa, dia ingin menangis.
150
151
BAB 17
20 Mei 2012
Hari ini adalah hari ulang tahun Dira yang ke
sembilan belas. Hari-hari berlalu, hingga sekarang masa
remaja itu hampir habis dia lewati. Banyak yang sudah
berubah di sekitarnya. Ibunya kini sudah tidak ada di
sisinya. Sang ayah sakit-sakitan. Ada teman baru yang
datang, ada pula sahabat yang pergi.
Dia sudah jarang mengobrol dengan Novi, karena
Novi sekarang sibuk dengan teman-teman barunya. Fajar
semakin hari semakin dekat dengannya. Tidak ada lelah
dan bosannya Fajar menemani dan membuat Dira
tersenyum.
Namun satu hal yang dia nanti; Irham. Irham
belum juga dilihatnya kembali, menurut seorang polisi di
tempat itu, Irham dipindahkan. Namun ke mana? Dira
tidak tahu karena tidak ada satu polisi pun di tempat itu
yang mau atau bisa menjawab. Nomer ponsel Irham
sekarang tidak dapat dihubungi. Orang itu pergi tanpa
152
memberi kabar sama sekali. Mungkin memang Dira terlalu
menganggap baik Irham selama ini. Bisa saja Irham tidak
memiliki perasaan cinta seperti yang dia rasa.
Tidak ada yang spesial di hari ini. Berjalan seperti
hari-hari biasa, terlebih karena hari ini kuliah libur, jadi
kegiatannya cuma di sekitar rumah saja. Padahal ini hari
ulang tahunnya! Dira hanya tergeletak di kasur, bermalasmalasan
seharian.
Twitter menjadi tempatnya menghabiskan waktu.
Beberapa orang teman mengucapkan selamat ulang tahun
padanya, beriring dengan doa-doa yang memberinya
harapan untuk menjadi lebih baik. Namun masih ada yang
kurang. Ke mana orang-orang terdekatnya? Apakah tidak
ada satu orang pun yang mengingat ulang tahunnya.
Jam 05.00 Sore.
Dira mendapat SMS dari Fajar.
“Malam ini kamu ke mana ra?”
“Aku ga kmana2. Knpa jar ?”
“Ga apa2. Cma nanya kok! Hehe...”
“Yee.. kirain ada apaan.”
SMS itu begitu singkat, Dira kembali kecewa.
Dia berharap seseorang di hidupnya akan
mengatakan “Happy Birthday!” padanya secara langsung.
Mungkin ayah, sosok yang paling dekat dengannya. Tapi
ayahnya pun tidak mengatakan itu, dia terlalu sibuk dengan
televisi di ruang bawah. Entah karena lupa, atau memang
153
malas mengatakannya. Sosok ayah belum bisa sepenuhnya
menggantikan kehadiran ibu di rumah itu.
Kakak-kakaknya yang kini sudah jauh dari rumah
juga tidak memberi ucapan selamat. Ucapan itu memang
tidak begitu penting, tapi ucapan itu menjadi tanda bahwa
dia masih diperhatikan. Ketika tidak ada orang dekat yang
menyadari ulang tahunnya, Dira merasa bahwa mereka
mulai melupakan keberadaannya.
***
Jam 07.18 Malam.
“Ombak besar menerjang banyak daerah pesisir,
akibatnya banyak nelayan tidak pergi melaut. Hal ini
memicu kenaikan harga ikan. Harga ikan asin bahkan naik
dua kali lipat..”
“Yaa, perahunya aja segede gitu. Pantes aja takut
ombak!” Celoteh pak Herman.
Sedang seriusnya dia menyimak berita malam itu,
ada seseorang mengetuk pintu rumah dan mengusiknya,
“siapa sih datang malam-malam begini?” Gumamnya. Lalu
dia menghampiri pintu dengan langkah pelan.
“Malam, Om!”
“Eh, Novi! Ke mana aja? Belakangan ini kamu
jarang main.”
“Sibuk. Hehe,”
“Masuk! Si Dira ada di kamar, dari tadi dia tidur
terus tuh!”
“Makasih, Om!” Novi tersenyum. Dia bergegas
naik ke lantai atas. Membuka pintu kamar perlahan, tanpa
154
salam, berjinjit tanpa suara, lalu menyergap Dira yang
sedang telungkup di kasur ditemani netbook. “Hayoo!!”
Teriakan Novi seketika mengagetkan Dira.
Dira tersentak, lalu menoleh, “Ih! Ini anak! Bikin
orang jantungan aja! Tumben ke sini? Kirain udah lupa!”
“Selamat ulang tahun ya, Ra. Sorry aku baru
sempet ngucapin. Hehe,”
“Gak ngucapin juga gak apa-apa kok. Aku udah
gede. Gak jaman lagi ngarepin ucapan ulang tahun.”
“Hahaa... Bohong! Aku tahu kamu pasti seneng
banget aku datang.”
“Diraaa!” Ayahnya tiba-tiba memanggilnya dari
lantai bawah.
“Apa, Yah?” jawab Dira sedikit berteriak.
“Turun ke sini. Ada tamu buat kamu!”
“Siapa, Yah? Aku lagi ngobrol sama Novi!”
“Turun aja, dia gak mau naik ke atas katanya.”
Dira bangun dari tempat tidurnya, “siapa sih?
Kayak orang penting aja deh!” Gumamnya. Dia lalu
mengajak Novi untuk ikut turun. Setibanya mereka di
lantai bawah, sudah ada seorang lelaki yang duduk di
samping ayah Dira, di ruang tamu.
Rasanya dia mengenal orang itu. Potongan
rambutnya, warna kulitnya, cara duduknya, semakin dekat
anak tangga dituruni, Dira semakin menyadari siapa orang
itu.. “Irham..” Lirih Dira. Dia menatap Irham tak jauh dari
tangga, langkah kakinya terhenti begitu saja. Dan
tangannya masih menggenggam pegangan tangga tersebut.
155
Bingung apa yang harus dia katakan. Dia terkejut karena
Irham ada di depannya setelah lama tak jumpa.
“Silahkan ngobrol! Ayah mau lanjut nonton tv.”
Ucap ayah Dira berlalu kembali ke depan televisi.
“Mungkin aku lebih baik kembali ke kamar.” Novi
terbata, merasa canggung berada di sana. Tanpa menunggu
jawaban dari Dira, dia langsung naik kembali ke lantai atas.
Dira dan Irham hanya diam. Cukup lama mereka
tak bertemu. Meski tak banyak kenangan yang mereka
punya, tapi rasa cinta itu sendiri sudah cukup untuk
mencipta kerinduan.
Irham bangkit menghampiri Dira, “Dira...”
“Ada perlu apa ke sini?” Todong Dira.
Irham menyadari bahwa dia telah salah karena
tidak memberi kabar. Dira terasa dingin malam ini. “Maaf
aku gak ngasih kabar ke kamu. Malam ini, aku mau kita
bicara banyak. Bisa?”
“Bicara apa? Omongin aja sekarang.”
“Tidak di sini. Untuk malam ini saja, Ra. Biar aku
yang memimpin, kamu cukup ikut saja, oke?”
Hening cukup lama. Dira masih berdiri di dekat
tangga, dan Irham berdiri di depan sofa ruang tamu.
Mereka menyembunyikan gejolak cinta yang sukar untuk
dikatakan. Dira masih tak menjawab. Pak Herman tak
menghiraukan mereka berdua. Lalu tiba-tiba Irham
menghampirinya.
“Pakai ini!” Ucap Irham sambil menyerahkan
jaketnya. “Malam ini saja...” Sambungnya.
156
Dira sedikit menganggukkan wajahnya, ingin
menyampaikan isyarat bahwa dia setuju. Sangat sulit
rasanya untuk bicara. Jika saja hati bisa berbicara, maka dia
sangat ingin Irham mengajaknya tiap hari. Namun kelunya
lidah, sering membuat kenyataan yang ada di hati justru
menjadi tak nyata. Untuk kali kedua dia memakai jaket
yang sama, dari Irham. Rasa di hatinya sama, memberi
hangat di malam dingin. Cinta itu masih ada dan tumbuh.
“Selamat ulang tahun, sayang. Hati-hati di jalan ...
Ham, jangan pulang terlalu malam!” Ucap ayah Dira pada
mereka berdua.
Wah! Dira terkejut. Ayahnya sangat jarang
mengucapkan hal selembut itu. Seketika malam itu menjadi
sangat indah. Banyak orang yang berubah menjadi baik.
“Sebentar ya, Ham,” Ucap Dira. Dia naik ke
kamarnya sejenak. Dan kembali dengan langkah yang cepat.
Mereka beranjak dari rumah. Meninggalkan Novi
di kamar dan ayah yang menonton televisi sendirian. Irham
menggandeng tangan Dira yang tertutup jaket panjang.
Dira hanya mampu tersenyum, tanpa sepatah kata pun yang
mampu menggambarkan perasaannya saat itu.
Hanya dengan piyama, sandal rumah, dan jaket
Irham. Dira keluar malam itu dari rumah menuju tempat
yang tidak dia ketahui. Malam ini dia biarkan Irham
membawanya. Kerinduannya selama ini sedikit terbayar,
namun rasa cinta yang membuncah, membanjiri tiap sudut
hati, masih ingin lebih dekat dengannya. Memeluknya dari
jok belakang, dibelai lembut semilir angin malam,
setidaknya inilah kehangatan yang dia kenal.
157
“Aku tidak mengerti kenapa aku begitu
merindukanmu. Sangat-sangat rindu. Aku belum percaya
sekarang ini, aku memelukmu.. Semoga ini bukan mimpi.”
Dira memeluk Irham lebih erat.
Tidak lama kemudian mereka sampai di sebuah
gedung gelap. Ya, gedung itu tempat Irham biasa
mengintip kota Jakarta. Dira sempat ragu-ragu untuk ikut
ke gedung yang gelap dan kotor itu, namun Irham
meyakinkannya.
Masih ada rasa was-was, berdua di tempat gelap
dan menyeramkan. Mereka berjalan perlahan. Dari sudut
gedung terdengar suara kucing mengeong, lalu terdengar
suara benda-benda yang beradu, semacam seng dan balok
yang jatuh bersamaan. Mereka tetap berjalan, Dira
memeluk tangan kiri Irham, dia kebingungan akan dibawa
ke mana.
Lantai demi lantai didaki, hanya gelap
menyelimuti. Namun ketika sampai pada barisan tangga
terakhir sebelum lantai paling tinggi, Dira terkejut. Ada
barisan lilin dalam gelas bening, menebar wangi memberi
cahaya. Tempat itu memberi terang yang lembut, lalu
dilihatnya ada banyak kelopak bunga bertebaran. Merah,
putih menjadi jalan yang indah bak menyambut Putri Raja.
Suasana hatinya seketika berubah, ketegangan telah hilang
berganti ketenangan yang makin memabukkan dari
sebelumnya.
Jiwanya tengah disandera cinta. Ketika kakinya
menginjak lantai paling atas itu, dia bisa melihat langsung
langit Jakarta. Ternyata kejutan lain dilihatnya, ada meja
bundar kecil ditemani dua kursi, sedikit makanan tersaji di
158
atasnya. Lilin-lilin juga mengitari tepi gedung tersebut,
melingkari mereka dengan cahaya yang indah. Dan
gemerlap lampu-lampu di kota Jakarta melengkapi
indahnya malam itu.
“Silahkan duduk,” ucap Irham.
Dira masih terlena oleh keadaan, “kamu yang buat
ini semua?” Tanya Dira.
“Iya ... Kamu suka?”
“Ini... Indah,” Dira berjalan pelan menuju meja,
dengan mata yang belum puas untuk melihat semua di
sekitarnya. Dia mencoba menatap segala arah hingga tidak
ada satu pun sudut yang terbuang sia-sia.
“Sayangnya, sekarang sudah jarang ada bintang di
langit Jakarta. Harusnya ini jadi lebih indah,” jelas Irham.
Dira tidak begitu mendengar ucapan Irham, dia
sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia duduk di kursi itu,
berhadapan langsung dengan Irham. Lalu kesadarannya
kembali, “Ham, apa maksud semua ini?” Tanya Dira.
“Pertama-tama, mari kita nikmati makanan
sederhana ini. Aku berharap rasanya enak, dan kamu suka.”
Irham tersenyum.
“Aku sudah kenyang,” Dira kali ini terlihat serius.
Irham menatap Dira. Dia meletakkan kembali
sendok yang sudah dipegangnya. Lama mereka saling diam.
“Aku sayang kamu, Ra.” Tegas Irham seketika.
Deg! Jantung Dira berdetak kencang. Alirannya
darah terasa lebih cepat dan hangat, merebak mengalunkan
jeritan cinta dalam dirinya. Kata-kata Irham telah
159
membuatnya sangat senang, hingga dia terlena. Cukup lama
dia hilang, lalu datang dalam satu malam dan mengatakan
cinta. Lelaki ini benar-benar membuat Dira hanyut.
Namun, tiba-tiba ponsel Dira berdering, dan itu
membuyarkan suasana indahnya. “Sebentar ya,” Dira
mengambil ponselnya. Ada nama Fajar terpampang di layar
ponsel tersebut. Dira langsung memutus panggilan Fajar
tersebut, dia tidak ingin itu mengganggu malam indah itu.
Namun baru saja dia meletakkan ponselnya
kembali ke dalam kantung jaket, ponsel itu kembali
berdering. Dira kembali mengambilnya.
Kali ini dia mengangkatnya.
“Ada apa?” Ucapnya tanpa basa-basi.
“Coba kamu buka jendela kamar kamu, terus lihat
ke langit.”
“... Emangnya ada apa?”
“Siap yaa,” Fajar menghitung perlahan, “satu...
Dua... Tiga...” Tepat ketika hitungan ke-tiga, gemerlap
kembang api mewarnai langit malam itu. Langit yang kelam
berubah dengan warna-warni nan indah. Sementara itu
Irham sudah tidak duduk di kursinya, dia berjalan ke tepi
gedung, memandang kembang api yang muncul tanpa
disangka itu.
“Kamu lihat itu, Ra?” Fajar menghela napas. “Itu
untuk kamu! Happy Birthday ya, Ra. Aku harap kamu suka
hadiahku ini. Aku sekarang ada di deket...” Fajar terus
berbicara sementara Dira memandangi cahaya-cahaya itu,
warna-warna indah menghiasi langit. Namun tubuhnya
menjadi lemas. Hatinya menjerit, terhimpit di antara
160
seorang yang dia cintai dan yang mencintainya. Posisi yang
sangat menyiksa.
“Plip..”
Dira memutus telpon Fajar.
Kelembutan hati memang bisa menyiksa. Ketika
kita bahagia karena menjadi pemenang, di saat yang sama
kita merasa iba kepada seseorang yang telah kita kalahkan.
Di saat kita meraih puncak tertinggi, saat itu pula ratusan
anak tangga kita injak dan acuhkan. Di saat kita mencari
satu bibit terbaik, saat itu pula bibit yang lainnya tak
terawat lalu membusuk.
Dira, kebingungan menyelimutinya, namun dia
tidak ingin berpikir lebih dalam lagi tentang hal itu.
Terlebih lagi, dia memang tidak memiliki rasa cinta pada
Fajar. Meski lembutnya perilaku Fajar memang sering kali
membuatnya tersanjung. Dia berusaha untuk tidak merasa
bersalah, meski perasaan itu sudah datang tak mungkin
pergi.
“Lihat! Ada kembang api,” ujar Irham memutus
lamunan Dira. “Mungkin malam ini ada yang sedang
bahagia, seperti aku, seperti kita ... Itu indah!”
Sambungnya.
“Iya, itu indah,” singkat Dira.
Irham sudah duduk di tepi gedung, pandangannya
tepat ke arah kembang api itu. Sedang Dira masih duduk di
kursi itu, ingin rasanya mengatakan bahwa dia juga sayang
pada Irham. Namun begitu sulitnya. Siksaan itu semakin
menerkam. Ingin baginya untuk meluapkan semua yang ada
161
dalam hatinya, namun sulit. Sangat sulit. Bahkan lidahnya
sangat berat untuk berkata. Irham... Fajar...
“Ra, aku sayang kamu. Tapi tidak usah kamu
jawab dengan apa pun, karena tidak ada yang aku harapkan.
Bisa mengungkapkannya saja aku sudah senang. Sudah lega
rasanya. Oiya, aku lupa. Kasih tahu Fajar bahwa aku tidak
pernah bersaing dengannya. Aku tidak ingin memiliki
kamu.” Terang Irham.
“Apa maksud kamu, Ham?”
“Kemarilah! Duduk di sini.”
Mereka duduk di tepian gedung itu. Irham
menggenggam erat tangan Dira, meyakinkannya agar tidak
takut akan tingginya gedung itu, “berteman bayanganmu
saja sudah membuatku bahagia, mengobrol dengannya bisa
membuatku tenang. Itu sudah cukup buatku,” jelas Irham
seraya terus menatap kembang api yang masih mewarna itu.
Bukan itu yang ingin Dira dengar dari Irham. Dia
ingin Irham memeluknya, memintanya untuk terus
tersenyum, seakan memilikinya seutuhnya. Layaknya Fajar
kemarin. Kenapa Irham tidak seperti itu? Dira kecewa. Dia
menarik tangannya dari genggaman Irham.
“Kenapa kamu berpikir, bahwa kamu berhak atas
bayanganku!? Bayanganku juga masih milikku, jadi kamu
gak boleh memikirkan dia!” Dira kecewa.
“Kenapa kamu tidak sadar, Ra! Bukan bayanganmu
yang aku curi, bukan! Tapi bayanganmu yang mencuri
hidupku ... Apa itu terdengar aneh, Ra? ... Yang pasti itulah
yang terjadi.”
162
Hening cukup lama, mereka memandangi kota
malam itu,
“Aku ... Kenapa aku bisa kenal kamu, Ham?! Kamu
itu...” Dira mencoba menahan air matanya, dia tegakkan
wajahnya menantang langit, namun kesedihan tetap tidak
mau pergi, air matanya tetap menetes. “Kamu itu ...
Bodoh...” Sambung Dira.
“Aku memang bodoh. Itulah kenapa aku tidak
pantas untukmu,” jawab Irham.
Kata-katanya semakin membuat Dira tersiksa.
***
Jam 09.55 Malam.
Mereka masih di perjalanan menuju rumah. Dira
masih tak mampu berbicara banyak. Semuanya memang
indah di mata, namun malam ini Irham sangat tidak seperti
yang diharapkannya—hatinya tersiksa. Irham memberi
kebahagiaan yang besar, lalu meruntuhkannya dengan
seketika pula.
Tak lama kemudian mereka sampai rumah. Mereka
terkejut. Di depan gerbang rumah, ada Fajar yang sedang
duduk di jalan, bersandar tembok gerbang. Tertunduk lesu
tanpa kata atau sapaan. Dira turun dari motor Irham, dia
membuka gerbang dan berusaha mengacuhkan Fajar.
Malam ini sudah terlalu melelahkan baginya.
“Kreeek..” Dira mendorong gerbang rumah.
Hening..
“Jadi, aku yang kalah...” Ucap Fajar.
163
Dira terhenti di depan gerbang yang sudah terbuka.
Mendengar ucapan itu, dia lemas. Tak jauh dari sana,
Irham duduk di atas motornya. Keheningan terjadi, tak
seorang pun bicara. Lalu, Fajar bangkit dan membuang
bunga yang dia bawa ke tempat sampah, dia menaiki
motornya dan pergi begitu saja. Dia merasakan
kekecewaan yang amat sangat besar. Dira juga tidak
berusaha menjelaskan apa pun, karena ini sudah sangat
melelahkan! Dia berlalu masuk ke dalam rumah. Dia
bahkan lupa untuk mengembalikan jaket Irham.
164
165
BAB 18
Mereka Siapa?
16 April 2012
Jam 07.10 Pagi.
“Perekonomian Amerika semakin terpuruk. Utang
mereka semakin besar. Bencana yang terjadi di sana juga
memperburuk keadaan...”
Pak Herman memindahkan saluran televisi yang
dia tonton.
“Anda bisa lihat, harga gula dan tepung terigu naik
dengan cepat. Ketergantungan kita terhadap barang impor,
terutama Amerika, membuat kita ikut terpengaruh secara
langsung. Lagi-lagi harus dipertanyakan visi pemerintahan
kita ini. bangsa ini di jalur agraria? Atau teknologi? Saya
sendiri meyakini kita ini bangsa agraris, tapi kenapa untuk
sembilan bahan pokok saja masih impor?” Terjadi
perdebatan yang sengit pagi itu.
“Sembako naik? Bukan masalah, selama Presiden
masih bisa beli. Jalanan rusak? Bukan masalah, selama
presiden gak lewat jalan itu. Sekolah rusak? Gak apa-apa,
selama anak presiden gak sekolah di tempat itu. Dingin
sekali para pemimpin bangsa ini, mereka bukan sosok
pemimpin. Dan negara ini sebenarnya bukan negara, tapi
bangsa yang masih dijajah!” Racau pak Herman.
166
Di tempat lain, Dira belum beranjak dari tempat
tidurnya. Kejadian malam yang lalu masih sangat
membekas rasanya. Dan itu pasti bertahan lama. Hari ini
terasa malas untuk pergi kuliah. Suara Fajar pun belum
terdengar di bawah, sepertinya hari ini dia tidak akan
menjemput Dira.
***
Jam 09.20 Pagi.
Dira turun dari kamarnya, menghampiri ayahnya
yang sedang menonton televisi.
“Kamu gak kuliah?” Tanya ayahnya.
“Lagi males,” Dira memeluk bantal sofa.
“Kok Fajar gak dateng ya?”
“Mungkin dia juga gak kuliah.”
Pak Herman menyadari bahwa Dira sedang ada
masalah, entah itu dengan Fajar atau Irham. “Mmm, kok
bisa males kuliah, gara-gara cowok?”
Dira terdiam, berpura-pura tidak mendengar apa
yang ayahnya ucapkan, dia menonton televisi meski tak
paham juga apa yang disuguhkan televisi itu.
“Kalau memang orang-orang itu yang bikin kamu
jadi seperti ini. Ayah bakal tendang mereka satu-satu!
Oke?!” Ucap ayahnya penuh canda dalam teriakannya.
Dira sedikit tersenyum mendengar itu, “jangan,
Yah! Bukan mereka yang salah kok.”
Ayahnya tertawa, “anak ayah yang cantik, udah
sarapan belum? Si bibi masak bubur kacang ijo tuh. Enak
lho...”
167
“Belum laper, Yah.” Dira tersenyum.
“Tapi sudah waktunya. Ayo sarapan sana! Jangan
tunggu sakit kayak ayah ini.”
“Iya deh iya..” Dira melangkah malas.
Sedang ayahnya tersenyum, mengajari Dira agar
membedakan keharusan dan keinginan. Orang-orang yang
sehat sebenarnya memakai mahkota yang indah, namun
mahkota itu hanya bisa diihat oleh orang-orang yang sakit,
sedang orang-orang yang sehat itu justru sering tidak
menyadarinya. Ayahnya berusaha menyadarkan Dira bahwa
kesedihan yang mendera hatinya, jangan sampai merusak
kebutuhan tubuh dan pikirannya. Meski hati bersedih,
tubuh tetap harus makan, pikiran tetap harus belajar. Dan
justru, kadangkala, itu menjadi obat dari sebuah kesedihan.
Pak Herman memang sering berubah-ubah dalam
memberi perhatian. Kadang dia sangat perhatian pada Dira,
tapi kadang juga sangat dingin. Tapi biasanya dia jadi
sangat dingin kalau baru bertengkar dengan sang istri.
Makanya, Dira sering berharap agar ibunya tidak datang
lagi ke rumah. Bukan karena dia tidak rindu, tapi karena itu
lebih baik untuk mereka. Pertemuan mereka selalu berbuah
keributan, dan itu menyakitkan.
***
13 Juni 2012
Jam 08.17 Pagi.
Semenjak konflik dingin malam itu, hari-hari
berjalan dengan sepi. Saat ini libur panjang sudah datang,
namun tak banyak yang Dira kerjakan. Dia masih di
tempat yang sama, yaitu kamarnya. Hanya sesekali dia main
168
keluar rumah bersama Novi dan temannya yang lain,
namun itu tidak merubah suasana hatinya. Irham dan Fajar
memberi sayatan yang dalam, hingga sulit untuk dilupakan.
“Mahasiswa berdatangan dari banyak arah,
diperkirakan jumlah mereka lebih dari 3000 orang. Kami
belum mendapat konfirmasi berapa jumlah korban yang
jatuh, tapi beberapa orang polisi sempat terlihat terkapar
akibat terkena lemparan batu,” Laporan langsung seorang
reporter.
“Kasihan mereka, saling lempar batu, tapi orang
yang harusnya kena lempar justru duduk nyaman.” Celoteh
pak Herman.
Beberapa bulan ini keadaan bangsa memang
semakin memburuk. Harga bahan pangan semakin
meningkat. Kenaikan komoditi seperti kedelai, tepung
terigu, dan minyak goreng, membuat masyarakat tercekik.
Kenaikan ini juga berakibat langsung pada dunia usaha.
Banyak pengusaha tempe dan tahu harus gulung tikar, yang
artinya bertambah pula pengangguran.
Sementara itu, gedung-gedung besar terus
dibangun. Apartemen-apartemen menggusur pemukiman
warga, perumahan-perumahan mewah berjejer bahkan
hingga bibir pantai. Pusat perbelanjaan menjamur di manamana,
membunuh pasar-pasar tradisional. Investasi yang
digembar-gemborkan pemerintah nyatanya tidak
menyentuh kalangan bawah. Kesenjangan sosial makin
terbentuk.
Korupsi bahkan menjamur di tiap sendi
pemerintahan. Dari desa sampai Senayan, semua bekerjasama
menutupi boroknya. Pajak ditarik untuk memenuhi
169
brangkas mereka. Pemilu diadakan untuk melegalkan tahta
mereka. Setelah menang pemilu, mereka menjabat dan
mengumpulkan lagi uang ‘ganti rugi’, bahkan korupsi
untuk modal pemilu berikutnya. Dan rakyat sudah mulai
pintar, mereka paham siapa yang sebenarnya paling serakah
di bangsa ini, siapa yang paling bertanggung jawab atas
kemelorotan kesejahteraan mereka.
Demonstrasi banyak terjadi. Jika satu bulan yang
lalu banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk menuntut
temannya yang tewas tertembak. Kali ini demonstrasi juga
diramaikan oleh masyarakat biasa. Bermacam-macam cara
mereka menyampaikan kegelisahan, ada dari mereka yang
berkumpul di jalanan membawa cangkul, parang, bahkan
padi kopong yang dipetik karena gagal panen. Namun ada
pula yang lebih rapih dengan spanduk dan pengeras suara.
Dan peluang untuk menjadi anarkis juga makin besar. Itu
semua adalah indikasi bahwa bangsa ini sedang terpuruk,
sayangnya, tidak pula didengar oleh para penguasa.
Sementara itu Dira di kamarnya, tidak tahu
perkembangan itu dan asik-asik saja dengan Twitter-nya.
Namun ada yang menarik kali ini, Trending Topic di
Twitter adalah “#PresidenTurun”. Dira yang biasanya
tidak pernah tertarik untuk urusan perpolitikan, kali ini
merasa sedikit tertarik dan memutuskan untuk mencari
tahu kenapa ada topic semacam itu.
“@kupupagi: Klo bgini terus, hancur nih tanah air
gue. Mending presiden turun deh.. biar yg lain yg
memimpin.”
170
“@Janjimanis: 3. Harga pangan yg terus naik.
Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga, ada
kegelisahan di kelas menengah bawah. #PresidenTurun
“@Munar: Sdh jelas siapa yg mafia, jgn tunggu
lagi proses hukum! Ga bakal beres krna hukum dia yg
punya. #Presidenturun
“@irwan172: #PresidenTurun Kawan2
mahasiswa, kalian punya tanggung jawab atas masa depan
bangsa. Kita harus turunkan dia langsung!!!”
“@anCinta: terbukti bahwa nasionalisme rakyat
lebih besar dibanding presidennya. Kita butuh pemimpin
sejati! #PresidenTurun”
“@husni11: Ada apa sih pada ngomongin
#PresidenTurun? Emangnya kita punya presiden ya?
#gemes #garuktembok #bantingTV”
“@Pejuangabadi: Ayo kita turun ke jalan!! Tidak
usah basa basi lagi!! #PresidenTurun #PresidenTurun
#PresidenTurun
Beberapa Tweet dengan hastag “#PresidenTurun”
Dira baca, dan tak lama kemudian dia pun bosan. Dia tidak
peduli dengan urusan politik yang dia baca. Namun ketika
dia mencoba kembali ke laman depan Twitter, tidak bisa!
Dia coba lagi, namun lagi-lagi tidak bisa. Diceknya koneksi
modemnya, ternyata masih terhubung ke jaringan (baca:
online). “Mungkin Twitter lagi error..” Pikirnya.
Dira mulai bosan bermain di depan laptop,
terlebih lagi karena tidak bisa menggunakan Twitter. Dia
turun dari kamarnya dan melihat keadaan ayahnya di lantai
bawah.
171
“Pagi, Yah!”
“Pagi sayang, pasti belum mandi. Belum sarapan
juga. Iya, kan?” Berendel ayahnya.
“Hehe.. Hemat air dong, Yah! Kalau hari libur gak
usah mandi.”
“Hemat sih hemat, tapi mengganggu!”
“Kok ganggu?”
“Iya, kamu bau, jorok, merusak pemandangan.
Haha,” ayahnya tertawa.
“Ish! Mulai deh nyebelin! Anaknya sendiri malah
diledekin! Huhh!” Dira manyun, dia mengalihkan
pandangannya ke televisi yang ada di hadapannya.
“Akses Twitter secara tiba-tiba terhenti, banyak
orang mengeluhkan keadaan ini. Banyak dari mereka yang
berspekulasi bahwa ini adalah langkah pemerintah untuk
menghentikan gerakan-gerakan yang menuju anarkisme dan
pemberontakan terhadap pemerintahan.. kita masih
menunggu konfirmasi dari pihak pemerintah..”
“Wah! Pantesan aku tadi gak bisa Twitter-an.
Ternyata semua orang juga gak bisa.” celetuk Dira.
“Abangmu tadi telepon. Dia sekarang tugas
menjaga demo. Bantu doakan dia ya, Sayang. Keadaan
negara ini sedang buruk.”
“Kok tentara ikutan jaga demo? Biasanya kan
polisi. Iya kan, Yah?”
“Seminggu ini ada banyak bentrok polisi lawan
masyarakat, mereka pasti udah kewalahan. Makanya banyak
tentara yang ikut menjaga.”
172
Polisi? Irham. Dira teringat Irham. Di mana dia
sekarang? Kehilangan komunikasi dan juga tak ada kabar.
Mungkinkah dia juga sedang berjibaku di jalanan?
“Polisi gak ada yang meninggal kan, Yah?”
“Sudah ada, tapi belum jelas beritanya.
Demonstran juga ada yang meninggal. Ada yang kejepit pas
dorong-dorongan, ada lagi yang kena hajar sampe
meninggal. Kalau situasinya sudah begini, kasihan mereka ...
jadi aparat serba salah, sayang. Gak tega kalau harus mukul
rakyat, tapi juga harus patuh sama atasan,” terang ayahnya.
“Kenapa mereka harus demo? Selama ini negara
kita damai,” Dira penasaran. Demo besar seperti ini baru
pertama kali dilihatnya. Juga jadi lebih menegangkan,
karena seseorang yang dia kenal ada di sana; Irham.
“Hmm.. Kamu tuh harus banyak belajar. Harus
banyak menoleh ke bawah juga, jangan cuma malasmalasan
terus. Kalau ayah jelasin semuanya sekarang, bisa
abis sehari semalam. Hehe. Sarapan dulu sana, atau mandi!
Bau tuh badan kamu.” Ayahnya tersenyum.
“Ah! Ayah nih. Aku lagi nanya serius, malah
bercanda jawabnya!” Dira kecewa berat. Dia benar-benar
mengkhawatirkan Irham.
“Temen kamu kan ada yang sering ikut demo tuh.
Si Fajar itu! Dia sering demo, kan? Dia lebih paham dari
ayah, kamu bisa belajar banyak dari dia.”
Dira tertegun. Fajar! Nama itu kembali terngiang,
melayang-layang di pikirannya. Bagaimana keadaannya
sekarang? Semenjak kejadian melelahkan di malam itu,
Fajar juga sudah hilang komunikasi dengannya. Meski
173
pernah melihatnya di kampus, mereka tidak mengobrol.
Lalu sedang apa dia di musim liburan seperti ini?
Mungkinkah Fajar sekarang sedang berdemo di jalanan?
“Eh! Pagi-pagi malah ngelamun. Mandi sana!!”
Tegas ayah Dira, dia memencet hidung Dira dengan keras
seraya tertawa.
“Aduuh... sakit lho, Yah! Kasihan nih hidungku
dipencet terus. Bentaran deh mandinya, oke...” Dira berlari
menuju kamarnya, dia membuat ayahnya bingung dengan
tingkahnya pagi ini. Dira yang biasanya malas membahas
berita, kini begitu antusias, banyak tanya, tapi kemudian
dia pergi begitu saja.
Dira mengambil ponsel yang tergeletak di meja
belajar, tepat di samping foto ibu. Dengan tergesa-gesa dia
menelpon Novi.
“Nov, gimana kabar kamu?”
“Somboooong! Baru nanya kabar lagi. Hehe. aku
baik kok, kamu gimana?”
“Aku juga baik. Eh, kalau liburan begini kamu itu
masih demo atau nggak?” Tanya Dira.
“Aku sih nggak. Tapi temen-temen yang lain
masih demo. Kenapa?”
“Kalau Fajar masih demo gak?”
“Fajar? Ada apa nih nanya Fajar? Ehm, Hehe,”
“Gak ada apa-apa kok, cuma nanya aja. Kalau gak
mau jawab juga gak apa-apa.” Dira panik. Dia masih
mencoba mengingkari bahwa sebenarnya dia khawatir akan
keadaan Fajar.
174
“Hehe... Dia masih sering demo, Ra. Gak ada kata
liburan buat dia dan temen-temennya itu. Aku juga sempet
diajak, tapi gak dikasih izin sama papaku, makanya gak
ikut.”
“Dia biasanya kumpul-kumpul di mana? Aku mau
ketemu dia.”
“Yaelah, telepon aja langsung orangnya.”
Dira lama tak membalas ucapan Novi.
“Nov! Aku minta tolong sama kamu. Boleh kan?”
Ucap Dira pelan.
“Apa? Pasti aku bantu kalau emang bisa.”
“Tolong cari tahu kabar Fajar. Jangan tanya
kenapa aku gak telpon dia langsung! Aku gak bisa, Nov!
Aku harap kamu ngerti dan mau bantu.”
“Oh... begitu. Sebenernya sih aku gak ngerti. Hehe.
Tapi aku bisa nyari kabar dia kok. Kamu tunggu aja kabar
dariku, oke?”
“Oke, aku tunggu. Makasih banget, Nov. Kamu
emang temenku satu-satunya, yang baik hati dan cantiknya
tiada tara. Hehe..” Guyon Dira.
“Iya iya mba cantik. Jangan mikirin Fajar terus,
nanti stres lho kamu ... Dulu aku malu buat ngobrol sama
Fajar, kamu yang sok berani. Sekarang malahan kamu yang
malu-malu begitu. Dunia ini memang aneh! Haha.”
Obrolan itu terhenti dengan penuh canda. Namun
Dira masih harus berjuang menahan rasa was-was yang
menyelimutinya. Fajar, Irham, bagaimana kabar mereka?
***
175
BAB 19
Yang Lemah
14 Juni 2012
Jam 10.10 Pagi.
Berita pagi kembali menjadi sarapan yang bergizi
bagi ayah Dira. Tiada hari tanpa berita. Pagi ini
pemberitaan tentang demonstrasi besar-besaran kembai
terjadi.
“Polres Metro Jakarta Selatan diserang oleh
massa. Polisi tidak dapat menahan gelombang massa yang
begitu besar...”
“Beberapa orang dilaporkan tewas tadi malam. Kita
bersedih dengan keadaan yang terjadi ini. Semoga saja ini
cepat berakhir.. ”
Hampir semua saluran televisi memberitakan
tentang demo di berbagai tempat. Amarah sudah menguasai
kalangan bawah bangsa ini. Semakin banyak orang yang
turun ke jalan. Semakin banyak pula korban berjatuhan.
Ayah Dira yang biasanya banyak berbicara kali ini
lebih banyak diam. Pandangannya terfokus pada layar
televisi, “ini harga yang sangat mahal untuk sebuah
perubahan. Seharusnya ini tidak terjadi.” Lirihnya.
176
“Penutupan akses Twitter justru membuat massa
semakin marah. Semakin banyak yang turun ke jalan.
Mereka mengalami baku hantam dengan polisi, bahkan
sekarang pihak militer juga ikut membantu polisi...” Lanjut
seorang reporter.
“Jika kalian memukul polisi hanya karena Twitter
ditutup, lebih baik kalian kembali ke rumah! Orang seperti
kalian tidak dibutuhkan!! Hanya memperburuk suasana.
Pulanglah!” Teriak pak Herman.
Dira turun dari kamarnya karena mendengar
teriakan ayahnya yang keras. Dia menghampiri ayahnya
yang sedang duduk tegang menghadap televisi.
“Ada apa Ayah? Jangan marah-marah, nanti
tambah sakit!”
Ayahnya hanya diam, dia terlihat menundukan
wajahnya seakan mendapati kekecewaan.
“Ayah kenapa?” Tanya Dira.
“Gak apa-apa, ayah cuma sedikit pusing. Mau
istirahat.” Pak Herman melangkahkan kakinya menuju
kamar.
Untuk pertama kalinya, ayahnya terlihat sangat
lelah menonton televisi. Biasanya dia hanya marah-marah
dan tidak meninggalkan berita yang dilihatnya. Dira
khawatir dengan keadaan ayahnya itu, namun tak banyak
juga yang bisa dia lakukan.
Dira duduk di sofa menyimak berita.
“Saya menyaksikan langsung dua orang
demonstran tewas ditembak. Ini kejam!! mengerikan!! Para
177
polisi dan tentara itu bukan manusia, mereka robot!!”
Wawancara langsung seorang reporter yang ada di lokasi
demonstrasi.
Dira terpaku melihat kekerasan itu. Gambargambar
yang disuguhkan berita itu sangat mengerikan. Ada
orang yang diseret di atas aspal, entah masih bernyawa atau
tidak. Banyak orang berlarian, api membakar tiap gedung
besar, asap mengepul di mana-mana, mereka saling lempar
batu, bahkan ada yang tergeletak tanpa ada yang
memperdulikan. Ini mengerikan.
Tiba-tiba Dira dikejutkan ponselnya yang
berdering. Ada telepon masuk dari Novi. tanpa pikir
panjang dia pun langsung menerima panggilan itu.
“Halo, Ra!!” Novi terdengar panik.
“Iya, Nov. Kenapa?”
“Ke sini sekarang! Aku lagi di rumah sakit. Kepala
Fajar berdarah-darah, kena batu!!”
Dira kembali terkejut, dia diam cukup lama, sulit
baginya untuk meyakini ini nyata. Selama ini dia di rumah
tanpa tahu perkembangan lingkungannya. Yang dia tahu
Indonesia damai-damai saja, ternyata sudah sekisruh ini
keadaannya.
“Raaaaa!!!” Teriak Novi.
Dira kembali sadar, “Rumah sakit mana?!! Aku ke
sana sekarang, Nov!”
***
178
Jam 11.01 Siang.
Dira tiba di rumah sakit tepat ketika Fajar mulai
sadarkan Diri. Ada Novi yang sedang duduk menemani
Fajar yang tergeletak beralas kasur tipis di atas lantai. Di
sekitarnya begitu banyak orang lalu lalang. Kepanikan dan
darah ada di mana-mana, keadaan seperti ini belum pernah
dilihat Dira sebelumnya.
“Nov!” Dira menepuk pundak Novi.
Fajar memalingkan wajahnya.
“Dia baru sadar, Ra. Tapi juga belum ngomong
apa-apa. Kata temennya sih dia kena batu.”
Dira mendekat. Dia duduk tepat di samping
tubuh Fajar. Kepala Fajar diperban, bajunya sudah sangat
kotor dan terdapat banyak bercak darah.
“Kamu sampe ngambil resiko begini, Jar.” Dia
menggenggam tangan Fajar, terasa sangat kasar dengan
debu dan lecet, “orangtua kamu tahu keadaan kamu ini?”
“Udah, Ra, aku gak apa-apa. Gak penting juga
bilang ke ortu! Kamu lebih baik pulang deh, Ra.” Fajar
seketika berubah tidak ramah.
“Mana HP kamu, biar aku yang kasih kabar ortu
kamu! Kamu harusnya dapet perawatan lebih baik dari ini.”
Dira sangat khawatir melihat keadaan Fajar. Dia berusaha
merogoh saku celana Fajar untuk mengambil ponselnya.
Namun Fajar menahan tangannya dengan kuat.
Keluarga Fajar adalah orang yang kaya, tidak
seharusnya dia tergeletak di rumah sakit dengan perawatan
minim. Menurut Dira, perilaku Fajar ini adalah kebodohan.
179
Namun bagi Fajar, ini adalah pilihan hidup. Keluarga Fajar
tidak pernah setuju terhadap pilihan hidup anaknya ini.
Fajar selalu mendapat tekanan karena sering demo–yang
menurut orangtuanya demo itu sangat tidak penting. Tidur
di kasur mewah tidak membuat Fajar tenang. Dia lebih
bangga jika terbaring berdarah-darah dalam
memperjuangan hal dia yakini sebagai kebenaran.
“Ra! Dengar! Aku gak apa-apa oke! Sekarang kamu
lebih baik pulang! Oke!” Fajar menatap Dira dengan tajam.
“Kenapa sih, Jar?! Kamu kok keras kepala.”
Fajar sedikit bangun dan berusaha duduk
bersandar di tembok, “aku lebih nyaman di sini! Aku
perjelas nih, Ra! Ortuku gak akan peduli, jadi gak usah
repot-repot buat hubungin mereka,” dia menatap Dira,
“Sekarang kamu pulang!! Ok?!” Fajar mengusir Dira.
Dira begitu takut melihat Fajar dengan keadaan
seperti itu. Badan berdarah-darah, sedang lidahnya penuh
amarah. Dira lemas, kelopak matanya berkedip rapat
seakan menahan jatuhan air mata. Dia menahan rasa sakit
dari ucapan Fajar yang kasar terhadapnya. Dia diusir.
“Ok kalau mau kamu begitu. Aku pulang.”
“Ayo, Nov, kita pulang!” Ajak Dira menggenggam
tangan Novi yang dari tadi berdiri di dekat mereka.
“Aku belum bisa pulang, Ra! Masih ada yang harus
aku cari.”
Dira menatap matanya, “oke. Bye Nov. Hatihati...”
Dira berjalan cepat menjauh dari ruangan itu.
180
Raut wajah Fajar seketika berubah, kini tergambar
kesedihan dan kelemahannya. Dia hantamkan bagian
belakang kepalanya ke dinding, serta merta digenggamnya
kasur tipis itu dengan kasar. Kekisruhan bangsa ini
membuatnya lelah dan serba salah.
***
Jam 04.07 Sore.
Semenjak pulang tadi, Dira masih duduk di depan
televisi. Dia menonton berita tiada henti. Meski lelah
melihat kekerasan itu, rasa penasaran menahannya untuk
tetap duduk dan menyaksikan. Sedih hadirkan pedih kala
melihat itu, rasa iba akan para korban membuat Dira
tertegun tanpa kata. Pengunjuk rasa itu terlihat sangat
bersemangat meski mereka berdarah-darah.
“Dira...” Sahut ayahnya dari belakang sofa. “Ayah
pergi dulu. Kamu di rumah aja ya, sayang,” sambungnya.
Ada yang berbeda dengan pak Herman, dia memakai jaket
kulitnya, lengkap dengan topi dan sarung tangan, juga tas
kecil punggungnya.
“Ayah mau ke mana?” Dira heran.
“Ayah mau keluar sebentar...”
“Ke mana?”
“Mmm, sayang, ayah harus ke sana.”
Dira bangkit dari sofa, dia sudah menerka maksud
ayahnya, “Ke sana? Maksud ayah? ikut Demo! Gak!! Gak
boleh. Aku gak setuju!”
“Dulu, ayah pernah buat salah. Sekarang ayah mau
nebus kesalahan itu. Ayah harap kamu ngerti...”
181
Darah Dira mengalir deras. Seorang yang dia cintai
akan kembali menjauh dari hidupnya. Ini sama sekali bukan
yang dia inginkan.
“Sayang, dengarkan... Waktu itu, ayah masih
muda. Ayah begitu taat dalam menjalankan tugas.
Sekarang, tiap hari ayah merasa bersalah karena pernah
melepas peluru. Ayah pantas mendapatkan kembali peluru
itu, tepat di dada ini. Ayah mohon kamu bisa paham ...
Kamu tenang ya, ayah pasti pulang kok. Inget! Ayah ini
tentara lho,” Ayahnya tersenyum.
Meski terlihat sangat gagah, Dira tetap khawatir
pada ayahnya. “Aku gak akan pernah maafin ayah karena
ninggalin aku sendirian!”
“Tolong ayah, sayang. Ayah gak bisa berdiam diri
melihat ini semua. Pilihan ini memang berat, tapi ayah
sudah memikirkannya matang-matang. Ayah pasti pulang!
Oke? Senyum dong.”
Dira tetap dengan wajah pilunya.
Dira dipeluk dengan lembut. Dia sangat ingin
menahan ayahnya, namun sang ayah sepertinya sangat ingin
berdemo, membuat Dira terpaksa melepasnya pergi.
“Jangan lama-lama...” Lirih Dira.
“Ayah pasti pulang secepatnya.” Pak Herman
menatap anaknya itu, Dira. Seakan menyampaikan pesan
bahwa dia tidak akan kembali. “Ayah berangkat dulu ya.
Kalau si bibi butuh uang buat masak, uangnya ada di laci
lemari.”
“Ayah jangan pergi ke tempat yang ada keributan.”
182
“Iya-iya. Kamu jaga diri di rumah. Ayah cuma
sebentar kok.” Pak Herman tersenyum lembut.
***
“Prak!!” Batu menghantam tameng.
Bom molotov beterbangan menghantam mereka,
polisi, yang tengah menjaga lingkungan DPR/MPR dari
para demonstran. Kobaran api mewarnai senja hari itu,
gersang, merobek kulit mau pun hati. Ingin rasa berteriak
bahwa dirinya tidak mengerti selain tugas, dirinya tidak
pahami selain beringasnya keadaan.
Irham berlindung di balik tameng hitam. Bersama
para polisi lain, dia bersabar dalam kepungan massa. Water
canon sudah dikerahkan, menembak mereka tanpa belas
kasihan. Tapi massa memang punya semangat yang lebih
deras dari itu—mereka tidak bisa dipukul mundur.
Irham sudah di sana dari beberapa hari yang lalu.
Mempertahankan gedung bisu itu dengan energi yang tak
terkira. Gedung bisu; rakyat memperjuangkan haknya di
sana, mengutus wakil-wakil mereka yang nyatanya para
pelupa. Rakyat menjerit kelaparan, wakilnya ribut
mengganti kendaraan, makin mewah.
Jiwanya sudah lebih dulu mati. Ketika tangan dan
kaki berkhianat menjauhi nurani. Irham; dia lelah, merasa
asing dari dirinya sendiri. Merasa bingung akan apa yang
dia lakukan di sana. Apa peranannya?
Inikah revolusi? Ketika rakyat mengambil kembali
haknya sebagai tokoh utama di bangsa ini. Ketika
pemimpin yang legal berusaha ditumbangkan, diusir ke
tanah yang terasing bagi jiwanya. Inikah revolusi? Darah
183
mengalir mengisi selokan, peluru menghujam dada-dada
yang berisi kepedihan. Pagar-pagar berseragam di pasang
melingkar, menjadi tameng bagi mereka yang tersudut
dalam kekuasaan.
Bukan! Ini bukan revolusi. Ini hanya pembunuhan
penguasa oleh rakyat yang tak tahan lapar. Revolusi; ke
arah mana bangsa berubah; paradigma baru dalam pikirnya;
visi-misi terbaharu dalam langkah; perubahan dan
kemajuan; berubah.
Lalu, di mana letak cinta, saat ini ketika saling
pukul tanpa rasa? Di tiap lemparan batu yang terjajah?
Ataukah di kepala penguasa yang keras tiada tara? Ataukah
cinta hanya tersisa di hati seorang gadis muda yang tak
pahami apa-apa?
184
185
BAB 20
K e t a k u t a n
15 Juni 2012
Jam 07.08 Pagi.
Suasana rumah sangat sepi. Ayah Dira belum
pulang dari kemarin sore. Kini hanya ada Dira dan seorang
pembantu rumah tangga; bi Inah. Pagi ini terasa lebih
dingin dari biasanya. Dira turun dari kamar dan langsung
menyalakan televisi di lantai bawah.
“...Presiden belum mengeluarkan pernyataan
langsung.”
“Kabar terbaru yang kami dapat, sudah ada
sepuluh orang lagi yang meninggal akibat kerusuhan ini..”
“Pemerintah memberlakukan jam malam. Warga
dilarang keluar rumah jika sudah jam empat Sore..”
Dira terlihat gelisah karena semua berita itu. Dia
memikirkan keadaan ayahnya, juga kakaknya yang seorang
tentara. Dia kesepian dan ketakutan. Tiba-tiba dia ingat
Irham kembali. Irham juga seorang polisi. Bagaimana
keadaannya sekarang?
Dira menggenggam ponselnya, lalu mengetik
sebuah SMS.“Gmna kabar kamu? Kamu baik2 aja kan?”
186
Tanpa basa basi lagi, perasaan khawatir itu tertuang
langsung dalam kata-katanya.
Namun cukup lama Dira mengirim SMS tidak ada
balasan juga dari Irham. Setelah dia cek kotak terkirimnya,
ternyata SMS itu memang tidak sampai pada Irham. Dira
menelpon Irham, namun juga tidak bisa dihubungi.
Nomernya tidak aktif.
“Neng, sarapan dulu atuh. Bibi udah masak tuh..”
Ucap bi Inah dengan logat Sunda yang kental sambil asik
menyapu lantai.
“Iya, Bi. Nanti aku makan. Aku belum laper.”
“Bapak pasti marah kalau tahu neng belum
sarapan. Nanti sakit loh, neng.”
“Gimana kabar ayah ya, Bi? Aku takut...”
“Kita doakan saja neng ... Bibi juga khawatir sama
keluarga bibi,” terang bi Inah. Dia terus menyapu ruangan
itu, hingga makin menjauh dari Dira.
“...Bentrokan antara Polisi dan Massa semakin
parah.”
Detik demi detik Dira lewati di depan televisi.
Begitu sulit untuk beranjak dari layar televisi itu, dia takut
ada berita yang terlewatkan olehnya. Ini tentang orangorang
yang dia sayangi, yang kini berjibaku di jalanan,
bahkan satu sama lain mungkin sedang saling serang. Di
sisi mana dia berpihak? Di sisi mana dia terwakili? Tidak
ada satupun. Dia tidak terwakili oleh pihak mana pun.
Tidak pula membela. Dia tidak paham tentang
perpolitikan bangsa ini, pun tentang apa demonstrasi itu.
187
Yang dia pahami hanyalah keberadaan orang-orang yang
dia sayangi kini dalam bahaya.
***
16 Juni 2012
“Pidato presiden itu sama sekali tidak akan
membantu! Saya makin kecewa. Tidak usahlah dia prihatin
kepada kami. Tidak ada satu pun yang memprovokasi
kami!! Saya lebih prihatin kepada dia, karena punya kuping
dan hati tapi sudah rusak!!”
Dira melihat saluran televisi yang lain,
“Para pemuka agama, akademisi, dan orang-orang
yang mengaku peduli pada bangsa ini, mereka berkumpul
dan mendesak presiden agar segera mundur. Mereka juga
merumuskan tuntutan para pengunjuk rasa...”
Dira mencoba menghubungi ayahnya, Irham, Novi,
bahkan juga Fajar, namun selalu gagal. Karena saluran
komunikasi juga sudah dimatikan oleh pemerintah. Kini
dia benar-benar buta dan tuli tentang keadaan mereka.
***
18 Juni 2012
“Di sepanjang jalan menuju gedung DPR masih
banyak massa yang berkumpul, bahkan semakin hari
semakin bertambah..”
“Korban tewas sudah mencapai delapan puluh
orang. Ini mimpi buruk.. Bangsa ini hancur..”
Kekhawatiran semakin menjadi. Dira tidak tahan
untuk terus berdiam diri. Gejolak untuk bergerak mulai
muncul dalam dirinya. Perlahan tapi pasti dia
188
memberanikan diri, berpikir untuk keluar dari rumah dan
mencari mereka langsung.
Jam 01.14 Siang.
Dia naik ke kamarnya, mempersiapkan diri untuk
menghadapi sesuatu yang berat. Tanpa sengaja dia
menatap foto ibunya. Hatinya makin terenyuh melihat
sejuknya wajah Ibu. Andai ada ibu di sisi, mungkin ini
tidak akan seberat yang dirasa sekarang. Bagaimana keadaan
ibu? Bertambah lagi beban dalam pikirannya.
Dia beralih dari wajah ibu, lalu membuka lemari
baju untuk berganti pakaian, namun saat itu pula dia
melihat jaket Irham yang tak sempat dikembalikan.
Tergantung di sana. Terlintas akan Irham, termenung
tanpa kata, untuk sejenak dia hanyut pada perasaan rindu
itu. khawatir; cinta; menyatu dalam irama kekalutan.
Dira tersadar kala matanya hampir mentitikkan air
mata. Lalu bergegas, mengambil kunci motor yang
tergeletak di meja. Ketika suasana tidak aman hadir,
kekhawatiran pun menjelang, maka saat itu orang-orang
terdekat di hati mencuat dalam bayang. Membuat batin
digoyang gelisah tanda sayang, tiada hentinya.
Akhirnya, Dira melangkahkan kakinya. Langkah
demi langkah sambil menambah keberanian. Dia tidak akan
goyah meski jalanan itu terlihat sangat menyeramkan.
Meski ada rasa takut, namun itu dilawan dan kalah oleh
rasa cinta yang besar.
“Neng, mau ke mana?” Tanya bi Inah, dia sedang
memberi makan burung di depan rumah.
189
“Aku pamit pergi dulu, Bi! Jaga rumah ya.” Dira
berjalan dengan cepat menuju garasi sambil menenteng
helm. Dia mengeluarkan motornya. Mengenakan kembali
helm hitamnya yang sempat menganggur itu.
Dira menghidupkan motornya.
“Brum. Bruuuum..”
“Hati-hati ya, neng!” Teriak Bi Inah.
Dira keluar dari pekarangan dan melesat dengan
cepat di jalanan. Baru beberapa ratus meter di jalan, dia
sudah menemukan keanehan. Jalanan begitu sepi, tidak
ramai seperti biasanya. Namun dia terus melaju, bahkan
lebih cepat.
Lalu dia kembali terkejut, kali ini dia melihat pos
polisi di mana Irham biasa berjaga, sudah habis terbakar.
Tidak ada lagi polisi yang berjaga di sana, hanya ada debu
dan arang bertebaran. Rasa khawatir pun semakin
menggerayangi hatinya. Dia memperlambat motornya,
berharap akan melihat Irham di tempat itu. Namun tempat
itu memang sudah ditinggalkan.
Motor kembai dipacu dengan kecepatan lebih dari
90 Km/Jam, sedangkan pikirannya berjibaku mencari jalan
keluar, akan ke mana dia pergi. Ayahnya sudah memilih
jalan hidup, biarkan dia menebus salahnya yang lalu. Fajar
berdemo dan mengusirnya, itu menyaktikan. Irham?
Bagaimana kabarnya. Cinta yang masih kental rasanya,
membuatnya begitu khawatir akan Irham. Dira
memutuskan untuk mencari Irham. Namun ke mana dia
harus mencari? Jakarta ini luas dan Irham bisa ada di mana
saja. Belum tentu juga Irham ada di Jakarta, dan belum
190
tentu juga dia sedang menjaga demonstrasi. “aaarggh.”
Pikirnya berontak, kebingungan ini makin membuatnya
sedih.
Akhirnya dia putuskan kembali ke rumah sakit,
berharap Fajar masih ada di sana. Ketika dia masuk dan
mendatangi tempat Fajar berbaring, ternyata Fajar sudah
tidak ada di tempat itu. Yang ada hanya seorang polisi yang
kepalanya diperban. Dia berbaring tak berdaya, mata
kirinya menatap ke arah Dira.
Dira menghampiri polisi itu, “orang yang kemarin
di sini, kapan perginya? Ke mana dia?” tanpa basa-basi Dira
memborbardir orang itu dengan pertanyaan.
“Saya tidak tahu.”
Dira kecewa mendengar jawaban itu. Fajar sudah
tidak ada, dan kebingungan kembali menghujam. Ke mana
dia akan mencari. Dira membalikkan badannya dan
melangkahkan kaki meski tak tahu akan ke mana dia pergi.
“Eh, tunggu!!” Polisi itu menahan langkah Dira,
“kamu temannya Irham kan?” Tanyanya.
Dira terkejut. Bersamaan dengan itu semangatnya
mulai kembali datang. “Iya, iya!! Di mana Irham?!” Dira
menghampiri lagi polisi itu. Dia duduk di sampingnya,
berharap mendapat jawaban yang menenangkan.
“Irham di gerbang DPR. Tapi tidak tahu kalau
sekarang.”
“Makasih!” Dira beranjak dan berlari menuju
motornya. Tidak menghiraukan orang-orang menjerit di
sekitarnya. Rumah sakit itu sangat sibuk. Orang-orang
terluka ada di mana-mana. Sungguh mengerikan. Namun
191
jika sudah terluka seperti itu bahkan polisi pun berbagi
ranjang dengan demonstran. Tidak ada lagi pertengkaran,
yang ada tinggal kesakitan.
***
Jam 05.25 Sore.
Dira sudah dekat dengan gedung DPR, jalanan
sangat ramai. Meski jam malam diberlakukan, orang-orang
ini sepertinya tidak peduli dengan itu. Mereka berduyunduyun
menuju arah yang sama dengan Dira.
Semakin dekat dengan gedung DPR suasananya
semakin ramai. Dira sudah tidak bisa menggunakan
motornya karena jalanan sudah penuh oleh manusia. Dia
memarkir motornya di bahu jalan, dan berlari secepat dia
bisa. Ada banyak juga kendaraan yang ditinggal begitu saja
oleh pemiliknya.
Orang-orang di sekitar Dira berjalan dengan cepat
dan berteriak keras.
“Turunkan presiden!!”
“Bubarkan DPR!!”
“Ganti Kapolri!!”
“Ganti jaksa agung!!”
Mereka berteriak dengan satu komando yang sama.
Sedangkan Dira terus berlari menerobos mereka. Semakin
dekat dengan gedung DPR, dia sudah tidak bisa berlari,
karena ramainya keadaan.
Tiba-tiba kerumunan itu berbalik arah dan berlari
ke arah berlawanan dengan Dira. Dira terkejut, namun dia
yang tidak mengerti apa-apa, langsung saja dia ikut berlari.
192
Kemudian, batu-batu menghujam ke arah mereka. Beberapa
orang terlihat dibopong dan berdarah. Sebagian yang lain
tetap berlari meski wajah mereka penuh darah.
“Maju! Majuuuu!!! Lempar lagi! Jangan mundur!!”
Teriakan di antara kerusuhan itu.
“Heh, bikin molotov lagi!”
“Ayo majuu!!!”
Suara-suara itu terdengar menyeramkan. Kerusuhan
kini sudah ada di depan mata Dira, dia hanya terpaku
melihat itu semua. Tubuhnya bergetar karena tak siap
dengan situasi ini. Batu-batu berterbangan ke arahnya,
namun Dira tetap diam.
Gas air mata ditembakan oleh polisi. Salah satunya
mendarat di dekat Dira. ketika orang lain menghindar dan
menutupi wajahnya. Dira masih berdiri di sana dan masih
tidak bergerak. Dia hanya diam, matanya menatap kosong
seperti hilang kesadaran.
Lalu di saat yang tepat, seseorang menariknya
keluar dari asap yang pedih itu tepat sebelum asap itu
menelan seluruh tubuh Dira. dia membawa Dira ke pinggir
jalan, menepi ke tembok di mana ada banyak orang yang
sedang terluka di sana.
“Dira!!” Tegur orang itu. Dira menoleh ke segala
arah, dia semakin bingung dan tidak memperdulikan orang
di hadapannya. Lalu orang itu menatap wajahnya,
“Hey! Hey! Tenang.. Ini aku, Fajar!”
“Jaar...”
193
“Kenapa kamu ke sini?” Fajar menatapnya dengan
tajam. Mereka berdekatan di tembok itu. Merapat dan
menghindari lemparan batu dan gas air mata.
Dira menitikkan air mata, entah karena sedih atau
karena pedihnya gas itu. Namun yang pasti terlihat, wajah
cantik itu kini tengah menangis. Mungkin ini sangat berat
baginya. Ketakutannya sangat besar karena keadaannya
sangat mengerikan. Darah di mana-mana. Berkali-kali pula
terdengar suara tembakan, dan tiap dentuman dan letusan
itu terasa merobek hati.
“Dira...” Fajar menggenggam tangan Dira, “kamu
harus pulang,” sambung Fajar.
“Jar, kamu lihat Irham?”
“Irham? ... Irham gak ada di sini.”
“Bohong!!” Bentak Dira.
Hening.
“Jawab yang jujur!” Sambung Dira.
“... Iya, aku lihat dia,” jawab Fajar.
“Terus? Kalian ngelempar dia pake batu?! Kalian
ini kejam ya!” Dira melepas tangan Fajar.
“Diraaa.. tenang! Aku gak bisa berbuat apa-apa.”
Fajar menatap Dira dalam-dalam.
Dira mengacuhkan Fajar. Dia berlari ke dalam
kerumunan. “Jangan lempar!!” Teriaknya. Dia berusaha
menghentikan orang-orang itu agar tidak lagi melemparkan
batu, tidak lagi menyerang para polisi. Dira mendekati
seorang yang hendak melempar batu, dia menahan tangan
orang itu, “Aku mohon... Jangan lempar batu itu!” Dira
194
meminta dengan sangat tulus, air matanya terus mengalir.
Namun orang itu mengacuhkannya dan terus melempar,
bahkan dia tidak menoleh pada Dira sama sekali. Dira
kembali menghampiri orang lain yang melempar batu,
“berhenti! Berhenti...” Dira menggenggam baju orang itu,
menariknya dengan keras, namun dia kembai diacuhkan.
Tanpa patah semangat, dia mendekati orang selanjutnya,
namun hal yang sama kembali terjadi. Tidak ada yang
mendengarkan!!
Orang-orang ini seperti kerasukan setan. Mereka
sama sekali tak peduli pada air mata Dira. Sebuah batu
mengenai tangan kirinya, namun dia terus berteriak lantang
untuk menghentikan mereka. Sementara itu, Fajar mengejar
di belakangnya.
Banyak sekali orang di sana, Fajar kesulitan. Tak
lama kemudian Fajar berhasil menarik Dira dari belakang,
lalu menyeretnya kembali ke tempat aman. “Kamu harus
pulang!! Kenapa sih gak mau dengerin aku!!” Fajar
membentak Dira.
“Memangnya kamu siapa?!” Dira melepas
cengkraman tangan Fajar.
“Aku sayang kamu, Ra. Aku gak mau kamu
terluka! Ayo, aku antar kamu pulang!” Tegas Fajar. Dia
menarik kembali tangan Dira.
Namun Dira kembali menepisnya, “Lepas!!”
Bentaknya. Hening sejenak. “Tolong pahami aku juga,
Jar...” Dira meneteskan air mata, “aku sayang Irham. Aku
gak mau dia terluka.” Dira menatap Fajar, “kamu pasti
ngerti gimana perasaanku kan? Iya kan, Jar?”
195
Fajar diam, lalu membuang tatapannya. Jawaban
Dira menusuk hati. Begitu pedih dan menyesakkan. Dia
sangat khawatir akan keadaan Dira, namun ternyata Dira
lebih rela terluka untuk mencari Irham. Fajar tetap
berusaha tenang dan tak terlihat menyedihkan.
“Kamu mau ketemu Irham?” Fajar berusaha
mengalahkan rasa sedihnya. Mencoba menekan itu dan
tetap menjaga Dira. “Mungkin aku bisa bantu, tapi setelah
itu kamu harus pulang,” sambung Fajar.
“Cukup. Aku bisa sendiri!”
“Tolong, Ra! Ijinkan aku buat jaga kamu, di sini
berbahaya! Kamu lihat kepalaku ini? Gimana kalau kamu
yang kena?” Fajar menunjuk kepalanya yang dibalut
perban, berwarna merah karena darah yang terus mengalir.
Dira tak menjawab.
“Sekarang kita mundur dulu. Pagi-pagi baru kita
ke sini lagi. Biasanya yang bentrok lebih sedikit kalau pagi.
Aku udah tahu kok Irham di mana,” terang Fajar. Dia
berusaha meyakinkan Dira. Terlalu banyak resiko yang
harus diambil.
“Tapi kamu harus janji! Jangan bohong!”
“Aku janji!”
196
197
BAB 21
Markas
Jam 06.04 Malam.
Dira dan Fajar menuju ke tempat yang jauh dari
kerusuhan. Sepanjang jalan mereka tak banyak bicara.
Wajah Dira tertunduk lesu. Sedang Fajar terus waspada,
matanya menelanjangi semua sudut jalan, berharap tak ada
satu pun masalah yang ditemui. Dalam keadaan seperti ini,
banyak berandalan dan orang-orang yang memang senang
mengganggu. Para penjarah dan pencuri pun tak segan dan
malu untuk beraksi.
Beruntung bagi Dira. Motornya masih ada di
tempat semula. Meski lubang kuncinya terlihat sedikit
lecet. Mungkin seseorang mencoba untuk mencurinya.
Dengan sigap, Fajar meminta agar dia saja yang
mengendarai motornya.
Fajar membawa Dira ke tempat yang aman. Fajar
berputar-putar mencari jalan agar terhindar kerumunan
massa. Cukup lama mereka di motor hingga mereka tiba di
kawasan Gelora Bung Karno. Dira turun dari motornya dan
dituntun langsung oleh Fajar. Kala itu Fajar menggenggam
tangan Dira dengan sangat erat seakan takut dia akan
kembali lari.
Di sana sangat ramai, ada banyak tenda berdiri
kokoh. Tenda-tenda besar terbuka yang diisi oleh banyak
198
orang terluka. Terlihat pula beberapa orang yang merawat
mereka. Sepertinya rumah sakit sudah tidak dapat
menampung banyaknya korban, sehingga tempat ini jadi
lokasi perawatan.
Dira terus mengikuti Fajar, kali ini dia melangkah
di antara orang-orang yang terlihat lebih santai. Di samping
kirinya ada tenda kecil berwarna biru, seorang lelaki sedang
membaca buku di pintunya, sambil sesekali menghisap
rokoknya. Lalu ada tenda yang lebih besar, banyak orang
berbincang di depan tenda itu. Mereka terlihat serius,
seorang diantaranya berbicara dengan penuh semangat
sementara yang lain fokus mendengarkan.
“Noviii!!” Sahut Fajar. Dia memandang ke segala
arah, mencari sosok Novi yang biasanya ada di tempat itu.
Dira termenung, menerka, apakah Novi yang
dipanggil Fajar ini adalah Novi, temannya? Ataukah Novi
lain? Dia berhenti melangkah ketika melihat sosok Novi
mendekat. Iya, ini Novi, sahabatnya. Ada yang berbeda dari
Novi, kini wajahnya kusut, tak seperti biasanya yang selalu
tampil cantik. Tubuhnya berbau keringat dan tak terawat.
“Iya!” Jawab keluar dari Novi sambil berjalan
menghampiri Fajar. Novi terkejut ketika melihat Dira di
hadapannya, “Dira? Kok bisa ada di sini?” Tanyanya penuh
keheranan. Matanya memandang Dira dari ujung rambut
sampai kaki, sedang tangannya juga meraih tubuh Dira,
“kamu gak apa-apa kan?”
“Aku baik-baik aja, Nov.”
“Bawa dia ke tenda kamu! Masih ada tempat, kan?”
Tanya Fajar.
199
“Siap. Masih ada kok,” jawab Novi. Tanpa
menunggu perintah lagi, dia menggandeng lengan Dira.
sedang Fajar tak mengikuti mereka dan justru berbalik
arah.
“Kamu bisa ada di sini, Nov? Ini pasti bukan
kamu,” Dira bertanya pelan, dia terkejut menyaksikan Novi
dalam keadaan seperti ini. Seakan tak percaya, di antara
kerasnya jalanan ini ternyata dia bisa berjumpa dengan
Novi, orang yang biasanya bergaya manis, cengeng, juga
tidak suka kotor.
“Heran ya? Ini aku kok, Ra..” Mereka terus
melangkah, lalu tiba di sebuah tenda kecil berwarna kuning.
“Silahkan duduk, Ra! Tunggu di sini, aku ambil minum
dulu,” ujar Novi.
Dira duduk di pintu tenda itu. Tak lama berselang.
Novi datang membawa gelas besar. Meski masih jauh,
aroma susu hangat sudah menyeruak dari bibir gelas.
Semakin dekat semakin tercium oleh Dira. Novi lalu
duduk di sampingnya dan memberikan susu hangat itu.
“Aku nyari Irham,” Dira membuka percakapan,
kedua tangannya menerima segelas susu itu lalu
menggenggamnya dengan erat. Hangat.
“Irham ... Aku sempet ketemu dia.”
“Hah?! Kamu beneran ketemu dia? Kapan, Nov?
Di mana?” Dira sangat terkejut mendengar jawaban Novi.
Dia ingin tahu keberadaan Irham. Dengan susah payah dia
mencarinya, akhirnya ada sedikit titik terang yang terlihat.
Harap-harap cemas dia menunggu penuturan dari Novi.
200
Novi duduk memeluk lututnya, lalu mulai
bercerita, “pas demonya belum se-anarkis sekarang ini. Lagi
dorong-dorongan gitu, aku ngeliat Irham. Sebelumnya, aku
gak begitu yakin sih itu Irham, soalnya dia pake helm.
Tapi, pas dia ngeliat aku, dia langsung bengong gitu, Ra ...
terus dia mundur ke belakang. Makanya aku yakin itu dia.”
Dia bercerita perlahan, sambil menatap Dira berulang kali.
“Terus dia gak apa-apa kan, Nov?”
“Saat itu sih keliatannya dia baik-baik aja, Ra.
Tapi sekarang aku kurang tahu. Semenjak banyak orang
yang datang dari luar, demonya jadi parah banget. Pake
lempar batu, ada juga yang bawa parang. Maaf ya, Ra, Aku
gak bermaksud bikin kamu khawatir.”
Dira menatap kosong ke depan. Angin malam
begitu dingin terasa meresap ke tubuhnya. Ada gelisah yang
menyelinap dalam hati, sebentuk cinta yang selalu ingin
melindungi. Tubuhnya sudah lelah, namun hatinya masih
berdentum dengan kerasnya. Dia sangat khawatir akan
keadaan Irham yang tak tentu kabarnya itu.
“Jangan terlalu dipikirin Ra.”
“Iya, Nov. Makasih.”
“Eh, itu diminum! Jangan cuma dipegang,” ucap
Novi.
“Iya. Makasih ya.. rasanya kamu jadi tambah
dewasa, Nov.” Dira meminum susu itu. Tubuhnya sudah
lelah. Tegukan-tegukan susu hangat itu menjadi pengganti
energinya yang banyak hilang.
“Mungkin,” singkat Novi.
201
Tak lama berselang, Fajar kembali datang
menghampiri mereka. Dia membawa satu botol kecil obat
luka dan segulung kain kasa. Dia duduk bersila di depan
Dira, “sebentar, Ra. Coba aku lihat tangan kiri kamu.”
“Tangan kiri?” Dira heran, dia bahkan tak sadar
lemparan batu yang mengenai tangannya. Ada luka yang
harusnya terasa perih.
Fajar meraih tangan kiri Dira dengan lembut.
Lalu seketika rasa pedih terasa mengiris. Obat luka
itu menyentuh luka yang berdarah-darah. “Aaaaw...” Dira
berteriak kencang.
“Jagoan kok gini aja teriak,” ujar Fajar.
“Periiih..” Dira meletakkan gelas susunya.
“Itulah kenapa aku mau kamu pulang. Di sini ada
banyak rasa sakit.”
Hening.
Novi melihat mereka berdua, sadar bahwa
keberadaannya sudah tidak lagi dibutuhkan, “aku ke dapur
lagi ya, masih harus bantu-bantu yang lain.”
Dia pergi dari tenda itu dan kembali ke tugas
utamanya; memasak. Dalam kerusuhan besar seperti ini
manajemen tetap berjalan. Novi sering bertugas
menyiapkan makanan untuk teman-temannya. Banyak dari
para pendemo—terutama teman-teman mahasiswa—yang
tidak pulang ke rumah dan datang ke tempat ini untuk
beristirahat, mengisi perut, mengumpulkan kembali
semangat, atau bahkan menyusun sebuah strategi.
202
“Kenapa harus ada keributan seperti ini?” Tanya
Dira pada Fajar.
Fajar terus membersihkan tangan Dira yang lecet
dan sedikit berdarah, “maksud kamu, demo ini?”
“Iyaa. Banyak nyawa melayang. Aku masih gak
percaya ini bisa terjadi.”
“Ini memang harus terjadi, Ra. Selama penjahatnya
gak mau menyerah dengan sukarela. Ini perang antara orang
tamak dengan orang tulus.”
“Maksud kamu?”
“Para penguasa yang serakah itu adalah perusak,
penjajah berdasi! Sedangkan kita adalah orang-orang yang
ingin menjaga bangsa agar tetap hidup. Kalau saja mereka
mau sadar diri dan mundur dengan baik, mengakui dosadosa
mereka, tentu itu lebih baik. Sayangnya, itu tidak
mungkin terjadi,” terang Fajar dengan tegasnya.
“Aku makin gak ngerti, Jar. Terus kenapa polisi
membela penguasa? Bukan kita?”
“Polisi itu pion-pion yang udah dicuci otak!
Mereka udah gak tahu mana yang bener mana yang salah!
Yang penting menjalankan perintah. Dari dulu aku gak
suka sama polisi.”
“Aku rasa mereka gak seburuk itu. Aku kenal
Irham, dia baik!”
“Tapi buktinya? Sekarang dia belain orang-orang
busuk itu kan? Dia juga sama sekali gak dengerin kamu
kan?”
Dira terdiam.
203
“Kamu istirahat ya... Aku masih harus ngurus
beberapa hal,” sambung Fajar. Dia tersenyum, luka Dira
sudah selesai dia balut dengan rapih.
“Kamu gak tidur, Jar?”
“Aku belum butuh tidur,” Fajar berjalan, dan
semakin jauh dari Dira. “Masuk dan istirahat, Ra! Kamu
butuh banyak tenaga buat besok!” Teriak Fajar. Dia lalu
bergabung dengan teman-temannya di sebuah tenda besar
terbuka.
204
205
BAB 22
Darah
19 Juni 2012
Hari masih gelap. Dingin terasa merapat, semua
jemari tajamnya masih menusuk kulit dalam-dalam. Fajar
yang semalaman tidak tidur, akan memenuhi janjinya pada
Dira. Dia membangunkan Dira di tendanya. Menepuk
pundaknya dengan lembut. Memanggilnya dengan pelan
agar orang lain tidak ikut terbangun.
“Ra...”
Dira hanya merubah posisi tidurnya.
“Diraaa...” Fajar mengusap pundak Dira.
Dira membuka matanya setelah beberapa kali coba
dibangunkan. Terasa berat memang ketika rasa sakit
menguasai tubuhnya. Pegal di tangan dan kakinya sangat
terasa, belum lagi berselimutkan udara dingin membuat
tidurnya tidak nyenyak dan matanya terasa pedih untuk
dibuka.
“Masih mau ketemu Irham?” Tanya Fajar.
Perkataan yang berat untuk dikatakan. Harus
206
memperjuangkan seorang yang dia cintai agar bisa menemui
orang lain yang merupakan saingannya. Namun rasa cinta
telah mengalahkan ego. Mengubur harapannya untuk
memiliki Dira, dan mengakui kekalahannya dari Irham.
Dira membuka matanya seketika itu, “jadi!”
Jawabnya tegas.
Semangatnya kembali terkumpul. Dia keluar dari
tenda, meninggalkan Novi yang tertidur di sampingnya
bersama dua orang yang lain. Dia masih dengan baju yang
sama dengan kemarin. Menggosok badannya yang
kedinginan karena bersentuhan dengan udara pagi.
“Pakai ini!” Fajar memberikan jaket miliknya.
“Di mana Irham?”
“Mmm, sebenarnya aku juga belum tahu tepatnya
di mana. Tapi aku yakin dia masih di sini.”
Suasana di luar tenda masih ramai. Ketika sebagian
tertidur, sebagian yang lain terbangun. Bahkan semakin
banyak orang berdatangan ke tempat itu, terutama yang
terluka. Fajar membawa Dira berjalan kaki menuju jalanan
gedung DPR. Dira sempat mempertanyakan kenapa
mereka berjalan. Namun ternyata motornya sudah
kehabisan bahan bakar, dan lagi, akan lebih aman jika
motornya ditinggalkan di tempat itu, Fajar menjelaskan.
Baru sampai di jalan Asia Afrika, yang artinya baru
setengah perjalanan, Dira sudah terlihat kewalahan.
Mungkin karena dia belum makan dari kemarin sore, cuma
susu hangat yang dia minum tadi malam. Fajar melihat
Dira yang sepertinya sudah tidak kuasa berjalan.
207
“Boleh aku gendong kamu?” Pinta Fajar, padahal
badannya juga sudah kelelahan, namun dia tak tega melihat
Dira yang kesakitan.
Dira membungkuk. Dia menatap Fajar sedang
tangannya masih memegang perut. Meringis. Lemah dan
lapar, tubuhnya terasa sangat aneh, bergetar dan perutnya
perih.
“Atau mau pulang lagi?” Fajar kembali bertanya.
“Jangan pulang lagi!” Tegas Dira.
Fajar menghampirinya, “ayo naik! Biar aku
gendong,” dia membungkuk tepat di depan Dira.
“Tapi, apa kamu gak capek, Jar?” Dira juga tak
tega melihat keadaan Fajar. Dengan kepala yang sudah
dibalut perban dan badan pakaian yang kusut tak
beraturan.
“Nggak kok. Aku masih kuat. Ayo naik ah...” Fajar
meyakinkan Dira.
Dira naik ke punggung Fajar. Mereka melanjutkan
perjalanan yang sempat tertahan. Sampai di jalan Gelora,
mulai banyak orang yang terlihat lalu lalang. Ketika Dira
memeluk erat punggung Fajar, hangat terasa mengaliri
tubuhnya. Sementara itu Fajar justru merangkai kata. Dia
mengucapkan kata demi kata dengan perlahan.
Ketika banyak orang ketakutan lalu pergi keluar,
Engkau justru datang ke tempat ini
Jakarta sedang membara, kasihku
Apa yang membawamu?
208
Hanya karena seorang polisi itu?
Sepantas itukah dia diperjuangkan?
Dira tetap diam dan mendengarkan.
Sedang aku datang karena mencintai bangsa ini
Aku lebih tahan berdarah, dibanding melihat
bangsaku bernanah
Aku tengah menikmati sisi lembut dari dunia ini
Melawan sisi lain yang suka akan gemerlap dan
kekerasan
Aku takut engkau akan menangis
Karena tak semua yang kau rasa dan lihat itu benar
Kadang tipuan menjelma fakta
Kadang kebenaran dihujat sebagai fiksi
Kadang sebuah senyum membuatmu hangat
Kadang sebuah caci membuatmua pilu
Padahal semua kebenaran masih sembunyi
Dibalik niatan hati setiap diri
Aku takut engkau menangis...
Namun akan tetap kubantu cintamu
Dengan alasan mudah,
209
Karena aku ingin semua orang baik bahagia
Termasuk engkau, dan mungkin juga dia
Aku ingin semua orang baik bahagia
Dan aku ingin semua orang jahat menjadi baik
Cukup sudah darah tercurah
Mencipta beribu tangisan di bangsa ini
Dira menitikkan air mata di pundak Fajar. Dia
hanya mendengarkan dan tak mampu bicara. Pelannya
suara Fajar membawa suasana hati hingga mampu
menyentuhnya. Mereka sudah masuk kawasan DPR, Fajar
masih terus berjalan, dan terus melantunkan kata-kata yang
tersusun begitu saja.
Inilah wujud jahat itu
Meskipun engkau tertidur,
Hantu malam tetap merayu disampingmu
Meskipun engkau berhenti melempar
Penjahat itu akan tetap membencimu
Inilah wujud baik itu
Meski rasa lapar mengikat rusuknya
Kesabaran dan senyum warnai harinya
Meskipun musibah datang tiap musim
210
Dia tetap menebar benih
Engkau harus tahu,
Perjuangan ini tak boleh dibayar
Melainkan harus dilanjutkan
Darah tercurah tiga setengah abad,
Bercak sembilan delapan masih tercium anyirnya
Namun mereka sudah kembali lupa
Pada kami yang sebenarnya tak mati
Kami tetap terjaga dan menjadi penjaga
Fajar berhenti. Sudah ada banyak orang yang
berkeliaran di tempat ini, dan kemungkinan polisi juga
banyak yang menjaga. Kerusuhan tidak separah jika siang
hari tiba. Di pagi buta seperti ini, sebagian banyak
demonstran hanya berdiri memperhatikan meski masih ada
juga sebagian kecil yang tetap melempar batu.
Teriakan makin terdengar ramai, semangat mereka
tak pernah padam. Fajar meminta Dira untuk turun dari
punggungnya. Sudah satu kilometer lebih dia menggendong
Dira. ketika turun dari punggung Fajar, Dira terlihat
berantakan. Bekas air mata masih membasahi pipinya.
“Jangan nangis gitu ah. Kamu pasti ketemu Irham
kok!” Fajar menghibur Dira.
Namun Dira semakin sedih mendengar perkataan
itu. Orang ini; Fajar, begitu lembut, kenapa selama ini dia
211
sering mengecewakannya? Mengacuhkannya. Ketika dia
tengah dalam keadaan seperti ini, Fajar justru
membantunya untuk mencari Irham.
Ketika dalam tekanan dan kesempitan. Ketika
banyak orang justru menyerang untung merampas. Ketika
banyak orang bertahan untuk menyembunyikan kursi
kekuasaan. Dia tetap dalam pendiriannya, yaitu ingin
membuat orang lain bahagia, dengan modal sepasang kaki
dan tangan. Fajar lebih baik dari yang Dira kira.
Dira mengusap air mata di pipinya dengan lengan
jaket.
“Masih kuat jalan? Gimana kakinya?”
“Kuat kok, Jar. Udah deket kan?” Singkat Dira
dengan pelan, suaranya seakan hendak hilang, hanyut
bersama kesedihan. Dia menatap Fajar dengan mata yang
masih menyisakan tangisan.
Kurang dari seratus meter di depan mereka, ada
barikade polisi. Tameng-tameng berjejer, barakuda1
bersiaga, beberapa petugas polisi terlihat mengatur benteng
pertahanan mereka. Mereka menata kembali pagar kawat
yang sempat terjatuh sambil terus melawan sebagian kecil
demonstran. Demonstran sudah banyak yang kelelahan, hal
ini dimanfaatkan oleh para polisi itu untuk memukul
mundur mereka.
Berbeda dengan demonstrasi di tempat lain, di
Jakarta, demo hanya dilakukan oleh kalangan mahasiswa,
karena kebanyakan penduduk Jakarta justru berlindung
1 Kendaraan angkut polisi yang berlapis baja.
212
atau bahkan keluar dari Jakarta. Sedangkan di kota Bogor
dan Bandung, Demo besar digerakkan oleh mahasiswa dan
diikuti oleh para petani, pedagang pasar hingga supir
angkot.
Polisi lebih banyak dikerahkan di kota Jakarta.
Polisi itu tidak pernah habis. Mereka selalu datang dan
datang lagi meskipun sudah banyak yang terluka.
Menyadari hal itu Fajar mulai ragu apakah Irham masih
ada di tempat itu atau tidak. Sudah banyak polisi yang
terluka dan meninggalkan tempat itu.
Fajar maju ke barisan terdepan, sedangkan Dira dia
larang untuk ikut. Dia melangkah perlahan sambil
mengangkat kedua tangannya ke udara. “Tenang, Pak, saya
tidak menyerang,” teriak Fajar. Beberapa orang polisi
memperhatikannya. Para demonstran juga banyak yang
berhenti melempar batu dan memperhatikan tindakan
‘bodoh’ Fajar. Dia mendekati polisi seakan hendak
menyerahkan diri.
“Pak, saya ke sini bukan buat demo, tapi urusan
pribadi. Saya ingin bertemu dengan seseorang bernama
Irham. Mohon kebijaksanaannya, Pak!” Teriak Fajar
dengan tangan yang masih menghadap ke depan.
Polisi-polisi itu tetap diam tak menjawab.
Tameng-tameng hitam memnyembunyikan kebanyakan
wajah mereka. Entah apa yang dilakukan mereka di balik
tameng itu. Fajar tidak mengerti apa lagi yang harus dia
lakukan. Dia hanya berdiri sekitar sepuluh meter dari
tameng-tameng itu.
“Irhaaaam!! Keluar!” Teriaknya.
213
Tak ada jawaban.
“Ini urusan kita yang belum selesai. Dira ada di
sini. Kita beresin dulu masalah ini supaya Dira pulang,” dia
berteriak sekuat tenaga, namun perlahan putus asa. Ini
terasa konyol, berteriak sendiri tanpa ada yang menaggapi.
Namun lagi-lagi, dia lebih baik merasa malu dari pada
merasa bersalah karena tidak berbuat benar.
Fajar mondar-mandir di jalan itu, berpikir lagi apa
yang harus dia lakukan. “Oke!! aku bakal nunggu kamu
keluar,” teriak Fajar sekenanya, padahal dia tidak tahu
Irham ada di tempat itu atau tidak. Sementara itu matahari
mulai bersinar kembali. Cahaya melepaskan selimut malam.
Wajah mereka kini terlihat dengan jelas.
Fajar masih berdiri di sana, beberapa lemparan
batu mulai dia lihat. Demonstrasi akan kembali memanas.
Massa dari luar Jakarta pun akan semakin banyak yang
datang.
“Jar!”
Fajar menoleh. Alangkah terkejutnya dia ketika
Dira sudah berada di belakangnya, “kamu kenapa ke sini?
Kamu harus mundur, Ra.” Ucapnya seraya menghampiri
Dira.
“Kita berdua mundur. Irham mungkin gak sebaik
yang aku kira,” ucap Dira.
Fajar terdiam mendengar itu..
“Kenapa? Kamu gak sungguh-sungguh kan
ngomong itu. Aku tahu itu. Dengar Ra, jangan merasa
kasihan. Aku gak butuh itu,” lanjut Fajar.
214
Dira kembali menahan air matanya. Berat baginya
untuk menjawab itu semua. Fajar terlalu baik untuk
dibiarkan seperti ini, namun di sudut hatinya juga masih
ada Irham yang masih dia sayangi.
Beberapa saat tak ada sepatah kata pun yang
terucap. Fajar merengkuh Dira dengan erat, mereka berdiri
di antara dua kubu yang siap berperang. Pelukan yang
sangat indah, ketika mereka sadar kematian bisa datang saat
itu juga. Mereka berdiri di antara lemparan batu dan
tajamnya peluru.
Tak lama kemudian, batu-batu mulai banyak
berjatuhan di sekitar mereka. Semakin banyak, dan ketika
Fajar melihat ke arah depan, begitu banyak gerombolan
orang yang datang. Sedang Dira yang melihat ke arah
polisi, melihat langsung senjata yang melepaskan gas air
mata. Suasana berubah mencekam.
“Lari ke samping!!” Tegas Fajar.
“Prang!!” Sebuah Bom molotov jatuh tepat ketika
Dira hendak berlari. Dia pun mundur kembali. Mereka
berdua kebingungan.
Lalu, salah satu dari tameng hitam yang berjejer itu
terjatuh. Seseorang di dalam barikade polisi memanggil
mereka berdua.
“Masuk kemari!!”
“Irham...” Lirih Dira.
“Pergilah!” Fajar mendorong Dira untuk
berlindung.
“Kalian berdua!! Cepat kemari!!” Teriak Irham.
215
Bebatuan semakin banyak yang mengarah kepada
para polisi itu, Fajar dan Dira berada di sana dan ikut
terancam. Dira menarik lengan Fajar. Mereka berlari
menyusuri samping jalan, merapat melewati pagar kawat.
Lalu ke arah Irham dan masuk ke dalam barikade polisi.
Fajar menatap Irham cukup lama, merasakan
pertentangan dengannya. Beberapa hari lalu dia masih
beradu lemparan, dan sekarang berada langsung di tengah
polisi-polisi yang sedang mempertahankan gedung DPR
itu. Ada sedikit rasa khawatir dalam dirinya, apakah yang
akan dilakukan para polisi itu melihat dia dan Dira ada di
sana. Tanpa seragam dan nyatanya musuh mereka.
Beberapa polisi menatap heran ke arah mereka. Namun
seorang polisi lain menegur mereka dengan suaranya yang
keras, agar mereka segera berlindung.
Fajar dan Dira bergegas menepi kembali ke pinggir
jalan. Lalu Irham menghampiri mereka. Dia berdiri
beberapa langkah di hadapan mereka berdua tanpa takut
terkena lemparan batu.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian pikir ini
lelucon?!” Bentak Irham.
“Kenapa kamu gak ngasih kabar ke aku, Ham?
Selama ini aku nyari kamu ke mana-mana,” Dira menahan
pilunya.
Irham menghela napas, “Ra... Bangsa ini lebih
penting dari ‘kita’. Aku punya tugas dan tanggung jawab
yang tidak bisa ditinggalkan.”
“Ini bukan tugas kamu,” sela Fajar. Dia lalu
menatap Irham, “tugas kamu itu menjaga masyarakat,
216
menjaga kebaikan. Bukan hal bodoh seperti ini!” Tegas
Fajar.
“Jangan ajak aku berdebat! Aku tahu apa yang aku
perbuat!! Kamu pikir perbuatanmu itu benar?!”
“Kamu gak tahu apa-apa, Ham. Kalian! Polisi!
Justru membela orang yang selama ini menghianati rakyat,
Penguasa penipu yang sekarang menonton rakyatnya
bertengkar. Apa yang kamu dapet, Ham? Gaji? Gaji kamu
habis tiap bulan, kan?!! Setelah ini, seluruh rakyat akan
membenci kalian semua. Kalian semuaa akan dibenci!! Lalu
kalian menyesal seumur hidup!!” Teriakan Fajar terdengar
oleh hampir semua polisi yang ada di tempat itu.
Dira tersentak mendengar kata-kata itu. Dia berada
dalam persoalan yang tidak dia mengerti, yang dia tahu
hanyalah dua orang yang dia sayangi sedang beradu
pendapat. Namun dia ingat kata-kata ayahnya sebelum
pergi dari rumah. Ayahnya ingin memperbaiki
kesalahannya yang lalu. Mungkinkah Irham sekarang ada di
posisi yang salah?
“Aku datang, bukan buat lihat kalian berantem,”
Sela Dira dengan pelan.
“Aku gak pernah berharap kamu dateng, Ra! Aku
anggap kejadian yang lalu sudah habis. Aku malah heran
kenapa kamu sampai datang ke sini,” ucap Irham.
Dira menundukkan wajahnya...
Fajar berlari ke arah Irham, “jlebb!!” Fajar
menghajar Irham tepat di wajahnya. Irham terhuyung ke
aspal. “Aku mukul kamu bukan karena persaingan kita, tapi
217
karena begonya kamu!!” Fajar menatap tajam ke arah
Irham.
“Silahkan pukul lagi,” Irham menantang.
Fajar kesal dengan perilaku Irham yang dingin. Dia
kembali menghajar Irham tepat di wajahnya. Dia berkalikali
mendaratkan kepalan tangannya di wajah Irham.
Irham bangkit, “jlebb!!” Dia membalas pukulan
Fajar. Kali ini Fajar yang terpelanting. Mereka bergumul,
saling pukul. Darah segar mengucur dari hidung mereka.
Dira masih tak bergerak melihat itu semua, kejadian itu
bahkan membuatnya makin bergetar tak berdaya.
Lalu beberapa polisi datang menahan tubuh Fajar,
menariknya menjauh dari Irham.
“Pulang sana!! Bawa dia dari sini. Dan satu hal
yang harus kamu tahu. Aku tidak memukul karena Dira,
aku tidak pernah bertengkar karena hal sepele! Tapi karena
munafiknya kamu dan teman-temanmu itu. Dibayar berapa
kalian agar mau berdemo seperti ini?”
Fajar yang sudah dalam keadaan tenang, kembali
naik darah mendengar ucapan Irham. Harga dirinya
tercabik. Mereka yang tidak tidur, kurang makan,
melempar batu tanpa lelah, adalah orang-orang yang
berjuang untuk bangsa ini. Kata-kata Irham benar-benar
menyakiti Fajar.
Fajar mencoba menendang Irham, namun beberapa
polisi itu terlalu kuat. Lalu, “prekk!!” Sebuah botol beling
pecah di kepalanya. Ratusan bahkan ribuan batu menyerbu
para polisi di tempat itu tanpa terkecuali Irham, Fajar dan
Dira. Luka Fajar yang kemarin belum sembuh, kini
218
bertambah lagi darah di wajahnya. Perban semakin
memerah, wajahnya penuh darah.
Sontak saja semua polisi itu makin terkejut,
demonstran maju semakin dekat ke arah mereka, lemparanlemparan
batu juga semakin banyak yang mengenai mereka.
Begitu pula Dira, dia melihat semua kejadian mengerikan
itu, namun tidak dapat bergerak, dia lemas. Dia diam di
pinggiran jalan, kebingungan, sedih, dan takut. Kegilaan
meneriaki hatinya, ketidakmampuan melunturkan
keberaniannya. Dia bergetar di sudut sendiri, menahan air
mata dan isakan pilu.
“Diraaa!! Ikut ke sana!! Ikut Fajar...” Teriak Irham
tak jauh dari Dira. Telunjuknya mengarah ke barakuda.
Dira masih diam, matanya memandang kosong.
Irham bangkit lalu menarik Dira, membawanya
berlari ke balik barakuda. Di sana ada Fajar yang terkulai
lemas tak sadarkan diri. Dira menatap sedih tubuh itu,
penuh darah di baju dan tubuhnya. Beberapa polisi muda
berusaha memasukkan Fajar ke dalam kendaraan itu.
Mereka memperlakukan Fajar seakan dia adalah anggota
mereka, dan memang seperti itulah seharusnya. Semua
punya hak untuk selamat dari kerusuhan ini.
“Cepat naik!” Tegas Irham sambil menunjuk ke
arah pintu kendaraan itu.
Dira memandang Irham. “Aku gak mau pulang
selama kamu masih di sini,” Dira menjauh dari pintu
kendaraan itu, terlihat wajahnya yang tak suka dengan katakata
Irham. Dia sudah berjalan sejauh ini untuk
mencarinya, namun ketika bertemu, hanya kericuhan dan
219
merah darah yang mewarnai. Dia tidak suka dengan
keadaan ini.
Irham meraih tangan kanan Dira, “aku selalu
sayang kamu. Aku mohon jangan buat keadaan ini makin
sulit. Pulanglah... Di sini berbahaya,” perlahan Irham
meyakinkan Dira.
“Grum.. grumm..” Suara sangar keluar dari
kendaraan lapis baja.
“Naiklah...”
Dira ingin mengatakan cinta yang selama ini
tertumpuk di hatinya, namun berat menggelayut di
lidahnya. Sejauh ini dia perjuangkan Irham. Akankah ada
kesempatan lain untuk mengucapkan cinta, bahkan satu
langkah ke depan sangat tidak aman, biasa jadi mereka
mendapati kematian dan berpisah membawa penyesalan.
Dia hanya mampu menatap Irham, dengan harap
itu akan cukup untuk menyampaikan maksud hatinya.
Bibirnya bergetar menahan rasa yang bergejolak; cinta.
Irham kembali mengingatkan dia untuk cepat masuk ke
dalam barakuda. Beberapa polisi yang terluka juga terlihat
dinaikkan ke atas mobil itu, sebentar lagi mobil itu akan
penuh dan pergi dari sana.
Irham merengkuh tubuh Dira dalam pelukannya,
“maaf jika aku berkata kasar. Aku tidak bisa pulang dan
akan tetap di sini. Aku polisi dan masih polisi sampai saat
terakhirku.”
Dira sangat takut bahwa inilah saat terakhirnya
bersama Irham. Dia memeluk Irham dengan sangat erat,
merapatkan wajahnya ke dada Irham yang tegap, sedang
220
kedua tangannya meremas samping seragam Irham. Dia
enggan berpisah. Terasa detak jantung mereka seirama, satu
nada dalam ketakutan dan kerinduan.
“Aku sayang kamu...”
Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulut Dira.
Irham menghela napas, “aku tahu...” Balasnya
dengan tenang. Lebih baik baginya untuk tidak mendengar
kata-kata itu. Lewat serangkai kata “aku sayang kamu..”
sesungguhnya seseorang menyerahkan hatinya, untuk dijaga
dan dihormati. Dan menjadi sangat pedih kala terdengar
dalam situasi genting seperti ini.
“Pulanglah... Tunggu aku di rumah. Kamu jangan
keluar rumah, oke? Pulang dari sini aku akan langsung ke
sana,” Sambung Irham. Dia tidak mungkin melepas
seragamnya dan ikut pulang bersama Dira. Meski berat,
namun itulah yang benar menurutnya.
“Ikutlah pulang,” pinta Dira.
“Itu tidak mungkin... Sudah, cepat naik.”
Dira masuk ke dalam mobil itu dan merelakan
guguran harapannya. Mobil lapis baja mungkin melindungi
tubuhnya, namun jantung hatinya tercecer di luar sana,
masih bergelut dalam bahaya.
Di dalam mobil itu ada Fajar yang masih tergeletak
tak sadarkan diri. Di dekat kaki Fajar ada dua orang polisi,
yang satu terlihat memegang kepalanya yang berdarah, satu
lagi mengalami luka bakar di lengannya. Dan beberapa
orang lain yang terluka hanya diam tak banyak bicara. Dira
lalu duduk di dekat wajah Fajar, menunggu mobil itu
bergerak, ada tatapan singkat antara dia dengan Irham, lalu
221
pintu mobil itu ditutup. Dan berjalan perlahan menjauh
dari tempat itu.
Mobil itu melaju perlahan menembus kerusuhan,
menerobos lemparan batu dan keberingasan rakyat yang
lapar. “Bang!!” Sebuah hantaman keras terdengar, untuk
kesekian kalinya Dira terkejut dan harus menutup
telinganya. Berantai pertanyaan muncul pula dalam
pikirannya. “Untuk alasan apa orang-orang itu melempari
mobil ini? Apakah mereka puas jika mobil ini terjungkal,
terbakar, lalu semua orang di dalamnya mati!? Jika saja
mereka bisa melihat kami, mereka akan tahu bahwa di
dalam sini ada orang-orang yang terluka.”
“Siapa saja, tolong hentikan ini!!” Teriaknya dalam
hati tak terdengar oleh siapapun. Jeritan hatinya tak
berbuah apa pun, di luar sana setiap orang ingin melempar
batu dan senang akan sakit yang didapat oleh orang lain.
Di luar sana setiap orang saling kejar dan Dira tidak paham
apa yang mereka ributkan. Bangsa ini? Presiden? Apa yang
salah? Yang dia tahu dan dia rasa, sekarang setiap orang
sudah berubah, tidak ada cinta.
Dira menutup wajahnya, lalu menangis. Dia
menangis di depan para polisi itu. “Bang!! Bang!!” suara
hantaman dari bebatuan yang menghajar badan mobil.
Batu-batu masih menghujani mobil itu, seakan tak peduli
di dalamnya ada seorang yang bersedih. Kerasnya baja
menyembunyikan sebuah tangis yang tak terdengar,
layaknya seorang yang mengorbankan hatinya demi
kebaikan orang lain; dia memakai seragam dan
menyembunyikan sosok aslinya. Layaknya mereka yang
222
menggunakan tameng tanpa pedang; hanya ingin
berlindung dan enggan untuk menyakiti.
Sayangnya, tidak semua orang mampu melihat
menembus baja. Yang mereka pahami hanya melempar!
Menumbangkan! Mereka melempari pion-pion, padahal
seorang pion tidak punya kuasa untuk melawan Raja, setiap
peluru yang menusuk itu adalah kuasa sang Raja, bahkan
mereka tidak mampu untuk membuka seragamnya sendiri.
Namun, Raja juga tidak akan turun selama
pionnya masih tersisa, karenanya melempar adalah sebuah
keterpaksaan dan keharusan bagi sebagian demonstran,
bukan keinginan. Mereka harus melempar agar Raja
menjauh dari tahtanya.
Suasana sudah mulai tenang karena pusat
kerusuhan sudah terlewati. Cukup lama mereka di dalam
kendaraan tersebut, hingga akhirnya mereka dipindahkan
ke dalam sebuah ambulance. Bau anyir darah menyengat di
dalam ambulance, entah berapa orang yang menumpahkan
darahnya di sini, bahkan noda merah masih melekat di
bagian bawahnya. Dira mengacuhkan bau itu dan belum
berhenti menangis, dia masih tak kuasa melihat semua
kejadian beringas ini. Terlebih lagi di luar sana juga ada
kakak dan ayahnya yang juga berhadapan dengan hal yang
serupa.
“Jangan sedih...” Lirih suara Fajar.
Dira membuka matanya, deg! Fajar telah sadar,
meski matanya masih terlihat lelah dan hanya terbuka
separuh.
“Jar,” sahut Dira.
223
“Apa kita sedang pulang?” Tanya Fajar.
“Iya, kita pulang..” Dira melihat kondisi Fajar yang
sangat memilukan.
“Ini belum selesai, Ra.” Fajar menatap Dira seakan
ingin meyakinkannya. Padahal tubuhnya sudah terkulai
lemah, lidahnya pun terlihat berat untuk berbicara.
Bukannya berhenti menangis karena melihat Fajar
sadar, Dira justru semakin tertunduk lesu mendengar
ucapan itu. Air mata terus mengalir. Tidak Irham, tidak
pula Fajar, keduanya sama keras kepala. Apa yang mereka
kejar? Suasana sudah sedemikian genting dan menakutkan,
namun mereka masih ingin ikut di dalamnya. Apa memang
mereka ingin mati di sana?! Apa yang mereka perjuangkan?
Dira sama sekali tidak paham dengan pikiran mereka
berdua.
“Ini sudah selesai buat kamu, Jar. Biar yang lain
yang melanjutkan..” Lirih Dira. Fajar dan Irham sama keras
kepala, meski sama baiknya pula. Mereka berdua layaknya
dua orang yang sama dengan pakaian yang berbeda.
“Jangan bawa aku menjauh dari tempat ini!” Fajar
menatap Dira, “kita ke Senayan aja, Ra!”
Dengan berat hati Dira meminta supir ambulance
itu untuk membawa mereka ke GBK. Fajar sama sekali
belum ingin berhenti. Saat perjuangan seperti inilah yang
dia nanti dari dulu. Yaitu ketika dia mampu memberikan
aksi nyata untuk merubah bangsa. Lewat sebuah
perombakan sistem. Dia tidak membenci presiden, pula
tidak mencintai oposisi. Dia hanya berharap orang-orang
yang jujur dan peduli yang memimpin bangsa ini. Presiden
224
yang ada saat ini mungkin tidak salah secara langsung
dalam tiap kasus, namun dia kurang jujur dan berani. Dia
dihakimi bersalah, karena pembiaran terhadap kejahatan
adalah bernilai kejahatan pula.
Pemberontakan dibutuhkan untuk membantunya
turun. Menghentikan aliran dosa yang mengisi darahnya,
karena dia adalah pemimpin yang ingkar pada rakyat
dengan tidak menindak tiap kejahatan. Menghentikan
cacian dan doa yang kejam padanya, agar dia bisa kembali
duduk di sofa dengan tenang. Mengangkat seorang yang
lebih berani dan jujur agar membawa bangsa ini pada
kemajuan. Bangsa ini butuh visi yang jelas, bukan hanya
perebutan kekuasaan antar elit; pemerintah dan oposisi.
225
BAB 23
Batas Akhir
Jam 07.54 Pagi.
Irham makin kesusahan menghadapi para
demonstran. Beberapa kali dia terkena lemparan batu,
merasakan retak dan remuknya dalam tiap hantaman. Polisi
sudah semakin tertekan. Tentara yang tadinya diharapkan
mampu membantu polisi, ternyata menarik diri dari
posisinya—tidak berpihak lagi pada pemerintah. Sekarang
para polisi itu layaknya ilalang yang mencoba menghadang
banteng liar. Di hadapan mereka ratusan ribu orang
berkumpul, jalan-jalan mulai penuh sesak kembali.
Tambahan massa itu datang dari luar daerah Jakarta.
Polisi-polisi di sekitar kawasan DPR kini dalam
bahaya, karena mereka menghadapi massa yang tengah
dibakar amarah. Mereka mulai merasa bahwa tameng
mereka tak cukup tebal, peluru mereka tak lagi tajam.
Putus asa. Orang-orang itu terus mendekat dan memaksa
polisi untuk mundur. Namun di sana sudah tidak ada
tempat mundur!
Terlintas dalam pikiran Irham, kematian sudah
begitu dekat. Teringat kedua orangtua yang sudah bekerja
226
keras mendidiknya, membesarkannya dengan banyak
pengorbanan. Dira yang dia cintai, satu-satunya wanita
yang membuat dia berani berkata cinta. Terlintas Fajar,
seorang mahasiswa yang entah tulus atau tidak, di matanya,
kebanyakan mahasiswa adalah koruptor versi mini yang
sama busuknya dengan politikus. Mereka berteriak, namun
diam ketika disumpal oleh uang dan jabatan. Banyak
lintasan kenangan mencuat pada kesadarannya.
Batu-batu terus menghujam. Suara tembakan
meletus memecah udara. Ratusan ribu hentakan kaki
mencipta gemuruh serupa badai, melahirkan ketakutan
pada semua yang ada di dekatnya. Mereka terkepung. Saat
inilah ketika semuanya menjadi jelas. Menjadi jelas siapa
yang dia cintai dan siapa yang dia perjuangkan; Dira dan
bangsa; Cinta dan Seragam; lembutnya hati dan kakunya
prinsip.
Para demonstran itu tinggal beberapa langkah di
depan mereka. Batas hidup dan mati sudah hampir hilang.
Rasa sakit sudah berganti pasrah pada sisa-sisa kekuatan
yang ada.
“Munduuuur...” Teriak seseorang.
Mereka makin terdesak. Irham mencoba bertahan,
melindungi dirinya dengan sebuah tameng...
“Jika ini memang akhir dari aku, hanya satu hal
yang aku ingin kalian tahu.. Bahwa aku bukan musuh
kalian... Jangan pernah membenci aku karena jalan yang
kuambil ini.. Karena aku pun menghormati jalan kalian...”
227
BAB 24
Berkumpul
Jam 03.13 Sore.
Pak Herman pulang meski dengan beberapa luka
memar. Dia sadar betapa berharganya hidup. Mungkin
baginya hidup ini sudah tak berharga, tapi ada orang lain
yang menyayanginya, yang menganggap hidupnya sangat
berharga; Dira. Untuk Dira dia pulang. Dia mulai melihat
kewajiban yang selama ini sering dia lupakan.
Baru beberapa jam pak Herman di rumah. Namun
dia tak tenang karena Dira tak ada di sana. Pagi itu ada
keributan antara ayah Dira dengan bi Inah.
“Kenapa bibi biarin dia pergi?!”
“Bibi gak bisa nahan dia. Maaf,” Bi Inah tertunduk
ketakutan.
Sementara itu televisi masih hidup dan tak pernah
kehabisan berita.
“Saat ini korban sudah mencapai ratusan orang.
Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Kita harap
bapak presiden bisa berlaku bijak dengan melepas
jabatannya..” Seorang reporter pun kehilangan
netralitasnya. Rasa sedih sebagai anak bangsa tentu saja
mendorongnya untuk berpihak pada para demonstran.
228
“Saya harus kembali ke sana buat cari Dira. Bibi
jaga rumah,” pak Herman kembali meninggalkan rumah.
Namun dengan niatan yang berbeda dari yang pertama.
Ada sesal karena sudah meninggalkan Dira sendirian. Dia
berusaha memperbaiki masa lalu namun justru membuat
kesalahan di masa kini. Rasa sayang mempunyai dua sisi,
menyayangi dan disayangi. Dia lengah untuk menyadari
bahwa orang yang menyayanginya lebih menghargai
hidupnya dibanding dia sendiri. Kini orang itu ada di luar
sana, berdekatan dengan bahaya; Dira.
***
Jam 08.22 Pagi.
Fajar tergeletak di rumput kasar di pinggir tenda.
Wajahnya penuh darah. Matanya kembali tertutup setelah
sempat sadar beberapa saat lalu, entah saat ini dia dalam
keadaaan sadar atau tidak. Banyak orang lalu-lalang namun
tidak ada satu pun yang menghampirinya. Semua orang
sibuk dengan urusan masing-masing. Panik. Dira berlarilari
mencari seorang dokter atau siapapun yang bisa
mengobati luka Fajar.
Dia berputar-putar di kawasan itu, tubuhnya terasa
lemas namun dia paksakan. Tangan yang luka sudah tidak
dipikirkannya, perut yang lapar sudah tidak lagi dia
pedulikan. Lalu, di ujung pandangannya dia melihat
seorang dokter yang sedang sibuk mengobati beberapa
orang. Dihampirinya dokter itu dengan cepat.
“Dokter!” Sahut Dira setengah berteriak.
Dokter itu menoleh.
Seketika Dira terhenti, “mama...” Lirih Dira.
229
Ibu Dira menghampiri Dira dengan cepat,
diserahkannya beberapa pasien kepada perawat. “Dira...
sayang... sedang apa kamu di sini?” Dia menyentuh Dira,
memperhatikan tiap sudut tubuhnya.
“Temanku ada yang terluka. Ikut aku, Ma!”
Dira menarik lengan ibunya.
“Sebentar, sayang. Mama ambil perban dulu!”
Mereka lalu bergegas menuju Fajar. Begitu banyak
orang yang terluka. Para dokter yang ada di sana sudah
kewalahan mengobati banyak korban yang terus
berdatangan. Ibu Dira adalah salah satunya. Namun tak
pernah disangka sebelumnya, mereka justru akan bertemu
kembali dalam keadaan genting seperti ini.
Mereka berjalan cepat.
“Di mana ayahmu?”
“Ayah? ...” Lidah Dira terhenti.
Hening sesaat. “Aku gak tahu kabar Ayah ... ayah
ninggalin aku di rumah.” Sambung Dira sambil terus
berjalan. Terlihat jelas bahwa ibunya masih sangat
mencintai pak Herman.
Tak lama kemudian mereka sampai di tempat
pembaringan Fajar. Ibu Dira segera membuka kotak
peralatannya. Dengan cekatan dia mengobati Fajar,
membuka perban yang sudah penuh darah itu,
membersihkan wajah Fajar dari banyaknya darah yang
mulai kering. Lalu, dibagian atas kepala Fajar terlihat jelas
luka yang menganga dengan sedikit serpihan beling yang
230
menempel. Pelan-pelan Ibu Dira membersihkan luka itu
agar tidak terlalu menyakiti Fajar.
Luka yang lalu kembali berdarah, bertambah lagi
luka baru yang lebih parah. Dira meringis menyaksikan itu,
namun dia hanya berdiri dan tak berbuat apa-apa. Mata
Fajar memang terpejam, namun terbayangkan oleh Dira
betapa sakitnya semua luka itu.
Tiba-tiba dia ingat kembali akan Irham. Irham
masih di tempat itu, terpojok. Bagaimana keadaannya? Ada
rasa ingin kembali ke tempat itu, namun keadaan yang
berbahaya memukul mundur keberaniannya. Dia lemah.
Ingin rasanya menyelamatkan Irham, menariknya dari
tempat itu dan membawanya pulang. Namun itu tidak
mungkin, bahkan Irham sendiri menolak untuk pulang.
Kini tersisa harapan kosong tanpa perjuangan, menunggu
takdir menunjukkan wajahnya.
Ibu Dira selesai mengobati Fajar. Terlihat perban
yang baru di kepala Fajar, masih putih dan hanya sedikit
darah terlihat.
“Gimana keadaan kamu sayang?”
“Aku baik-baik aja, Ma.”
“Jangan pergi ke mana-mana! Jaga dia baik-baik ya
... Mama harus ke pasien yang lain.”
“Jelasin sedikit aja, kenapa harus pisah sama ayah?”
Hening seketika...
“Apa yang dikatakan ayahmu?”
“Ayah tidak bicara apa-apa,” jawab Dira.
231
“Ini cuma salah paham, sayang. Ayahmu. Dia
nuduh mama selingkuh. Dia itu keras kepala. Berkali-kali
mama jelaskan, tapi ya masih sama hasilnya.”
“Pulanglah... Nanti aku bantu buat jelasin. Aku
sedih...” Lirih Dira.
“Mama selalu ingin pulang, sayang...” Ibu Dira
memeluk Dira, “ya sudah, ada banyak pasien lain yang
butuh bantuan. Jaga diri ya, sayang. Jangan pergi jauh-jauh
dari tempat ini!”
Ibunya meninggalkan Dira di tempat itu. Dira
masih bingung masalah apa yang sebenarnya sedang terjadi
antara kedua orangtuanya. Mereka tidak pernah menjawab
pertanyaan dengan seutuhnya, terutama ayahnya. Dingin.
Tiap kali ditanya justru selalu mengalihkan arah
pembicaraan. Hingga akhirnya Dira bosan dan berusaha
menerima semua sekuat hatinya.
***
20 Juni 2012
Hilang sudah keadilan. Ketika segelintir orang
memanfaatkan kekuatannya untuk menguasai, namun
setelah itu mereka tidak menumbuhkan, melainkan
menginjak. Jentik-jentik dibiarkan mati kekeringan, mereka
selamatkan sebagian untuk diperdaya dan dijadikan
makanan ikan. Jelata tidak punya kekuatan, pasti
terombang-ambing dalam persaingan yang memang tak kan
mungkin mereka menangkan.
Hilang sudah keterbukaan dan kepedulian. Ketika
media informasi menjadi alat pesanan para penguasa.
Sebagian lain jadi pengeras suara para penentang dari
232
pemilik tahta. Jujurkah mereka? Tidak, mereka juga haus
akan kekuasaan. Anak-anak menonton televisi,
menyaksikan debat dari orang-orang bermuka dua. Mata
mereka tertuju pada dua sumbu bernama uang dan
kedudukan. Kadang mereka berkelit, kadang memelintir,
kadang jujur, namun selalu menyembunyikan kejahatan
terbesar: ketidakpedulian.
Kerusuhan semakin menjadi. Orang-orang yang
tadinya keluar dari kota Jakarta kembali lagi ke Jakarta
untuk membantu saudara-saudaranya yang tengah terluka.
Mereka datang untuk membantu. Sebagian membawa
makanan dan obat-obatan. Kepanikan ada di mana-mana.
Ada banyak harapan yang mati di sana, di jalanan Ibu Kota,
tangis mengisi setiap pagi dan malam.
Sementara itu banyak orang berkumpul di kawasan
Gelora Bung Karno. Tempat-tempat yang biasanya dipakai
untuk perkantoran justru dijadikan tempat beristirahat,
ruang rawat, bahkan dapur. Dira sudah mulai kembali
segar, sedang Fajar kehilangan banyak tenaganya meskipun
sudah sadar. Keadaan di sana membuat semua orang
menjadi panik dan bisa hilang harapan. Sepotong roti harus
dibagi lagi menjadi dua bagian. Sempitnya karpet jadi alas
semua orang. Tenda-tenda mulai penuh, dan makin banyak
orang terluka yang datang. Entah kapan semua ini akan
berakhir.
Jam 04.11 Sore.
Fajar sudah kembali sadar setelah tergeletak satu
hari lamanya. Dia bahkan sudah bisa kembali berjalan
selayaknya tanpa luka. Entah dia dapati tenaga dari mana.
233
Mungkin semangatlah yang menjaganya tetap bertahan
sampai saat ini.
“Irham kenapa gak ikut pulang, Ra?” Tanya Fajar
pada Dira. Sore itu mereka duduk berdua di depan tenda
kecil.
“Aku gak tahu...”
Hening. Sulit bagi Dira untuk menjawab itu.
“Relakan dia, Ra ... Dia sudah memilih hidupnya
sendiri.”
“Ya,” singkat Dira mencoba membenarkan.
Namun dalam hatinya dia masih punya harapan besar agar
Irham kembali. Memeluknya dengan tenang di atas motor
yang pelan, berdua di malam yang penuh suasana cinta dan
ramahnya senyuman. Ya, itu semua sudah hilang dan
tinggal kenangan, namun kini menyisakan harapan. Dia
begitu yakin Irham akan kembali menemuinya di rumah.
Itu yang pernah Irham janjikan padanya. Dan itu pasti jadi
kenyataan, pikirnya.
“Katanya, cinta yang gagal bertemu di dunia, maka
akan dipertemukan di surga. Aku yakin itu,” ucap Fajar
mencoba menghibur.
Dira tak membalas. Dia hanyut dalam pikirannya.
***
Jam 06.31 Malam.
Beberapa orang terlihat melaksanakan shalat
berjamaah di lapangan terbuka, beralaskan kertas koran
seadanya. Ma’mum yang berjejer mencapai empat baris
yang panjang. Di salah satu barisan ma’mum itu ada Fajar
234
yang juga sedang shalat. Sedangkan Dira tiduran di dalam
tenda Novi.
“Allahu Akbar..” Terdengar sayup suara sang
Imam.
Dari luar tenda, terdengar pula suara dari banyak
orang. Orang tua dan muda berbincang, satu dalam tujuan,
yaitu menjadikan bangsa ini tempat tinggal yang lebih baik.
Semua agama membaur, karena kebaikan merupakan nilai
yang sama dalam semua agama. Mereka melawan musuh
yang sama, yaitu ketidakadilan dan ketidakpedulian.
***
Jam 09.15 Malam.
“Presiden sudah turuuun!!!”
“Yeeaaaaah!!”
“Allahu Akbar!!”
“Puji Tuhan!!”
Sorak sorai terdengar dari luar tenda. Tangisan
haru mengisi malam itu. Semua senang, semua lega.
Setidaknya korban nyawa tidak akan bertambah. Luka-luka
itu pun tidak jadi percuma karena semua ini ada hasilnya.
Dira sempat tertidur, dan terbangun oleh ramainya teriakan
di luar.
Dira keluar dari tenda.
“Fajaaar!!” Dia memanggil Fajar.
“Diraaaa..” Justru Novi yang menghampirinya.
Novi memeluk Dira dengan erat. “Presiden turun, Ra. Ini
harapan baru buat bangsa kita,” sambung Novi.
235
Dira tidak seceria Novi. Apa maksud harapan itu
pun Dira tidak paham. Kenapa presiden harus turun? Yang
dia tahu presiden itu tidak melakukan kejahatan apa pun.
Selama ini hidupnya damai dan berkecukupan.
“Di mana Fajar?” Tanya Dira.
“Dia tadi nyuruh aku jagain kamu. Terus pergi gak
tahu ke mana.”
Deg! Seketika rasa was-was menerjang, Fajar, apa
dia kembali ke tempat kerusuhan? Anak keras kepala itu
pasti kembali ke sana. Dia tidak akan berhenti karena luka
di kepalanya. Dira makin tak tenang. Dia melepas pelukan
Novi.
Cinta itu kini tumbuh di hatinya. Belum terlambat
untuk menghargai Fajar sepenuh hatinya. Namun kini Fajar
tak ada di sana.
“Aku harus nyari Fajar,” tegas Dira.
“Jangan jauh-jauh dari sini, Ra. Di luar sana masih
bahaya!”
Dira berjalan dengan cepat menuju ke gedung
DPR. Dia begitu yakin Fajar ada di sana. Di sepanjang
jalan terlihat banyak orang yang tersenyum, tertawa, penuh
aura kebahagiaan. Namun Dira masih balum mampu
tersenyum. Fajar, di mana Fajar? Matanya mengitari setiap
sudut jalan. Di mana wajah itu?
Sudah sangat dekat dengan tempat kerusuhan
kemarin, namun Fajar belum terlihat. Dira berlari. Makin
panik, ketika tepat dengan gerbang gedung, terlihat gedung
itu sudah dikuasai demonstran. Mereka naik hingga atap
gedung, mengibarkan bendera merah putih, seakan inilah
236
kemerdakaan yang selama ini mereka dambakan. Karena
selama ini mereka belum merdeka sama sekali.
Sementara itu, beberapa orang terlihat dibopong
dari tempat itu. sampai saat terakhir presiden menyatakan
mundur, ada korban yang masih berjatuhan. Sementara itu
polisi yang ada di tempat itu juga ikut membaur dengan
para demonstran, mereka tidak lagi saling pukul. Mereka
menangis bersama, berteriak bersama, meski dengan
pakaian yang berbeda.
Di sekitar Dira banyak sisa-sisa mobil yang
dibakar, tameng-tameng berserakan, tongkat dan senjata
terlupakan. Sementara Dira makin kacau, dia kebingungan
dan sendirian. Tidak ada yang bisa memberinya arah.
Teriakan-teriakan para demonstran itu justru makin
membuatnya kebingungan.
Dira menanyai beberapa orang yang ada di sana,
dan jawaban mereka sama: tidak tahu. Waktu terus
berjalan, hari makin malam dan Dira belum menemukan
Fajar.
***
Jam 12.45 Malam.
Dira kembali ke Gelora. Suasana bahagia belum
habis. Banyak orang seakan berpesta, mungkin akan terus
berlangsung sampai mentari membuka tabirnya.
“Sayang..” Seseorang memanggil Dira.
Dira menoleh ke arah suara itu. Ada ibunya yang
menghampiri.
“Ma...” Mereka berpelukan.
237
“Ayahmu ada di sini,” ucap Ibunya.
“Ayah?” Dira menatap dalam, “di mana? Gimana
keadaannya?” Dia begitu khawatir.
Dira dibawa ke tempat ayahnya dirawat. Mereka
tetap bercakap ketika berjalan. “Dia baik-baik saja. Sudah
mama obati,” ibunya terdiam, hening sesaat. “Tadi juga
Mama jelaskan semuanya,” lanjutnya.
Dira sampai di tempat ayahnya berbaring. Dia
segera memeluknya. Air mata menetes dengan sendirinya.
Keluarganya kini berkumpul, meski dalam keadaan yang
tidak seindah yang dibayangkan. Setidaknya, saat ini tidak
ada keributan yang memekakan telinga.
“Kamu udah makan, sayang?” Tanya ayahnya.
Dira tersenyum. Lalu memeluk dada ayahnya
dengan lebih erat. Dia tidak menjawab pertanyaan ayahnya.
“Maaf, karena ayah sering memaksa.”
“Jangan minta maaf, Ayah. Cukup bawa ibu
pulang, aku pasti bahagia,” ucap Dira.
Ibunya menitikkan air mata. Lega rasanya melihat
sang suami tidak lagi membentak ketika dia ada di
hadapannya. Selama ini, jangankan ada kesempatan untuk
menjelaskan. Tiap kali mereka bertemu, pasti akan
disambut dengan amarah.
Malam itu Dira tidak menemukan Fajar, namun
dia menemukan kembali keluarganya. Kini dia bisa
tersenyum bersama yang lain. Malam ini adalah malam
yang sangat berharga dalam hidupnya. Harapan baru dalam
keluarganya muncul, dan ke depannya pasti akan lebih baik.
238
239
BAB 25
“Pergi”
21 Juni 2012
Jam 02.01 dini hari.
Ayah Dira beristirahat. Sedang ibunya masih sibuk
mengurusi beberapa korban yang baru datang ke tempat
itu. dan Dira sendiri duduk di depan tenda kecil bersama
Novi. Mereka mengobrol tentang banyak hal. Dan mereka
merasakan hal yang sama; ini adalah hari-hari paling berat
dalam hidupnya. Novi menceritakan kisahnya hingga
sampai di tempat itu, menceritakan pemikirannya tentang
bangsa ini dan tentunya kisah cintanya dengan sang pujaan
hati.
Dira tidak menyangka, betapa masih bodohnya
dirinya. Di sekitarnya ada banyak orang yang berpikir
besar. Bagaimana berbuat banyak untuk bangsa ini.
Bagaimana menciptakan perubahan bahkan pada titik
paling sederhana, yaitu diri sendiri. Cara pandang Novi
sudah banyak berubah. Kini dia lebih dewasa. Kehidupan
dan tantangan mengajarkan banyak hal dalam waktu
singkat. Merombak pola pikir menjadikannya manusia
yang lebih baik.
240
“Fajar di mana ya, Nov? Dia kok belum balik ke
sini?” Sela Dira ditengah perbincangan mereka.
“Mungkin lagi rapat, atau lagi merayakan ini
semua. Teman-temannya juga banyak yang belum pulang
tuh.”
“Dia pasti bahagia. Presiden akhirnya turun.”
“Iya, dia pasti bahagia ... Kita semua bahagia, Ra.
Terus berdoa, semoga saja presiden kita nanti orang yang
baik. Yang berani, jujur, terus sopan gitu lah sama rakyat.”
“Iya, Nov. Semoga aja begitu.”
Sedang asiknya mereka berbincang, seorang lelaki
muda berlaki menuju mereka. Tergopoh, nafasnya begitu
terdengar kesar, “Nov...” Sahutnya ketika sampai di
hadapan Novi dan Dira. “Fajar, Nov...”
“Fajar kenapa?” Tanya Novi.
Wajah lelaki itu layu, dia coba menenangkan diri,
“Fajar ... Kena tembak...” Ucapnya tiba-tiba.
Srrr... Darah Dira mengalir dengan sangat cepat.
Fajar tertembak?!
“Di mana dia sekarang? Antar aku ke sana?!” Pinta
Novi.
“Dia sudah gak ada, Nov,” ucap lelaki itu.
Dira makin goncang!
“Maksud kamu?!” Bentak Novi.
“Iya, dia sudah gak ada, Nov.”
“Antar aku ke Fajar. Ini pasti bohong!” Sela Dira.
241
Lelaki itu mengantar Dira dan Novi. Mereka
begitu tergesa-gesa. Berlari di antara banyaknya tawa
bahagia di sekitar mereka, menembus ketenangan jiwa-jiwa
yang tengah tertawa dan mendapati kepanikan senyap
dalam hati mereka. Tak lama kemudian mereka sampai di
tempat itu. Ada delapan mayat ditutup kain yang bernoda
darah. Merah dan pedih. Banyak orang menangis di sana,
beberapa bahkan jatuh pingsan karena tak kuasa. Laki-laki
itu menunjuk salah satu dari mayat itu.
Dira menghampiri mayat yang tertutup kain itu.
Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya berderu bagai
badai. Itu tidak mungkin Fajar, pikirnya. Penolakan terus
menerus datang dari diri. Perlahan dia memberanikan diri
untuk membuka kain di bagian wajah mayat itu. Perlahan...
“Fajar...” Pelan ucapan Novi ketika kain itu
terbuka.
Dira tertegun. Hatinya kering seketika. Ingin rasa
berbicara, namun lidahnya tak mampu memikul beban yang
begitu berat. “Fajar... Pergi...” Kain kasa di kepala itu, lecet
di pipi kanan itu, debu di sebagian wajah mayat itu, “iya,
itu Fajar... Tidak tidak, itu bukan Fajar!!!” Teriaknya dalam
hati.
Novi menjauh dari tempat itu, dia sangat terpukul.
Sedang Dira tertunduk di samping mayat itu. Dia tidak
menangis. Hanya hening...
Namun, tak lama berselang, tetesan air mata
pertama jatuh.. Disusul tetesan yang lain, menjadi deras, tak
terhenti. Isakan demi isakan mulai terdengar. Ada rasa
ingin menolak kenyataan itu, namun hatinya sudah
menyadari, bahwa benar itulah Fajar. Wajah pucat itu
242
adalah milik Fajar, seorang yang memberinya banyak
senyuman.
Begitu besar cinta Fajar pada semua orang,
terutama pada Dira. Tiap perhatian yang dia berikan kerap
kali membuat Dira tersanjung dan tersenyum. Fajar,
sekarang dia membangun singgasananya di surga,
menunggu bidadarinya tiba. Cinta, akan mempertemukan
dua hati yang saling mencinta. Karena di sana, raga tak
mampu mengekang jiwa.
243
BAB 26
Cintaku
18 Agustus 2012
Jam 07.05 Pagi
“Siapapun yang terbukti melakukan korupsi, akan
langsung dihukum mati. Itu tidak kejam, yang kejam adalah
apabila kita membiarkan para Koruptor itu berkeliaran,
menimbun uang di tengah rakyat yang mati kelaparan.
Mari kita tumpas mereka! Dan sepantasnyalah sifat rakus
itu hilang dari bumi kita ini ... Dan saya harapkan. Kita
semua bekerja dengan baik, bertindak dalam norma dan
agama ... Presiden bukanlah pahlawan super, jadi masih
sangat membutuhkan bantuan. Jika setiap pribadi sudah
dewasa, maka saya akan lebih mudah untuk memajukan
kita semua! Bangsa ini!!”
Ayah Dira sedang menonton berita pagi. Begitu
berapi-api pidato yang disampaikan oleh presiden yang
baru. Cuplikan pidato di hari kemerdakaan itu benar-benar
membakar semangat rakyat untuk bangkit bersama.
Sedangkan dibenci oleh orang-orang serakah yang senang
menimbun harta.
“Ayo semua, sarapan dulu,” sahut ibu Dira.
244
Dira bergegas turun dari kamarnya. Ayahnya
meninggalkan acara berita paginya. Mereka berkumpul di
meja makan yang sempat kehilangan guna. Kini keluarga itu
kembali. Meski kedua kakaknya tidak ikut berkumpul,
Dira sudah merasakan bahwa keluarga ini sudah kembali
lengkap. Harmonis itu hangat. Tiap pagi ada senyum yang
memberi semangat. Ketika pulang pun ada cinta yang bisa
mengobati lelah. Itulah rumah, kenyamanan untuk tinggal
dan kebahagiaan dalam lelah.
***
20 Agustus 2012
Jam 07.35 Pagi.
Pagi yang cerah menemani langkah Dira pergi
kuliah. Dia masih setia memakai motor. Sedikit berbeda
karena motornya yang lama sudah tiada, berganti motor
barunya ini. Motor yang tak kalah garang dengan yang
sebelumnya. Dia pacu motor itu dengan pelan. Dia
sekarang lebih tenang dan sabar, bahkan dalam menghadapi
kemacetan sekali pun. Dia menyadari, butuh pengorbanan
dalam membuat perubahan, maka patutnya hal kecil tidak
pula berbuah kerepotan. Dia makin dewasa.
Dira melewati pos jaga itu, di mana dia bertemu
dengan seorang bernama Irham. Tiap dia memandang pos
itu, ada harapan akan melihat sosok Irham di sana, tengah
berdiri dan memberikan senyum padanya. Irham hilang,
juga tidak ada kabar, Dira bahkan tidak tahu Irham selamat
atau tidak dalam kerusuhan itu. Pos jaga itu kembali
beroperasi namun dijaga oleh para polisi baru yang tidak
Dira kenal.
245
Pos jaga itu menyimpan kenangan pertemuan.
Kejadian yang konyol pun tak kalah meninggalkan kesan
yang mendalam. Senyum itu, bentakan itu, masih Dira
ingat dengan jelas. Irham, Seorang yang datang dengan
singkat, memberi kenangan yang padat.
Dira memasuki kawasan kampus, di mana Fajar
biasa menggelar orasi pembakar semangat para demonstran.
Tempat itu tidak lagi ramai, demo sudah jarang dilakukan,
kini hanya dedaunan kuning yang berserakan, dan beberapa
mahasiswa yang berjalan pelan. Fajar sudah tidak ada,
tinggal bayangannya yang sering muncul dalam benak Dira.
Fajar, seorang yang lembut dan pintar merubah suasana
hatinya. Yang membantu Dira memperjuangkan cinta,
meski di saat yang sama dia sendiri harus melepas cintanya.
Dira makin paham betapa besar hati Fajar—bahkan pada
batas yang hampir tidak dia mengerti, ternyata ada orang
yang demikian.
Dira berjalan menuju kelas. Di depan kelas sudah
ada Novi yang sedang bergurau dengan teman satu kelasnya
yang lain. “Hai, Nov!” Sapa Dira.
“Hai, Ra.” Novi tersenyum.
Dira masuk ke kelas.
Begitulah rutinitas berjalan. Bayang-bayang masih
terlihat jelas, seringkali memberi kesedihan. Namun
kenyataannya dia sekarang punya keluarga yang jadi
tumpuannya, jadi atap jiwanya. Kehangatan mengisi tiap
pagi dan senja. Membuatnya tidak terlalu larut dalam
kesedihan tentang Fajar dan Irham.
246
Dua orang yang sangat istimewa. Mengajari banyak
hal baru. Dia tahu bahwa maksud melempar itu bukan
pada orang, melainkan pada kejahatan. Mencintai itu
bukan pada memiliki, melainkan pada kebebasan untuk
menghargai. Kemacetan itu bukan hal yang baik, tapi
melanggar dan masuk jalur busway juga bukanlah ide yang
baik, karena bisa membuat lelah pak polisi.
***
21 November 2013
Tahun berganti. Hari-hari penuh semangat baru,
membuang kesedihan yang lalu. Membuang kesedihan
bukan berarti membuang kenangan. Kenangan bisa tetap
hidup dan bernilai lebih, menjadi indah jika mau
menatapnya dari sisi yang lebih baik. Fajar, kini dia sudah
bahagia di singgasananya yang baru. Irham, dia pasti sudah
lebih baik sekarang, di sana, di tempat yang tidak
diketahui. Berusaha menilai baik segala hal, hanya butuh
satu modal, yaitu keberanian meninggalkan kesedihan.
Dira makin dewasa. Keluarganya makin harmonis,
kesehatan ayahnya juga makin membaik semenjak
berkumpul kembali dengan ibunya yang merupakan
seorang dokter. Tiap hari, menu makanan diatur dan
diramu lewat jemari cinta.
Tidak lama lagi Dira akan lulus kuliah, dan
menjajal jalan hidupnya yang baru. Mungkin ke suasana
baru yang belum dia ketahui, seperti dunia kerja. Namun
dia sendiri sudah merencanakan akan melanjutkan kuliah,
tidak terburu-buru dalam mencari cinta, ya, masih seperti
dia yang dulu.
247
Jam 09.45 Pagi.
Pagi itu Dira sedang menonton televisi dengan
ayahnya, lalu, ada seseorang yang mengetuk pintu. Ayahnya
bangkit.
“Biar aku aja yang buka. Ayah duduk aja di sini,
oke! Itu pasti temanku,” sela Dira. Dira berjalan pelan
menuju pintu sambil merapikan rambut panjangnya.
“Krek..” Gagang pintu itu diputar ke bawah, lalu
dibukanya pintu itu perlahan.
Deg! Dira terkejut, detak jantungnya berpacu
dengan cepat. “Irham?” Lirihnya dalam hati. Apa itu benar
Irham yang dia lihat. Seorang lelaki dengan badan tegap
lengkap dengan seragam yang gagah. Tangan kanannya
memegang topi polisi.
“Dira...” Mereka saling tatap, “aku janji untuk
datang. Dan sekarang aku datang. Masih ingat?” Dia
tersenyum.
Dira terdiam. Dia bingung apa yang harus dia
lakukan atau katakan. Terlalu lama mereka tak bertemu,
kali ini rasanya kembali melihat seorang yang asing. Itu
memang Irham. Wajah yang sama, senyum yang sama,
tatapan yang sama, dan potongan rambut yang sama.
Namun Dira masih bingung dengan perasaannya, dia hanya
berdiri di dekat pintu dan menatap ke arah Irham.
“Hey! Kok bengong? Aku bukan hantu, Ra. Ini
aku, Irham. Pukul wajahku kalau kurang percaya.” Irham
tersenyum kembali.
Dira masih diam.
248
Irham memeluknya. Erat.
Lalu perlahan Dira bicara, “kamu ke mana aja?”
Tanyanya. Wajahnya menyimpan kerinduan yang hendak
membludak, namun tertahan oleh rasa yang asing. Dia
masih ragu apa ini benar-benar Irham. Irham yang dulu dia
kenal?
“Maaf...” Singkat Irham.
Dira merasakan pelukan itu. Iya, dia kenal
kehangatan itu. Ini adalah Irham. Perlahan lengannya
membalas pelukan Irham, melepas kerinduan yang selama
ini jadi hantu malam. Sering kali hantu itu menjelma dalam
mimpi, hingga pagi membuyarkan kembali wajahnya.
Tiba-tiba Dira melepas pelukannya, lalu “Plak!!”
Dia menampar Irham.
“Aaaaw!” Irham mengelus pipinya. “Kenapa kamu
nampar aku, Ra?”
“Aku nampar kamu karena bodohnya kamu!
Menghilang gitu aja, lama gak ngasih kabar. Terus pas
waktu itu aku susah payah nyari kamu sampai hampir mati!
Kamu malah ngusir aku!” Tegas Dira.
“Aku kenal kata-kata itu,” Irham terdiam, sejenak
menghela napas, “Fajar... Di mana dia sekarang?”
“Fajar ... Dia...” Dira tidak pernah bisa
mengucapkan kata itu, “Dia...” Dira tertunduk lesu.
“Aku mengerti,” ujar Irham. Dia menggenggam
tangan Dira, “antarkan aku ke tempat Fajar beristirahat...”
249
Guruku
BAB 27
Mereka pergi ke tempat Fajar dikebumikan.
Sepanjang jalan menuju ke tempat itu, Dira berusaha untuk
menerima kembali kehadiran Irham. Inilah yang memang
selama ini dia harapkan; Irham pulang. Dan kini harapan
itu jadi nyata, namun masih saja butuh waktu untuk
melunturkan keterkejutan.
Mereka sampai di samping tanah kuburan Fajar.
Irham menyentuh rerumputan di atas tanah itu.
“Engkau pahlawan... Pemberani... Jujur pada diri sendiri.
Tidak seperti aku yang terkekang. Engkau bebas, dan
memberiku pandangan baru dalam hidup. Aku masih ingat
ketika tanganmu memukul wajahku, yang terpukul justru
hatiku, merubah pandangannya menuju gambar yang baru.
Benar, aku memang bodoh. Namun aku yakin, sekarang
aku ada di jalan yang sama denganmu..” terang Irham yang
berbicara tepat di hadapan tanah kuburan itu.
Dira berjongkok di dekat Irham. Dia
membersihkan kuburan itu dari beberapa daun kering yang
jatuh di atasnya. Dia tidak bicara sepatah kata pun.
“Kamu pasti melihat bagaimana bangsa ini
sekarang. Berbahagialah di sana, karena kami di sini sudah
250
lebih baik. Kamu dan teman-temanmu yang berjuang tanpa
lelah, tanpa takut mati. Sekarang aku dan teman-temanku,
akan melanjutkan perjuangan itu. Sangat mahal sekali harga
dari sebuah perubahan, akan kubayar jika memang darahku
adalah harganya, seperti yang kau lakukan. Kamulah
guruku,” Irham tersenyum, dia menghela napas, “apakah
persaingan kita masih berlanjut, kawan? Jika iya, maka aku
harap engkau bersiap di surga, dan izinkan aku yang
menjaganya di dunia ini. Dunia ini sebentar, bukan?”
Sambung Irham seraya tersenyum.
Dira terus mendengarkan, dan kata-kata Irham
barusan membuatnya sejuk. Dia memahami apa maksud
dari kata-kata itu, “izinkan aku yang menjaganya di dunia
ini.” Dira merasa itu tertuju padanya. Iya, padanya. Bukan
pada orang lain.
“Damailah sahabatku. Jangan menangis karena
mengkhawatirkan kami. Semenjak engkau pergi, sudah
banyak orang yang terlahir kembali sepertimu. Dan kami
akan menjaga bangsa ini. Aku tidak akan mengucapkan
selamat tinggal, karena sebenarnya kita tidak berpisah.
Yang aku rasakan sekarang, justru aku mampu melihat
dengan matamu, tanpa harus melepas seragamku.”
Kunjungan itu pun berakhir. Irham dan Dira
berjalan menjauh dari sana. Sesampainya di samping motor,
Irham membuka kembali percakapan, dan berusaha
meruntuhkan rasa aneh yang masih menyelimuti.
“Kamu masih mau mukul aku, Ra? Pukul sekarang,
setelah kamu puas, aku baru bisa tenang. Jujur, aku tidak
begitu tahu, berapa besar kekecewaan yang telat kubuat...”
251
“Udah ah, aku gak mau mukul kamu. Kita pulang
yuk,” ajak Dira.
“Kalau enggan buat mukul. Mungkin tersenyum
lebih baik,” Irham tersenyum.
Dira tersanjung, dia tidak mampu
menyembunyikan kebahagiaannya. Dia tersenyum pada
Irham. Senyum yang sangat manis, dari sana mengalir
banyak ketulusan, kelapangan dalam hati. Penerimaan akan
sosok Irham yang kembali datang. Ya, itulah senyum yang
menjadi kunci masuk menuju hati.
“I Love You...” Ujar Irham tiba-tiba.
Senyum Dira makin lebar. Semua terasa indah.
Angin melantunkan musik indah dan suara burung menjadi
penyanyinya, inilah kebahagiaan itu. Mentari cerah
memberi hangat pada hati mereka, menembus rusuk
memberi hidup pada tunas cinta dalam hati.
Dira membalas dengan sebuah pelukan. Kemauan
untuk jadi satu, membuat detak jantung seirama. Keraguan
itu kini hilang. Irham, dialah Irham, cinta yang sempat
hilang dan kembali membawa serta kelembutannya. Dira
memeluk Irham dengan erat.
“Eh, kamu tuh udah punya SIM belum?” Sela
Irham.
“Iiih, malah nanyain SIM sih,” Dira manyun. Tapi
wajah manisnya tetap tak hilang.
“Aku yakin sekarang kamu sudah pantas punya
SIM. Udah gak masuk jalur busway lagi kan?” Irham
tersenyum, “aku bisa antar kamu buat SIM,” sambungnya.
252
Dira menjawab dengan senyuman. Manis. Mereka
punya langkah baru yang harus dijejaki. Memberi nyawa
pada bangsa ini lewat generasi yang mereka lehirkan lewat
pemikiran mau pun rahim sang perempuan. Langkahnya
para pahlawan, di mana harapan tertumpu pada cinta dan
semangat kebersamaan. Kesungguhan cinta terpancar pada
dua insan; begitu pula bangsa harus menggambar
hubungan; rakyat dan penguasa.
***
Jangan takut kehilangan apa yang engkau punya,
karena hati juga punya jemari yang bisa menggenggam.
Jangan lelah mengejar apa yang engkau mau, karena
harapan adalah hak semua orang yang berjuang. Engkau
baru mengerti lelah yang sebenanrya ketika tidak ada
harapan sama sekali, karena itu, berjuanglah agar harapan
terjaga!
Cinta bisa datang kapan saja. Bahkan dari debu
yang menusuk matamu, awalnya terasa pedih, lalu
seseorang akan datang meniupkan cintanya, mengusir debu,
mengalirkan kelembutan menuju hati. Terimalah jika saat
itu tiba. Kenapa?
Karena engkau tidak akan bisa menolak!
253
Lidah Sang Pena
Engkau pikir, siapa yang kau lempari?
Lelembut gunung yang tak punya hati?
Iya?
Padahal engkau tidak kenali diri..
Engkau pikir, apa yang kau duduki?
Apa?
Kotoranmu menumpuk di atas tahta!
Kotor!
Engkau bahkan tidak pernah bersuci!
Bagimu, ini fiksi yang menyakiti.
Iya?
Tidakkah kejujuran itu terlihat? Hah?!
Engkau bodoh! Jangan potong lidahku!
Tapi benahi langkahmu
254
Sekilas Tentang Penulis
Reza Nufa adalah seorang penitip harapan lewat
tulisan. Lelaki bernama lengkap Reza Nurul Fajri ini
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Saat ini
masih menjalani pendidikan di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejauh ini dia baru
menelurkan sebuah novel berjudul IKRO. Baginya, menulis
atau menjadi seorang penulis, bukanlah sebuah tujuan,
melainkan media untuk menyebarkan pemikiran,
“mencemari” peradaban.
Dia bisa ditemui di Twitter-nya: @rezanufa
No comments:
Post a Comment